Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop Pilihan

Masa Tenang dan Kegaduhan Film Dirty Vote

12 Februari 2024   11:59 Diperbarui: 12 Februari 2024   12:01 396 17
Saat memasuki masa tenang kampanye pemilu 2024, sebagaimana yang sudah diatur lewat Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 23 Tahun 2018, persis beberapa hari jelang hari pencoblosan, publik dikejutkan dengan hadirnya film dokumenter berjudul Dirty Vote.

Film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono, yang juga orang yang duduk di kursi sutradara film "Sexy Killers" pada pemilu 2019, secara garis besar mengisahkan tentang bagaimana proses penyelenggaraan pemilu 2024 itu dipenuhi dengan berbagai kecurangan.

Entah apa yang terlintas dalam benak Dandhy Laksono kenapa dia meluncurkan film Dirty Vote di Youtube itu, saat momen masa tenang kampanye sedang berlangsung.

Memang, walau film tersebut "tidak secara langsung" dibuat oleh salah satu peserta pemilu, belum diketahui pasti mengapa sang sutradara sengaja meluncurkannya di masa injury time.

Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu kaget atau gimana-gimana dengan munculnya film Dirty Vote ini. Karena film itu dibuat dan diluncurkan saat injury time, oleh sutradara yang sama pada film "Sexy Killers" di pemilu 2019 lalu.

Namun film Dirty Vote ini jelas-jelas sudah mengobok-obok salah satu paslon, khususnya paslon 02 (Prabowo-Gibran). Karena seperti yang ada di film itu, pengisahannya tentang para pengelola negara yang melakukan kecurangan terhadap proses penyelenggaraan pemilu 2024.

Berbicara pengelola negara, jelas disitu ada pemerintah beserta perangkat-perangkatnya. Berbicara pemerintah atau eksekutif, jelas sasaran tembaknya adalah Presiden Jokowi.

Dan film itu dengan lugas dan gamblangnya menyatakan bahwa lolosnya Gibran Rakabuming Raka (putra sulung Jokowi) sebagai Cawapres, sebagai bentuk kecurangan atau perlawanan terhadap konstitusi.  

Dengan alur sedemikian itu, jelas film Dirty Vote yang muncul di masa injury time, jadi membuat kegaduhan tentunya. Kegaduhan itu pun makin menjadi-jadi karena sebarannya di media sosial terjadi begitu masifnya.

Di grup-grup Whatsapp pun film Dirty Vote ini banyak dishare link Youtube-nya oleh orang. Ditonton, dikomentari, didebatkan bahkan terjadilah berbagai pandangan, penilaian, argumentasi, pembelaan satu sama lain yang intinya pemerintah saat ini sudah salah dalam menyelenggarakan pemilu 2024.

Bahkan di kalangan insan pers, tak sedikit yang ikut terlibat menyebarkan film tersebut melalui berbagai platform media sosial.

Jika menyebarkan film tersebut hanya sebagai bentuk cita rasa terhadap pandangannya secara seni sinematografi, itu mungkin bisa dimaklumi. Tapi tidak demikian adanya, beberapa rekan wartawan juga melihat sisi politis dari pemunculan Dirty Vote ini.

"Intinya Pemilu 2024 khususnya Pilpres dinilai tidak legitimed. Karena sarat praktik kecurangan," ujar salah seorang jurnalis mengutarakan pandangannya dalam perbincangan di Grup WhatApp terkait munculnya film Dirty Vote.

"Membedah proses Pemilu dan Pilpres 2024. Tembakannya lebih banyak ke 02. Tapi ada juga yang ke 01 dan 03 walaupun relatif lebih sedikit. Jadi semua kena. Baik itu 01, 02 maupun 03," imbuhnya.

TKN Prabowo-Gibran sendiri telah menggelar konferensi pers menyikapi beredarnya film Dirty Vote.

"Tp narasi tangkisannya lemah. Cuma bilang "itu fitnah". Ga bs serang balik dgn data dan fakta," masih lanjutnya.

Ia tak mencium adanya pemesan khusus dalam penggarapan film Dirty Vote ini.

"Klo lihat dr tiga tokoh yg tampil di film ini sih cukup kredibel. Rasanya kecil kemungkinan pesanan dr pihak yg bertarung. Kemungkinan digerakkan oleh lembaga atau tokoh yg risau dgn dinamika Pemilu/Pilpres 2024. Fokusnya membongkar kecurangan yg dianggap TSM (Terstruktur Sistematis dan Massif), bukan menggagalkan Pemilu/Pilpres Bang," paparnya.

Apa yang diutarakannya mungkin juga akan diutarakan oleh rekan-rekan wartawan lain, jika pertanyaan itu mengarah ke sisi politik. Lantas bagaimana dari sisi seni sinematografi? Atau dari segi lain, misalnya bahwa film disebut juga sebagai alat propaganda.  

Jika menilik dari sisi bahwa film sebagai alat propaganda, maka Hilmar Hoffmann pernah berkata bahwa dalam film, hanya apa yang 'dilihat' oleh kamera yang ada, dan penonton, yang tidak memiliki perspektif alternatif, secara konvensional menganggap gambar tersebut sebagai kenyataan.**

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun