---
Suatu sore di kafe kecil di tepi sungai, Arga dan Dara duduk berhadapan, menikmati teh hangat di bawah langit senja.
"Kamu masih ingat dulu, kita sering ngobrol di kampus sampai lupa waktu?" tanya Arga sambil tersenyum, matanya berbinar menatap Dara.
Dara tersenyum kecil, menunduk sejenak. "Aku ingat, Arga. Waktu itu kita... ya, sepertinya selalu punya banyak hal untuk dibicarakan."
Arga tertawa pelan. "Ternyata, lima tahun nggak banyak berubah ya? Aku masih suka melihatmu tersenyum seperti ini."
Dara merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. "Arga..." ia memulai dengan suara pelan. "Kita nggak bisa terus begini."
"Apa maksudmu?" Arga mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. "Aku tahu kamu sudah menikah. Aku menghargai itu. Tapi... kamu dan aku, Dara, ada sesuatu di antara kita yang nggak bisa kita abaikan begitu saja."
"Aku sudah punya Radit, Arga," Dara menunduk, merasa bersalah. "Aku mencintainya."
"Aku tahu," Arga menghela napas, tatapannya berubah sendu. "Tapi, kamu nggak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang spesial di antara kita. Setiap kali kita bersama, aku merasakan itu. Dan aku tahu kamu juga merasakannya."
Dara terdiam, matanya terarah ke langit senja yang semakin gelap. Perasaan bersalah menghantui pikirannya, tapi hatinya, entah bagaimana, menginginkan Arga. Momen-momen manis yang mereka habiskan bersama, percakapan mendalam yang hanya bisa mereka pahami, semuanya membuatnya terlena.
---
Hari-hari berikutnya, perasaan Dara semakin terombang-ambing. Ia terus bertemu Arga secara diam-diam, menciptakan kenangan-kenangan yang hanya mereka berdua yang tahu. Saat mereka berjalan di taman, Arga sering meraih tangannya dengan lembut, dan Dara, meskipun tahu itu salah, selalu membiarkan tangannya berada di genggaman Arga lebih lama dari yang seharusnya.
Suatu malam, saat bulan bersinar terang, mereka berdiri di tepi danau. Arga memeluk Dara dari belakang, menyandarkan dagunya di bahu Dara.
"Kamu tahu, aku ingin waktu berhenti di sini. Bersamamu selamanya," bisik Arga dengan lembut.
Dara menutup matanya, merasakan desiran hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Namun, perasaan bersalah kembali menghantam hatinya. "Arga, ini nggak benar. Aku punya Radit. Dia suamiku. Aku nggak bisa terus seperti ini."
Arga terdiam sejenak. "Kalau begitu, kenapa kamu masih di sini, bersamaku?"
Dara menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. "Aku nggak tahu. Mungkin karena aku mencintaimu, Arga. Tapi ini salah."
---
Akhirnya, pada suatu malam yang tak terelakkan, Radit menemukan pesan-pesan di ponsel Dara yang ditujukan untuk Arga. Meski tidak ada kata-kata yang terlalu vulgar, jelas dari percakapan mereka bahwa hubungan Dara dan Arga lebih dari sekadar teman.
Radit menatap Dara dengan tatapan penuh kekecewaan saat mereka duduk di ruang tamu.
"Apa ini, Dara? Aku nggak pernah menyangka kamu akan menyembunyikan sesuatu sebesar ini dari aku."
Dara menunduk, air matanya jatuh satu per satu. "Aku minta maaf, Radit. Aku nggak bermaksud menyakitimu. Tapi..."
"Kamu jatuh cinta pada orang lain," potong Radit, suaranya bergetar, menahan emosi. "Aku tahu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Dan aku siap memperjuangkan pernikahan ini, kalau kamu mau."
Dara menangis terisak, hatinya hancur. Radit, lelaki yang selalu setia dan mencintainya, masih memilih bertahan meskipun ia telah melukai hati suaminya. Sementara Arga, cinta yang tak seharusnya, tetap menghantui pikirannya.
---
Di malam yang penuh air mata itu, Dara membuat keputusan paling sulit dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk berpisah dengan Arga. Pada hari terakhir mereka bertemu, di tempat yang sama di tepi danau, Arga memandang Dara dengan mata yang penuh kesedihan.
"Kamu benar-benar ingin mengakhiri ini?" tanya Arga, suaranya parau.
Dara mengangguk, menahan tangis yang hampir pecah. "Aku harus, Arga. Radit sudah memberikan segalanya untukku, dan aku nggak bisa menghancurkan itu lebih jauh lagi."
Arga tersenyum pahit, lalu mendekatkan wajahnya ke Dara, mencium keningnya dengan lembut. "Kalau begitu, semoga kamu bahagia, Dara."
Dara hanya bisa menutup matanya, membiarkan air mata jatuh tanpa henti. Ia tahu ia harus mengorbankan perasaan cintanya pada Arga demi menjaga keutuhan rumah tangganya dengan Radit. Meski hatinya terluka, ia tahu inilah pilihan yang benar.
Dengan langkah berat, Dara meninggalkan Arga untuk terakhir kalinya, membawa perasaan yang hancur tapi penuh tekad.
---
Hidup terkadang memaksa kita memilih antara cinta dan tanggung jawab. Dara memilih yang kedua, meski hatinya tahu bahwa cinta yang ia tinggalkan akan selalu menjadi bagian dari dirinya yang tak akan pernah hilang.