Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Petualangan Melintasi Tapal Batas

18 Februari 2012   00:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:31 1350 0
Beberapa waktu lalu (kebetulan libur), dengan sangat berat hati, saya terpaksa pulang ke Indonesia (Nunukan) melalui jalur tidak resmi karena urusan genting. Penulis menempuh jalan itu karena visa multi entry yang diurus oleh Humana, lembaga tempat penulis bekerja, belum juga kelar (hingga sekarang).

Jika kembali ke Indonesia dengan jalur resmi dalam kondisi visa multi entry belum jadi, maka urusan visa saya akan makin ruwet. Saya harus mengurus dari awal visa single entry ke Jakarta untuk mendapatkan multi entry tersebut, dan itu tidak cepat. Urusan ijin tinggal di negara tetangga rupanya tidak mudah.

Sementara, ada sebuah kebutuhan mendesak di depan mata mengharuskan saya harus berurusan ke Tanah Air, walau pengurusannya cukup saja saya ke Nunukan. Maka, saya pun memutuskan mencari cara untuk melintasi jalur tidak resmi yang biasa ditempuh oleh para pekerja kita di ladang sawit Malaysia.

Kebetulan, tanpa disengaja, penulis dipertemukan dengan seorang "pengurus" yang selalu bisa menjamin keamanan dan keselamatan para pekerja sawit untuk menyeberangi perbatasan Malaysia-Indonesia.

Awalnya, saya masih ragu dengan pengurus itu, yang juga orang Indonesia. Namun karena kawan di ladang (pekerja) dan tetangga rumah meyakinkan saya itu aman dan terjamin, saya pun setuju untuk menempuh jalur yang dijamin oleh pengurus tersebut.

Dari hasil negosiasai saya dengan pengurus, saya diminta membayar 200 ringgit (setara Rp 600 ribu) untuk ongkos jasa penyeberangan pergi-pulang. Ongkos itu setengah lebih murah dari biasanya. Kata pengurus, harga murah itu saya dikenakan karena saya sudah berkenal baik dengan orang tetangga rumah saya yang disebutnya sebagai keluarga sekampung di Bone, Makassar.

Hari esoknya, saya pun diantar ke Tawau, salah satu kota terbesar di Sabah, Malaysia, yang jadi area perbatasan Malaysia-Indonesia. Dalam perjalanan dari ladang, daerah Sandakan, ke Tawau, hati saya bertanya-tanya, seperti apa nantinya jalur tidak resmi yang akan saya lalui di perbatasan Tawau-Nunukan. Pastinya sedikit menegangkan.

Sebelumnya, saya sudah mendapatkan informasi jika penyeberangan tidak resmi ke perbatasan harus melintasi "Sungai Nyamuk," daerah sebatik yang sebagian wilayahnya milik Malaysia. Lalu dari Sebatik, menyeberang lagi ke Nunukan.

Begitu sampai di Kota Tawau, saya langsung dibawa ke area pesisir kota, tempat penyeberangan, yang dari situ juga tidak jauh dermaga penyeberangan resmi Tawau-Nunukan. Dari area penyeberangan itu, rupanya pulau Sungai Nyamuk kelihatan jelas. Saya seperti berada di kampung halaman, Pulau Buton, Kota Bau-bau yang berhadapan dengan Puma (Pulau Makassar).

Di sekitar tempat penyeberangan, nampak puluhan orang sedang menunggu jemputan. Mereka adalah orang-orang Indonesia seperti saya yang juga ingin pulang ke Indonesia. Namun, ada juga yang sedang menunggu kedatangan keluarganya. Suasananya begitu ramai. Tetapi tak ada juga polisi diraja Malaysia yang mencoba melakukan sweeping dokumen. Padahal, area itu sudah jelas digunakan untuk penyeberangan tidak resmi.

Karena suasananya terik, sambil menunggu jemputan speedboat, saya berehat di sebuah restoran sederhana, minim jus apel bersama sopir pengurus. Dari restoran itu, nampak juga perahu-perahu kayu maupun kapal fiber berlabuh di sekitar pantai. Kebetulan, restoran yang saya tempati tidak jauh dari area penantian para calon penumpang speedboat.

Kira-kira sejam lebih menunggu, pengurus yang sedari tadi sibuk menghubungi "anggotanya" untuk menjemput saya, datang, lalu menyampaikan ke saya agar siap-siap ke bibir pantai penyeberangan. Saya pun bersiap dan bergegas bersama sopir dan pengurus.

Dari pinggir pantai, sudah tampak speedboat yang akan mengantar saya ke Sungai Nyamuk. Ukuran speedboatnya tak seberapa. Speedboat yang saya tumpangi hanya bisa menampung tujuh orang penumpang, termasuk saya. Sementara masih banyak calon penumpang yang ingin ikut. Namun karena dinding speedboatnya sudah sarat, tinggal beberapa sentimeter air laut menjebol masuk, awak speedboat mencukupkan tujuh orang penumpang saja.

Wah, awalnya, saya khawatir, bisa tenggelam. Apalagi saat naik, speedboatnya oleng-oleng kekiri-kekanan bak mau ngebor. Dalam hati kecil saya berkata, kalau ini karam nanti, habis sudah, dokumen penting termasuk laptop di tas akan ludes seketika. Perasaan negatif itu cepat-cepat saya tangkal dengan doa dan pengharapan pada Tuhan agar diselamatkan dalam penyeberangan itu.

Syukurlah, begitu mesin speedboatnya dihidupkan dan berjalan perlahan, rasa olengnya berhenti. Namun, saat speedboatnya melaju, kira-kira 100 KM/jam, jantung saya serasa mau terbang sekaligus berdebar juga melihat dinding speedboat yang kira-kira tinggal tiga sentimeter, kepulan busa ombak putih masuk ke dalam speedboat. Apalagi, bagian belakang speed dengan sedemikian laju, rasanya seakan mau tenggelam, terjungkir balik dari belakang karena posisi depan speedboat yang terangkat tinggi lantaran lajunya bukan kepalang.

