Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

PPDB Sekolah Negeri dan Terbentuknya Generasi 'Akal-akalan'

24 Juni 2024   10:52 Diperbarui: 24 Juni 2024   11:19 114 2

Bunga (nama samaran) alangkah bahagianya bisa masuk salah satu SMA Negeri. Saat proses PPDB tahun lalu, Bunga menggunakan jalur zonasi.

SMA negeri tempat Bunga sekolah, sebenarnya letaknya cukup jauh dari rumahnya. Akan tetapi namanya muncul di deretan teratas calon siswa yang jarak rumahnya sangat dekat dengan sekolah tersebut.

Hingga pada akhir proses online PPDB, nama Bunga tetap bertengger di barisan teratas, dan akhirnya Bunga lolos sebagai siswa di SMA negeri tersebut.

Bunga sendiri sebenarnya kurang mengerti kenapa dirinya bisa bersekolah di SMA negeri tersebut, karena dia hanya mengikuti apa kata orangtuanya saja.

Lewat jalur prestasi akademik dan non akademik, Bunga memang tidak bisa menggunakan jalur tersebut. Nilai Bunga sejak kelas 7 sampai kelas 9, bisa dibilang pas-pasan. Begitu juga dengan prestasi non akademik, Bunga tidak memiliki satu pun prestasi non akademik.

Sementara jika memilih jalur afirmasi, secara ekonomi, Bunga berasal dari keluarga yang mampu. Sehingga untuk mengambil jalur tersebut, Bunga tidak akan bisa lolos.

Begitu juga jika Bunga menggunakan jalur kepindahan tugas orangtua, Bunga punya ayah yang bekerja di wilayah DKI Jakarta, sehingga tidak mungkin Bunga memilih jalur tersebut.

Satu-satunya yang memungkinkan Bunga bisa sekolah di sekolah negeri yakni lewat jalur zonasi. Pasalnya jalur zonasi, konon paling mudah dan gampang untuk 'diakal-akalin'.

Lewat berbagai cara dan upaya,  orangtua Bunga mulai mendaftarkan Bunga lewat jalur zonasi. Orangtua Bunga kemudian menemui seseorang yang dianggap 'bisa' meloloskan sang putri di sekolah negeri tersebut.

Setelah orangtua Bunga dan orang tersebut beberapa kali bertemu dan berkomunikasi, tiba-tiba nama Bunga muncul di website PPDB online. Dan, Bunga pun akhirnya diterima di SMA negeri tersebut.  

Ilustrasi sekilas mengenai Bunga yang diterima di salah satu SMA negeri, mengingatkan kita betapa orangtua Bunga menginginkan anaknya bisa sekolah di sekolah negeri.

Bunga bukan satu-satunya anak yang diinginkan orangtuanya bersekolah di sekolah negeri. Masih banyak tentunya Bunga lain yang masuk ke sekolah negeri dengan cara 'akal-akalan' yang dilakukan para orangtuanya.

Tanpa disadari, orangtua yang 'mengakal-akali' anaknya agar bisa bersekolah di sekolah negeri, telah menciptakan generasi 'akal-akalan' di kemudian hari.

Generasi 'akal-akalan' ini sangat 'related' dengan generasi strawberry dan generasi kanguru, yang saat ini tengah melanda gen Z dan gen alpha.

Pasalnya, apa yang dilakukan orangtua dengan cara 'mengakal-akali' anaknya agar bisa di sekolah negeri, mirip dengan perlakuan orang ketika menanam dan merawat tanaman buah strawberry yang diperlakukan secara istimewa.

Sedangkan generasi kanguru merupakan generasi dimana seorang anak memiliki ketergantungan dan selalu ikut kemana orangtuanya melangkah. Seperti halnya anak kanguru, selalu ada dalam kantong induknya.

Sementara dalam konteks pola asuh, orangtua yang 'mengakal-akali' anaknya agar bisa bersekolah di sekolah negeri, dapat pula dikategorikan sebagai pola asuh 'permisif'.

Orang tua dengan pola asuh 'permisif' memang cenderung memprioritaskan kenyamanan dan memiliki kecenderungan untuk selalu memanjakan anaknya.

Anak yang kemudian mulai memahami cara orangtuanya yang 'mengakal-akali', tanpa disadarinya menyerap juga pola dan gaya orangtua mereka. Sebab anak sebagaimana dikatakan para ahli, merupakan seorang peniru yang ulung.

Maka tak heran, ketika anak-anak yang memiliki orangtua dengan pola asuh 'permisif', ketika menghadapi masalah selalu meminta bantuan dan pertolongan orangtua alias tidak mandiri.

Ketika anak mengingat lagi apa yang pernah dilakukan orangtuanya saat memasukan ke sekolah negeri dengan cara 'mengakal-akali', anak cenderung akan mengikuti pola dan cara orangtua mereka di kemudian hari.

Misalnya ketika berhadapan dengan sebuah kompetisi dalam dunia kerja, anak akan berusaha mencari cara 'akal-akalan', seperti membayar atau menyogok pihak-pihak yang dapat meloloskan dirinya bisa bekerja. Ini banyak terjadi di instansi pemerintah, seperti aparatur sipil negara (ASN).

Fenomena membayar atau menyogok untuk dapat bekerja sebagai ASN memang sudah berlangsung sangat lama di negeri ini. Boleh jadi hal itu tercipta dikarenakan anak dan orangtua memiliki kesamaan dalam mencari cara dalam menghadapi sesuatu lewat cara 'akal-akalan' tadi.

'Akal-akalan' terjadi karena sistem dan oknum

Orangtua yang 'mengakal-akali' anaknya agar bisa bersekolah di sekolah negeri, muncul karena adanya sistem yang bisa di 'akal-akali' dan adanya segelintir oknum yang ada di sekitar dunia pendidikan itu sendiri.

Hal itu sudah menjadi mata rantai yang sulit untuk diputus. Orangtua tidak mungkin bisa memasukan anaknya ke sekolah lewat jalur 'akal-akalan' jika sistem yang dibuat memiliki celah untuk dimasuki.

Selain itu, adanya oknum yang  leluasa 'bisa' menitipkan anak orang lain ke dalam sistem, masih saja ada, dan itu justru orang-orang yang dikabarkan memiliki jabatan penting di sebuah instansi pemerintah dan dunia pendidikan itu sendiri.

Maka tak heran muncul sebutan mafia bangku sekolah di setiap tahun ajaran baru. Anehnya, hal yang sudah diketahui itu seakan 'pura-pura' tak diketahui oleh mereka.

Bayangkan, jika satu anak bisa masuk ke sekolah negeri dengan cara 'dititipkan', berapa anak Indonesia yang bersekolah dengan pola pendaftaran semacam itu.  

Mirisnya, ada orangtua yang tak mempermasalahkan model rekruitmen atau pendaftaran semacam itu. Asalkan mereka para orangtua menyanggupi uang yang diminta sebagai jasa titip menitip tersebut.

Peran orangtua, guru dan institusi pendidikan bisa jadi solusi

Agar tak muncul lagi generasi 'akal-akalan', peran orangtua, guru dan institusi pendidikan diharapkan bisa menjadi solusi.  Dengan kata lain, orangtua harus menyadari dan tak perlu memaksakan anak-anaknya bisa bersekolah di sekolah negeri.

Guru dan institusi pendidikan juga harus memberikan pemahaman mengenai kemampuan siswanya. Jika memang tidak memiliki syarat yang disyaratkan untuk mengikuti proses PPDB, mereka harus dengan jujur mengatakan, bahwa sekolah dimanapun, termasuk sekolah swasta bukan sesuatu yang salah, kendati memang sekolah swasta dipungut sejumlah bayaran.

Paling tidak dengan memberi pemahaman semacam itu, orangtua dan anak tidak memaksakan kehendak mereka yang notabene merupakan cara yang salah.

Lantas, siapa yang bisa menghilangkan fenomena yang sudah terjadi selama bertahun-tahun tersebut? Sepertinya tak ada seorang pun yang bisa melakukannya.

Kalau demikian adanya, jangan salahkan jika generasi 'akal-akalan' itu akan terus tumbuh dan terawat sampai nanti. Sampai anak-anak yang dimasukan ke sekolah negeri dengan cara 'akal-akalan' orangtuanya, Dia lakukan juga kepada anak-anaknya kelak.

Cldg, 24/6/2024

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun