Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Tanpa Lampu Menguak Lampu

26 Mei 2013   03:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:01 181 1
TANPA LAMPU MENGUAK LAMPAU

Pandanganku menerawang jauh tak tersentuh, selain dengan akal dan lamunan yang terpaku dalam bayang wajahmu. Di antara genangan air di hektaran sawah yang memantulkan kerlap jingga keemasan di sepanjang jalan Banyu Biru. Dihias sekumpulan enceng gondok diseret angin, berjalan serupa arak-arakan pasukan berangkat perang, wajahmu mengombak dalam hijau daun berserak laksana awan--menggulung denyut nadi terbalut oleh mimpi.

Sementara matahari senja menancap di ranting randu kering dengan warna merah dadu. Mungkin seperti itulah warna rinduku yang mengharap merah bibirmu, mampu kukecup kembali ketika angin rindu ingin merengkuhmu dalam dekapan erat kemudian memasukanmu di ruang kalbu. Sebab sejak perpisahan itu, kau telah mengisi keranjang ingatan, hingga begitu banyak yang tersisa dari pertemuan terakhir kita.

Di tahun pergantian masa. Angin yang berdesir di bawah pohon trembesi ini, telah mengumpulkan kembali semua kenangan tentang dirimu; sebagai bagian dari kisah-kasih terindah yang tak pernah mampu terlupa. Mengoyak gelombang asa yang telah terlunta. Menimbun arah mata memandang. Memasung langkah dalam debit yang selalu membelenggu jiwa dengan segala pesona tarian indah wajahmu di pelupuk rindu membakar waktu.


Di ujung senja ini, jingga langit tak lagi menyala, sisakan temaram bathin yang menjerit. Bulan remang mengambang pucat--perjalanan sabit kian canggal dan rumit. Ketika sekelumit kenangan telah mengaduk semua mimpi, tercampur dalam untaian kasih tak lagi mampu bersemi. Dan aku harus meninggalkanmu dalam deburan jaman yang tak lekang mengulum jantung tanpa tinggalkan rindu untukmu.

*Senja Di Rawa Pening | Sang Bayang*
Ambarawa, 19.05.2013 - 18 : 07

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun