"Dimana anak lanangmu?" tanya si Kumis.
"Entahlah. Dia pergi sejak pagi tadi. Kenapa? Apa anakku telah berbuat salah?"
"Anak lanangmu telah berbuat lancang dan kurang ajar!"
"Apa yang dia perbuat?"
"Anakmu telah menggoda putri Kanjeng. Tak tau diri!"
"Ahh ..." Perempuan tua itu mendesah. Dadanya terasa sesak. "Maaf ... Maaf ... Tolong sampaikan permohonan maafku pada Ndoro Kanjeng. Tak akan terulang ... Aku janji tak akan terulang! Kau mengenalku ... Kita sudah bertahun-tahun saling mengenal. Tolong jangan ganggu anak ku. Demi masa lalu kita ... Demi aku ..."
Perempuan itu mulai tersedu
"Baik ... Baik ... Harap kau nasehati dia. Tinggalkan Den Ayu! Jangan pernah mendekatinya lagi ..." kata si Kumis. "Harap kau juga mengerti ... Posisiku hanya diutus Ndoro Kanjeng ..."
"Baik ... Baik ... Demi masa lalu kita ..."
*****
Dalam perjalanan pulang ke rumah Ndoro Kanjeng ...
"Maafkan aku, Sri. Aku menyayangimu. Aku mencintaimu walau kau bukan milikku. Aku rela dan ikhlas kau menjadi istri Kakang. Aku pernah berjanji di atas pusara kakang untuk selalu menjagamu dan si thole. Bagiku, janji adalah hutang yang harus dibayar ... Aku akan berusaha menjaga dan melindungi kalian berdua dari Ndoro Kanjeng!"
Si Kumis berusaha menikmati bebannya
*****
Malam hari ... dalam rumah kecil yang sederhana ...
"Ombak ... Kemarilah, thole ... Anak lanang ..."
"Inggih, mbok"
"Ombak ... Simbok memberimu nama agar kau selalu ingat pada bapakmu. Ombak selalu menemani bapak saat bekerja dan mencari rejeki buat kita semua. Tetapi, ombak juga yang telah memisahkan kita berdua dengan bapakmu. Ingatlah itu ... Ingat! Ombak itu baik. Aku selalu menganggapnya begitu, ombak yang menghancurkan kapal bapak adalah takdir dari Gusti Pengeran. Aku sudah ikhlas menerimanya ..."
Ombak terdiam ...
"Bapak dan teman-temannya hilang ditelan lautan. Beberapa hari kami mencari dan aku tidak pernah lelah berdoa agar bapak bisa kembali, hidup atau mati. Akhirnya Gusti Pangeran mengabulkan doaku. Jenasah bapak dan 3 temannya ditemukan. Ndoro Kanjeng berkenan mengurus semuanya. Proses pencarian dan pemakaman itu memakan biaya yang tidak sedikit. Ingatlah itu ... Ingat"
Ombak terdiam ...
"Tadi siang, ada utusan dari Ndoro Kanjeng yang datang padaku. Ndoro Kanjeng tidak berkenan kau berhubungan dan bergaul dengan Den Ayu. Oalaaaahhhh ... thole, anak ku lanang ... Ingatlah siapa diri kita dan siapa itu Ndoro Kanjeng. Mereka itu ningrat bangsawan, sedangkan kita hanya kaum sudra. Aku tidak melarangmu bergaul dengan wanita manapun. Tapi, tolong ... jangan kau dekati Den Ayu. "
Ombak mendesah. Dadanya terasa sesak.
"Demi aku ... Demi almarhum bapak ... Tolong kau putuskan hubunganmu dengan Den Ayu. Kita berhutang budi pada Ndoro Kanjeng. Maukah kau menuruti kata-kata ku yang sudah tua ini? Maukah? Aku memohon kepada mu ..."
Ombak mendesah, berusaha menikmati bebannya
"Ndoro Kanjeng telah berbaik hati dan kita sudah berhutang budi!"
*****
Sementara itu ... di sebuah rumah nan megah ...
"Genduk ... Cah ayu ..."
"Inggih, romo."
"Romo dan ibu mu berniat menjodohkanmu dengan Denmas Wira. Dia adalah anak lelaki dari Raden Kusuma. Romo dan ibu mu sudah mengenal keluarganya sejak muda, dan menganggap keluarganya sepadan dengan keluarga kita. Leluhur mengajarkan untuk selalu berpegangan pada bobot, bibit, bebet dalam masalah perjodohan. Selain itu, Romo sudah berhutang budi pada Raden Kusuma. Beliau telah membantu Romo untuk membangun bisnis yang sekarang kita nikmati bersama dan ikut berjuang membantu Romo memenangkan pilkada sehingga Romo bisa menjadi Kepala Daerah di kota ini. Harap kau mengerti ya genduk ... cah ayu ..."
Si Genduk mendesah. Dadanya terasa sesak.
"Genduk ... cah ayu ... Romo dan ibu berharap kau bisa menjadi anak penurut pada orang tua. Menikahlah dengan Denmas Wira, karena Romo telah berhutang budi pada keluarganya ...
Si Genduk mendesah, berusaha menikmati bebannya
04/10/2010
FF ini adalah sambungan dari ...
http://fiksi.kompasiana.com/group/prosa/2010/10/04/flash-fiction-kasta/
http://sangasiji.wordpress.com/2010/10/03/flash-fiction-kasta/
cerita ini juga ada di ...
http://sangasiji.wordpress.com/2010/10/04/flash-fiction-hutang/