Pada satu dekade terakhir, Bernadette S. Setiadi mendapat pembenaran dari kondisi sosial masyarakat Indonesia. Konflik yang muncul lebih banyak berupa perlawanan pada ketimpangan sosial akibat penyelewengan oleh penguasa. Orang yang berpandangan sama tentang penyelenggaraan negara maju bersama tanpa peduli agama dan ras demi memperjuangkan restorasi kondisi masyarakat secara umum. Fakta juga menunjukkan, bahwa pada pemilihan umum 2004 dan 2009 silam, partai - partai bernafas agama gagal merebut posisi puncak perolehan suara. Dengan demikian modernisasi pola sosial politik mengalami perkembangan yang cukup pesat menuju masyarakat nasionalis-liberal.
Memasuki dekade ke-2 abad - 21, riak - riak aneh yang membuat penelitian Bernadette mulai dibantah bermunculan di masyarakat. Kecenderungan pembenaran justeru pada ramalan Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilizations; Paradigms of the post-Cold War World ( Saya pernah menilisnya di sini ). Meskipun Huntington tidak menyebutkan detil siklus paradigma sosial yang dimaksudnya, karena dia lebih menekankan proses pergerakan orientasi blok bangsa - bangsa berdasarkan kesamaan budaya dan imperial. Tetapi untuk Indonesia hari ini, mungkin dasar pemikiran Huntington cukup relevan.
Menghadapi konflik berbau SARA yang menyergap bangsa ini dalam beberapa hari terakhir, mulai dari kasus Tarakan, Ambon dan Maksar, masyarakat Indonesia sedang mengalami siklus aneh. Seharusnya jika mengacu pada teori psikososial Erikson, proses penempaan oleh berbagai krisis bangsa yang hingga hari ini terus berlangsung seperti bobroknya penyelenggaraan negara, degradasi lingkungan, kelaparan, bencana alam, sudah cukup membuat struktur sosial bangsa Indonesia mengalami perubahan signifikan menjadi semakin modern. Konflik SARA memang saling berimplikasi antara sebab dan akibatnya. Jika kriminalitas semuanya dilihat dengan sudut pandang primitif yang lebih sempit, maka bisa dipastikan tidak ada masalah di negeri ini yang tidak berakhir dengan perang. Bayangkan jika si X dari daerah atau agama A mencuri ayam milik si Y dari daerah atau agama B itu dilihat sebagai persoalan antara A dan B, bangsa ini mengalami kemunduran jauh ke masyarakat primitif pra-kerajaan yang mengedepankan fanatisme komunitas atau kelompok. Ciri - ciri masyarakat modern yang individulis dan terbuka sangat tidak cocok dengan situasi hari ini di Indonesia.
Siklus ini mungkin memiliki sebab politis dengan adanya otonomi daerah sekali lagi mungkin. Di mana orang semakin sensitif terhadap perbedaan tradisional seperti kedaerahan. Lalu bagaimana dengan agama? Persoalan agama sebenarnya tidak berkait langsung dengan substansi ajaran agama. Lebih banyak mengacu pada imperialisme agama itu sendiri. Ketika agama menempatkan dirinya dalam konsep penguasaan dunia, maka usaha - usaha untuk melakukan ekspansi akan terus bermunculan. Sehingga agama yang (katanya ) mengajarkan kebaikan, menjadi tidak berbeda dengan sebuah kekuatan imperial dengan hasrat menguasai lebih banyak.
Siklus ini harus dihentikan! Karena ini aneh, ditengah bangsa - bangsa lain mengerahkan segenap energinya dalam rangka internalisasi kekuatan sosial politik menghadapi badai persaingan global, kita harus berbalik arah kembali menjadi bangsa primitif. Siapapun yang berniat melakukan kejahatan pada seseorang atau membalas kejahatan seseorang, itu hasrat personal dan menjadi tanggungjawab personal. Itu ciri masyarakat modern, dan ada instrumen hukum yang bertindak sebagai pengadilan. Jadi jika si X dari agama atau daerah A, melakuakn tindakan kejahatan pada si Y dari daerah atau agama B, itu persoalan antara X dan Y, ini versi masyarakat modern. Tapi kalau kita benar - benar mengalami siklus mundur menuju masyarakat ultra-primitif persoalan di atas memang menjadi persoalan kelompok A dan B. Tinggal kita mau jadi yang mana. Tapi ini sesugguhnya aneh!