Dalam dialog itu, membahas tentang mengapa masih banyak sekolah baik itu setingkat SMA, ataupun SMP yang melarang siswinya, yang kebetulan dalam keadaan berbadan dua, untuk ikut Unas. Pembawa acara menanyakan, mengapa hal itu masih bisa terjadi, padahal sudah ada UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang memberikan jaminan bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan?
Lalu nara sumber dari Dinas Pendidikan Jawa Timur memberikan jawaban, bahwa tidak pernah sekalipun pihak Diknas Propinsi Jatim memberikan larangan kepada sekolah-sekolah, agar melarang siswinya yang kebetulan hamil, mengikuti Unas. Kalaupun ada sekolah yang melakukan itu, adalah kebijakan sekolah tersebut, yang biasanya merupakan kelaziman. Lazim disini bisa diartikan bahwa, sudah biasa bagi sekolah untuk melarang siswinya yang hamil, mengikuti Unas.
Sungguh, sebuah kenyataan yang mengiris hati. Apalagi seorang siswi yang diundang dalam wawancara tersebut (kebetulan dia hamil) baru mengetahui bahwa dirinya dilarang mengikuti Unas, adalah 10 hari sebelum Unas berlangsung. Bisa dibayangkan, betapa hancurnya sebuah harapan seorang tunas bangsa, yang ingin sekedar mengecap sebuah hal yang bernama Pendidikan. Itu belum lagi bagaimana perasaan kedua orang tua si anak. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Tiba-tiba ingatan saya mundur ke belakang...jauh di masa saya masih duduk di bangku SMA. Saat itu ada seorang teman cowok, tersandung kasus kriminal. Kebetulan dia harus masuk tahanan. Namun teman saya itu bisa mengikuti Unas (saat itu bernama Ebtanas), meski harus berada di balik jeruji besi, dan dalam pengawasan ketat pihak kepolisian. Sementara, di saat yang sama, ada seorang teman perempuan saya (kebetulan satu kelas) ketahuan hamil, dan lalu dipaksa pihak sekolah untuk mengundurkan diri (drop out). Padahal saya ingat betul, saat itu Ebtanas tinggal setengah bulan kurang.
Alangkah tidak adilnya perlakuan yang diberlakukan. Padahal kalau mau jujur, siswi hamil, ataupun siswa yang melakukan tindakan kriminal, sama-sama salah, dan sama-sama mencoreng nama baik sekolah yang bersangkutan. Tapi mengapa, ada standar ganda dalam penerapan sangsi?
Alangkah malunya kita, jika praktek yang dibilang Lazim namun salah tetap dilestarikan, justru oleh lembaga yang seharusnya mampu menjadi ujung tombak dalam mendidik generasi penerus bangsa ini. Coba, berapa banyak anak perempuan yang kelak akan melahirkan putra-putra bangsa, harus memupus impiannya mengenyam pendidikan, hanya gara-gara sesuatu yang bernama hamil, yang mungkin mereka sendiri tak mengharapkannya. Sementara, laki-laki yang menghamili (biasanya sesama pelajar) meski mendapat hukuman, namun tetap mendapatkan haknya sebagai pelajar.
Mengapa seolah-olah semua kesalahan ditimpakan kepada kaum perempuan...mengapa semua harus kaum perempuan yang menanggung? Bahkan negara'pun seolah tutup mata, sementara praktek ketidakadilan itu terus berlangsung? Bukankah kita sering mendengung-dengungkan kesetaraan gender...bukankah baik anak lelaki maupun perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, terlepas apapun kesalahan yang mereka perbuat?
Besar kecil kesalahan mereka, negara ini juga ikut bertanggung jawab...seluruh bangsa ini juga ikut bertanggung jawab. Adalah kesalahan kita, jika tak mampu mendidik dan memberi tauladan yang baik untuk mereka, sehingga mereka kemudian terjerumus dan berbuat kesalahan.
Jangan lalu menimpakan kesalahan kita dengan memberi hukuman yang mematikan bunga harapan di hati mereka, terutama untuk yang perempuan. Tanpa bekal yang cukup, mau jadi apa bangsa ini kelak...karena di pundak merekalah, nasib bangsa ini dipertaruhkan. Tak pernah seorangpun di dunia ini yang bersih dari kesalahan, namun tugas bangsa ini untuk mendidik generasi mudanya agar tak selalu terjerumus dalam kesalahan.
Bagaimanapun, sebuah kesalahan akan mendapatkan hukuman. Namun bukan hukuman yang membunuh masa depan, tapi hukuman yang berisi didikan. Dan hukumanpun harus adil penerapannya, jangan hanya sepihak saja. Dengan begitu, bangsa ini akan menjadi bangsa yang bijak.