Sebuah catatan di tepi kaki langit
Bogor, 17 oktober 2011, 23:24 wib
Diam tak selamanya berarti mati, selayaknya bergerak tak selalu berarti hidup. Diam tak melulu diartikan putus asa, sebagaimana bergerak tak hanya berarti merdeka,
Tak pula diam itu selalu bertafsirkan kestatisan, karena tak selalu pula bergerak mentafsirkan kemajuan. Waktu memutuskan saat yang tepat untuk diam, sebagaimana kesempatan pun melugaskannya.
Siapa yang mendefinisikan diam sewajah dengan pesimistis?
Layaknya pelari yang diam membelakangi penonton, mengikat erat tali sepatunya sebelum berlari, atau sekedar mengecek lusuhnya kaus kaki yang mungkin menggangu larinya nanti bila terjuntai.
Layaknya seekor kadal yang diam menancapkan kaki-kaki lekatnya di batang pohon semai, menyiapkan lidahnya agar dapat terjulur sekuat tenaga ketika dilihatnya seekor lalat hinggap terlena oleh bau busuk buah.
Apa yang salah dengan diam?
Tidak ada, bila diam berarti menyiapkan kekuatan kaki untuk melangkah labih jauh.
Tidak ada, bila diam berarti berkonsentrasi pada strategi untuk meraih mimpi yang lebih tinggi,
Tidak ada, bila diam berarti melihat kebelakang, mempelajari lubang-lubang kesalahan yang pernah dibuat.
Diam mampu mengobati lelahmu bukan?
Maka diamlah beberapa saat, untuk berlari sekencang mungkin.