Meski begitu, Sari tak bisa menutupi perasaan tidak nyaman yang perlahan merayap di benaknya, apalagi setelah seorang pasien misterius datang untuk diperiksa di poli gigi. Wanita berambut panjang, wajahnya pucat, hampir tak bergerak selama pemeriksaan. Dia hanya menatap lurus ke depan, tak banyak bicara, seakan tubuhnya ada di sana, tapi jiwanya entah di mana.
Malamnya, setelah klinik tutup, Rina tidak bisa tidur. Suara angin yang berhembus kencang di luar asrama terdengar seperti rintihan. Ia membuka matanya dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari---waktu yang selalu dianggap sebagai "waktu roh." Tanpa sadar, tangannya gemetar, dan suara langkah kaki pelan terdengar di luar kamar.
"Tok... tok... tok..."
Langkah itu semakin mendekat. Rina bangkit dari tempat tidur, rasa takut menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia berpikir, mungkinkah itu Sari? Tapi kenapa di jam segini?
Dengan ragu, Rina membuka pintu kamar. Lorong asrama sepi, hanya lampu redup yang menyinari jalan sempit di depannya. Saat Rina hendak berbalik, ia melihat sesosok bayangan---wanita berambut panjang, seperti pasien yang datang sore tadi. Wanita itu berdiri di ujung lorong, menundukkan kepala. Rambutnya menjuntai, menutupi sebagian wajahnya. Rina menelan ludah, mulutnya kering.
"Sari?" panggil Rina pelan, berharap itu hanya halusinasinya.
Namun wanita itu tidak menjawab, hanya diam, seperti patung yang tak bernyawa. Rina berusaha untuk tidak panik, tapi saat ia hendak melangkah mundur, wanita itu tiba-tiba bergerak cepat, berjalan mendekat dengan langkah panjang yang mengerikan. Rina menutup pintu dengan cepat, tubuhnya gemetar hebat. Dari balik pintu, terdengar suara ketukan keras, tok... tok... tok..., semakin lama semakin kuat.
"Rina! Ada apa?" Tiba-tiba Sari berlari ke kamar, wajahnya pucat, penuh kekhawatiran.
"Sari, ada... ada seseorang di luar. Aku---aku lihat dia," Rina berusaha mengontrol napasnya yang tersengal-sengal.
Sari menggeleng. "Tidak ada siapa-siapa di luar, Rin. Aku nggak lihat apa-apa."
Mereka berdua terdiam sejenak. Rina menatap Sari, mencoba mencari kepastian. Tapi tatapan sahabatnya justru semakin ragu. "Tapi... aku dengar suara langkah tadi," kata Sari pelan, akhirnya mengakui bahwa perasaannya juga tak menentu.
Esok harinya, saat mereka bekerja di klinik, suasana semakin terasa aneh. Tidak ada pasien yang datang, meskipun klinik sudah buka sejak pagi. Sinar matahari tampak enggan masuk ke dalam ruangan-ruangan klinik, seolah terhalang oleh sesuatu yang tak terlihat. Pada sore harinya, wanita berambut panjang itu kembali datang. Kali ini, ia duduk di ruang tunggu lebih lama dari biasanya, hanya diam, seperti patung tanpa jiwa.
"Sari, aku nggak tahan lagi. Kita harus cari tahu siapa wanita ini," bisik Rina saat mereka berdua berada di poli gigi.
Sari mengangguk. "Aku setuju. Aku juga mulai ngerasa ada yang nggak beres."
Mereka mendekati seorang perawat senior yang sudah lama bekerja di klinik itu, seorang wanita tua bernama Bu Lestari. Ketika ditanya tentang wanita berambut panjang itu, ekspresi wajah Bu Lestari berubah drastis. Ia terlihat gugup, matanya menghindari tatapan mereka.
"Jangan ikut campur, Nak," katanya dengan suara pelan tapi penuh peringatan. "Beberapa hal lebih baik tidak diungkap. Klinik ini... ada banyak cerita yang seharusnya tetap terkubur."
"Tapi Bu, siapa wanita itu? Kenapa dia selalu datang ke poli gigi?" Rina tak menyerah, matanya menatap tajam.
Bu Lestari terdiam lama. Akhirnya, dia berbisik. "Dulu, ada seorang pasien yang meninggal di sini. Dia sering datang untuk berobat di poli gigi, tapi suatu hari terjadi kecelakaan... giginya dicabut secara salah, menyebabkan infeksi parah. Tak lama kemudian, dia meninggal. Sejak itu... klinik ini mulai didatangi hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Wanita itu... mungkin salah satu dari mereka."
Malam harinya, Rina dan Sari tak bisa tidur. Pikiran mereka dipenuhi ketakutan. Suara langkah-langkah aneh kembali terdengar, semakin keras dan cepat. Ketika mereka memberanikan diri keluar kamar, lorong asrama dipenuhi dengan bayangan samar-samar yang bergerak tanpa arah. Lampu lorong berkedip-kedip, menciptakan suasana seperti di dalam mimpi buruk.
Tiba-tiba, suara tawa pelan menggema di seluruh ruangan. "Hehehe... hehehe..." suara itu terdengar dari segala arah, seperti datang dari dinding-dinding yang hidup. Sari memegang tangan Rina erat-erat, gemetar ketakutan.
"Ini sudah cukup, Rin. Kita harus keluar dari sini," ucap Sari terbata-bata.
Saat mereka berlari menuju pintu keluar, lorong klinik tampak lebih panjang dari biasanya. Lampu terus berkedip, dan sosok-sosok misterius berkelebat di ujung pandang mereka. Mereka sampai di ruang tunggu, di mana wanita berambut panjang itu kembali duduk, kali ini tersenyum lebar, matanya kosong. Di belakangnya, bayangan lain tampak mengelilinginya, seperti roh-roh yang terperangkap di tempat ini.
Sari berteriak, "Kita nggak bisa lari dari sini! Pintu-pintunya tertutup!"
Namun, Rina menarik Sari dengan keras, "Kita harus keluar, Sari! Apapun yang terjadi, kita nggak boleh terjebak di sini!"
Tiba-tiba lampu klinik padam total, dan suasana menjadi sunyi. Hanya ada suara napas mereka yang terengah-engah. Dalam kegelapan, tangan dingin menyentuh bahu Rina. Dengan penuh rasa takut, ia berbalik, dan di depannya berdiri wanita itu---berdiri sangat dekat, wajahnya begitu dekat hingga Rina bisa merasakan napas dinginnya. Wanita itu tersenyum lagi, lebih menyeramkan dari sebelumnya, dan berbisik, "Aku sudah menunggumu... lama sekali..."
Rina menjerit. Namun, seketika semua itu lenyap. Lampu menyala kembali, ruangan kembali normal, tak ada sosok apapun di sana. Klinik tampak kosong, dan udara malam terasa begitu sunyi.
Keesokan harinya, Rina dan Sari segera meninggalkan klinik. Mereka tahu bahwa apapun yang menghantui tempat itu, tidak akan pernah membiarkan mereka merasa aman. Klinik Kencana mungkin terlihat damai di siang hari, tapi saat malam tiba, kegelapan masa lalunya akan kembali bangkit, dan mereka tahu, sesuatu yang lebih mengerikan selalu menunggu di sana.