Menyaksikan hempasan sekaligus gulungan ombak putih yang besar menghadang speedboat, saya jadi teringat masa lalu, masa kecil di kampung halaman. Kebetulan ketika kecil, saya sering ikut Bapak bepergian ke daerah-daerah untuk berdagang lewat laut dengan ombak yang lebih besar dari itu. Hanya saja waktu itu, yang saya tumpangi bukan speedboad fiber, tetapi perahu kayu yang bentuknya panjang, "bodi jonson bermesin 10 PK."

Mengingat masa lalu, suasananya jadi mengasyikkan. Perasaan yang tadinya khawatir akan karam, jadi happy dan keenakan ingin kecepatan speedboatnya ditambah. Deru ombak dan hempasan angin segar mengurai rambutku, rasanya seperti sedang terbang di angkasa. Pengalaman pertama menyeberangi tapal batas ini rupanya seru dan membahagiakan juga.

Perasaan akan karam dan ragu dengan incaran Polisi air laut (Polair) seketika sirna dengan kenikmatan menaiki speed (boat) yang melaju kencang. Pengalaman ini mengingatkan juga saya dengan cerita-cerita orang-orang sekampung yang merantau ke Singapura melintasi perairan Batam-Singapura. Pasalnya, kalau ingin selamat dari tangkapan Polair atau petugas jaga perbatasan, kecepatan speed harus di atas rata-rata bak kecepatan kilat.

Namun, sejauh mata memandang di area perbatasan laut yang dilalui, tak ada kejaran patroli keamanan Malaysia yang mencoba mencegat. Maklum, sebelum saya dan para penumpang lain menaiki speed, awak speed sudah lebih dulu "bernegosiasi" dengan petugas jaga Malaysia di atas kapal mereka.

Pantas saja pada saat bertolak wajah para awak speed yang berjumlah dua orang tak nampak keraguan sedikitpun. Apalagi memang melintasi jalur perbatasan dengan speed sudah menjadi profesi hari-hari mereka untuk mendapatkan penghasilan hidup.

Kira-kira setengah jam, kami pun memasuki wilayah perairan nusantara. Dari jauh nampak pos jaga TNI yang terbuat dari kayu, menjulur memanjang dari arah daratan pulau Sungai Nyamuk. Bentuknya seperti dermaga kecil.

Melihat sosok anggota militer yang sedang berjaga di atas pos dengan seragam lorengnya, saya jadi deg-degan. Dalam hati, "wah celaka ini, kita mau diperiksa." Speed pun melambat mendekati pos lalu berhenti persis di depannya. Awak speed kemudian bergegas naik ke pos tersebut dan masuk kedalam ruangan pos untuk "bernegosiasi."

Saya dan para penumpang tetap duduk tenang dan diam di atas speed yang mengapung di bawah pos jaga. Dari luar pos, sorot mata seorang anggota militer memandangi kami. Saya serta para penumpang lain hanya tunduk atau menoleh kearah lain. Perasaan cemas seakan terpancar dari wajah kami. Dalam hati saya enteng saja, kenapa cemas. Toh saya sudah punya passport yang lengkap dengan visa single entry, cuma jalur yang saya tempuh keliru. "Sejuta" alasan pun sudah saya persiapkan kenapa memilih cara yang salah itu.

Suara tegas militer jaga tadi tiba-tiba memecah suasana hening, meminta kami mengeluarkan passport. Hati saya menimpali, "ah ini pasti basa-basi. Bagaimana mungkin kami dipersoalkan dengan passport sementara awak speed sedang bernegosiasi dengan anggota militer lain di dalam pos. Belum lagi, ini bukan baru kali pertama, speed yang saya tumpangi dan yang serupa sudah kerap kali melintasi tapal batas di perairan Sungai Nyamuk. Mereka pun pastinya sudah saling memahami dan kenal satu sama lain"

Saya dan beberapa penumpang dari speed kemudian menunjukkan passport kearah petugas jaga. Dalam waktu sekejap, awak speed keluar dari ruangan dengan obrolan akrabnya ke anggota jaga yang semula meminta memperlihatkan passport. Itu artinya proses negosiasinya sudah selesai.Wajah segar saya dan penumpang lainnya lalu memancar. Kami pun siap meluncur mendekati daratan kampung Sungai Nyamuk.

Di sekitar pendaratan, yang berbentuk jembatan kecil, nampak kira-kira puluhan speedboat serupa berlabuh. Ya, speedboat itu semua pastinya juga difungsikan untuk mengantar jemput para calon pekerja tidak resmi. Jumlah para pekerja kita di Malaysia tidak sedikit. Kurang lebih dua juta orang, dan hampir separuhnya illegal atau melintasi jalur Sungai Nyamuk-Tawau itu. Jadi, wajar saja jika ada puluhan speedboat yang siap menunggu mengantar mereka ke Malaysia.

Setelah saya turun dari speedboat, tak lama kemudian, datang mobil avanza orang suruhan pengurus menjemput saya lalu mengantar saya ke jembatan berikutnya yang menghubungkan Pulau Sebatik dengan Nunukan.

Singkat cerita, dalam waktu dua hari di Nunukan, semua urusan beres. Saya pun bersiap untuk kembali ke Malaysia. Ketegangan melintasi tapal batas kembali lagi menghantui saya meski sebenarnya saya sangat menikmatinya sebagai petualangan dan pengalaman baru dalam perjalanan hidup saya di Negeri Jiran.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun