Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Diego Mendieta: Korban Kekejaman Persepakbolaan Indonesia

5 Desember 2012   05:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:10 1852 2

Setelah kegagalan Timnas Indonesia di ajang Piala AFF 2012, saya sedikit punya harapan bahwa momentum (negatif) ini akan segera berakhir di tubuh persepakbolaan kita. Namun, saya kembali harus terpekur. Persepakbolaan Indonesia kembali menghadapi badai baru dengan meninggalnya Diego Mendieta. Mata saya kembali nanar. Mimpikah saya? Ketika mendengar berita ini, saya langsung berpikir: Diego Mendieta adalah korban kekejaman persepakbolaan Indonesia setelah Timnas Piala AFF 2012.

Mengapa saya menggunakan terminology “korban” bukan “kurban”?

“Kurban” mengandaikan sebuah persembahan yang suci (luhur) atas sebuah kerja keras, usaha, perjuangan. “Kurban” mengandaikan sebuah niat tulus dari pribadi atau kelompok kepada “sesuatu yang lebih besar”. Lalu, bagaimana dengan “korban”?

“Korban” mengandaikan sebuah objek penderita. “Korban” mengandaikan sebuah ketidakberdayaan atas penindasan. Dan, Diego Mendieta, bagi saya, adalah korban. Korban dari siapa?

Dengan sedikit berani, dan penuh pertimbangan, saya meyakini bahwa Diego Mendieta adalah salah satu korban dari dualisme di tubuh persepakbolaan Indonesia. Bagaimana saya merumuskan logikanya? Indonesia memiliki banyak klub sepakbola. Klub-klub ini terbagi dalam berbagai divisi. Adalah sebuah rahasia umum bahwa tidak semua klub mampu mengatur financial mereka masing-masing sehingga setiap pemain ataupun ofisialnya terjamin lahir dan batin. Ketika klub-klub “kecil” menghadapi krisis financial seperti ini, dualisme di tubuh persepakbolaan Indonesia justru mencuat. Dualisme ini menyebabkan klub-klub kecil (dan besar) pun terbagi-bagi. Klub-klub kecil yang sebelumnya ada di Divisi I, II, ataupun III milik PSSI berpindah ke liga milik KPSI. Akibatnya, ada mobilitas naik di klub-klub milik PSSI ataupun KPSI. Apa konsekuensinya? Klub-klub kecil ini, yang mengalami mobilitas naik, harus juga mengeluarkan dana yang cukup besar agar mampu bersaing. Celakanya, financial klub seringkali mengalami kemacetan sehingga gaji para pemain dan ofisial harus tertunda. Keterlambatan pembayaran gaji inilah yang menimpa Diego Mendieta (dan banyak pemain lainnya di Indonesia) sehingga ia tidak mampu membayar biaya pengobatan sakit tifus dan levernya secara maksimal. Bahkan untuk pulang kampung ke Paraguay pun ia tidak bisa. Sekali lagi, logika kecil ini menunjukkan bahwa Diego Mendieta adalah korban dari kekejaman persepakbolaan Indonesia!

Saya memang mencintai Indonesia, mencintai juga dunia sepakbola Indonesia. Namun, saya jauh lebih mencintai hak hidup manusia. Sungguh sangat ironis sekali bahwa persepakbolaan kita bisa “membunuh” manusia dengan cara yang seperti ini. Ini masalah hidup dan hidup tentu merupakan sesuatu yang sangat bernilai, lebih dari sekadar sepak bola.

Ijinkan saya mengutip perkataan Diego Mendieta di sisa hidupnya, saat terbaring sakit:

“Aku cinta persis. Aku cinta Indonesia. Tapi aku tidak mau berakhir di sini. Aku ingin main sampai usia 35 tahun terus kembali ke Paraguay jadi pelatih”

Semoga seluruh jajaran pengurus sepak bola kita segera berbenah dan berefleksi. Junjung tinggi nama Indonesia, bukan egoisme pribadi!

RIP Diego Mendieta! May Almighty God accepts you there, in heaven!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun