Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Jurnal Hati (ed 4)

2 Januari 2012   09:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:26 57 0



ALAM

Sebuah catatan di tepi kaki langit

Bogor 17 Oktober 2011, 21:23 WIB

Fajar Islam S.



Alam selalu bisa menjadi melodi yang melenakan hati yang merindui ketenangan. Duduk bertopang telapak tangan diatas beton yang sompal disana sini, di sebuah tempat tinggi, bersapa dengan matahari yang sudah melihat jam tidurnya. Di atas, menoleh ke berbagai sudut kaki langit tanpa batas itu. Samar memang, karena hanya cahaya-cahaya jingga sebagai penuntun mata untuk mencari visualisasi bukti nyata keagungan-NYA.

Pohon yang tampak tidak begitu besar itu menari, dengan sesekali disayupi oleh teriakan anak kecil menarik ulur layangannya.

Duduk diam seolah mendengarkan lantunan harmonisasi nada nan merdu, sesekali menggoyang-goyangkan kaki mengikuti nada yang sebenarnya tidak ada. Entah mau mengadu apa lagi, ini indah. Indah yang menghapuskan keluh kesah. Pengobatan alternatif untuk hati yang meronta.

Berkomunikasi intim dengan matahari yang sudah mulai sipit, dalam diam. Mencari petuah-petuah yang bisa menambal gores-gores kekesalan yang meradang.



“Hidup itu bukan untuk ditangisi,” katanya.

“ walau menangis dengan ikhlas juga menjadi bagian manusiawinya manusia”.

“Hidup itu juga bukan hanya tetang logika, ada juga perasaan yang bermain di sana”, sahutnya pula ketika aku bertanya tentang hidup.

“Aku hanya ciptaan-NYA, begitu juga dengan hamparan yang kau lihat di kaki langit itu sekarang. Kami hanya makhluk, sama seperti kau. Ada sang Maha Bijak dan Maha Sayang yang bisa kau tanyai tentang betapa hebatnya dirimu diantara curamnya lika-liku kehidupanmu. DIA yang selalu tersenyum walau kau meninggalkanNYA dalam keriangan. DIA yang Maha Sabar menunggu kau menemuinya merengek, minta penjelasan tentang rumitnya hidupmu, di sepertiga malam terakhir setiap hari, walau kau tak pernah datang menemuinya. Maka teduhilah dirimu dengan remang cahaya kasih sayang-NYA. Sungguh peraduanku sudah dekat. Aku ingin tidur...”



Pembicaraan itu pun putus, diiringi tertutupnya tiral kaki langit yang sejak tadi dihinggapi oleh pandangan kosong. Kaki sudah lelah bergoyang. Hati telah tertambal. Terucap salam untuk alam yang senantiasa menjadi biola dengan irama musikalitas terbaik.



Alam selalu bisa melenakan hati...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun