Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Nasib Industri Pengolahan Kakao di Sulsel

25 Oktober 2010   14:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:06 1511 0
TANAH LUWU -- Mesin pabrik terdengar menderu dari areal perkebunan  kakao  di sudut Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, pertengahan Agustus 2010. Haji Baharudin Iskandar, si pemilik pabrik, baru saja menjalankan mesin pabrik pengolahan  kakao  itu tepat pukul 08.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA).

Pabrik pengolahan  kakao  milik Haji Rudi, panggilan karib Baharudin, merupakan satu-satunya pabrik pengolahan  kakao  di Luwu Utara. Lokasi pabrik ini cukup jauh dari Kota Makassar. Pabrik seluas 680 meter persegi yang berlokasi di Jalan Lamaranginan Topangi Indah, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, ini berdiri di atas lahan seluas dua hektare.

Dari Makassar, pabrik ini berjarak sekitar 550 kilometer (km) arah utara. Waktu tempuhnya bisa mencapai setengah hari atau 12 jam perjalanan darat. Tapi jika ingin jalur cepat, pengunjung bisa menggunakan fasilitas penerbangan lokal Makassar–Luwu Utara yang berjarak tempuh hanya sekitar dua jam.

Namun, pesawat tersebut hanya beroperasi sebanyak dua kali dalam sepekan. Sebenarnya, belum lama pria berumur 42 tahun ini aktif mengolah  kakao . Dia baru serius menekuninya sejak Agustus tahun lalu dengan mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe.

Sebelum terjun mengolah  kakao , putra asli Luwu Utara ini memang telah akrab dengan komoditas tersebut. Maklumlah, selama ini Rudi terbilang sukses menjadi petani dan pedagang pengumpul kakao. Rudi menjadi petani  kakao  sejak 1987. Lantaran usahanya terus maju, tiga tahun kemudian, dia naik kasta menjadi pedagang pengumpul.

Dia terjun langsung menjemput kakao  dari perkebunan-perkebunan rakyat. Wilayah kerjanya di sekitar Luwu Utara, mulai dari kawasan Pongo, Salulemo, Masamba, hingga Malangke. Rudi bersemangat membesarkan industri pengolahan  kakao di Sulawesi Selatan. Maklumlah, tanah Celebes merupakan penghasil  kakao  terbesar di Indonesia. “Kita sebenarnya bisa mengolah cokelat sendiri, kenapa harus dibawa keluar?” ujarnya.

Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan pada Juli 2010 menunjukkan, perut bumi Sulsel ini menghasilkan 25,15% biji kakao dari total produksi kakao nasional sebanyak 421.142 ton per tahun. Hampir 100% produksi kakao nasional membidik pasar ekspor. Perinciannya, 80%  kakao  diekspor dalam bentuk biji dan sisanya, 20%, kakao diekspor dalam bentuk setengah jadi.

Kendati produksi kakao di Sulsel cukup berlimpah, jangan heran apabila perusahaan yang berinisiatif mengelola komoditas tersebut di dalam negeri bisa dihitung dengan jari. Kemampuan industri nasional – termasuk di Sulsel – memang masih tergolong rendah untuk mengolah  kakao . Dari 250.000 ton kapasitas terpasang, industri baru bisa memaksimalkan produksi setengahnya saja, yakni 125.000 ton per tahun.

Kondisi ini membangkitkan semangat orang Sulsel untuk menciptakan nilai tambah pada produk kakao. Salah satunya mewarnai KUB Sibali Resoe yang memproduksi aneka cokelat batangan dan cokelat bubuk. Saat ini produksi cokelat di pabrik Rudi memang masih minim, baru sebanyak 25 kilogram (kg) per hari atau 750 kg per bulan. Jumlah itu sesuai dengan kemampuan produksi dari pabrik tersebut. Padahal, pasokan biji kakao ke pabrik ini lumayan besar, yakni mencapai 14 ton per bulan.

Komoditas sebanyak itu dipasok oleh sedikitnya 200 petani  kakao  di Luwu Utara yang sudah menjalin kemitraan dengan KUB Sibali Resoe. Jadi, selain sibuk merintis pabrik pengolahan cokelat, Rudi masih tetap rutin menjual mayoritas biji kakao tersebut kepada para eksportir. Sampai kini dia masih berusaha memaksimalkan kapasitas pabrik pengolahan  kakao  agar petani kakao  Sulsel mendapatkan nilai tambah.

Rudi juga menularkan pengetahuan dia kepada para petani. Misalnya, KUB Sibali Resoe siap menampung biji  kakao  hasil fermentasi. Petani pun termotivasi menciptakan nilai tambah bagi produk kakao . Harga jual biji  kakao  hasil fermentasi lebih mahal ketimbang tanpa fermentasi.

Sebagai gambaran, biji kakao tanpa fermentasi hanya seharga Rp 20.000 per kg, sedangkan biji kakao  fermentasi bisa mencapai Rp 23.000–Rp 25.000 per kg. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya pengembangan industri pengolahan  kakao  terus bermunculan di Sulsel.

Selain pabrik milik KUB Sibali Resoe di Luwu Utara, muncul pula pabrik-pabrik pengolahan  kakao  di tiga kabupaten atau kota lainnya, yakni Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, dan Kota Palopo. Empat wilayah tersebut biasa disebut Tanah Luwu.

Di Sulsel, produksi terbesar kakao berasal dari tanah Luwu. Keempat pabrik tersebut pernah memperoleh bantuan dari Pemprov Sulsel, masing-masing senilai Rp 1 miliar. Bantuan tersebut mereka pakai untuk membeli mesin pengolahan  kakao . Belakangan, hanya satu pabrik yang beroperasi secara normal, yakni milik Rudi. Tiga pabrik cokelat lain berjalan ala kadarnya.

KUB Agung Madani Syariah di Kota Palopo, misalnya, kini hanya memproduksi cokelat kurang dari 500 kg per bulan. Awalnya, pabrik ini mampu memproduksi cokelat batangan dan cokelat bubuk seberat 1 ton per bulan. Ada beberapa kendala menghadang. Kendala itu antara lain terbatasnya jaringan pemasaran, permodalan, dan teknologi.

Di pasaran, cokelat batangan hasil garapan industri kecil jelas kalah bersaing dengan produk-produk cokelat yang sudah tenar yang menghiasi gerai-gerai pasar modern. Untuk menyiasatinya, KUB Sibali Resoe kerap menggelar promosi dari satu acara ke acara lain, baik di Sulawesi maupun di Jawa. Pelaku industri kakao juga masuk ke sentra oleh-oleh khas Makassar agar semakin dikenal masyarakat. Pemasaran bukanlah satu-satunya hambatan.

Muhammad Sahaka, pemimpin KUB Agung Madani Syariah, menjelaskan, pabrik yang dia kelola masih memakai mesin yang serba terbatas. Mesin-mesin ini didatangkan dari Bogor, Jawa Barat. Untuk menggiling biji cokelat menjadi bubuk cokelat, misalnya, tingkat kehalusannya belum maksimal. “Makanya kami masih menggunakan tenaga manusia untuk menghaluskan bubuk cokelat,” tutur lelaki yang tahun ini genap berumur 50 tahun ini.

Hambatan lain adalah soal legalitas produk, seperti izin Depkes dan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Konsumen saat ini sudah melek produk konsumsi sehingga legalitas adalah hal mutlak dalam bisnis makanan. Soal legalitas, Rudi pernah delapan kali bolak-balik Makassar–Jakarta hanya untuk mendapatkan izin produk dalam negeri (MD) dari BPOM RI.

Untuk menghidupi industri pengolahan  kakao  memang butuh modal kuat. Rudi mengaku hingga September 2010 sudah merogoh kocek lebih dari ?Rp 500 juta. Duit tersebut dia pakai untuk membiayai pembangunan pabrik, pengolahan produk, hingga memperkuat jaringan pemasaran. Hasil yang dia dapat dari menjual cokelat batangan dan bubuk belum sebanding dengan dana yang dikeluarkan selama ini.

Tapi, pelaku industri ini tidak patah arang. KUB Sibali Resoe dan KUB Agung Madani Syariah bertekad melanjutkan proyeknya hingga sukses. Kabar terakhir menyebutkan, sejumlah investor dari China dan India menyambangi dua KUB tersebut.

Mereka ingin turut menanam modal. Sahaka mengemukakan, pada akhir Agustus 2010, pengurus KUB Agung Madani bertemu dengan investor China dan India untuk membahas agenda kerjasama tersebut. Investor berniat membeli bubuk cokelat hasil olahan Agung Madani.

Tapi, negosiasi ini belum rampung. Sebab, investor ingin melabeli produk cokelat Agung Madani sebagai produk mereka. Sebaliknya, “Kami ingin produk cokelat itu tetap menggunakan label sendiri,” ucap Sahaka.

Kebayoran Lama, 25 Oktober 2010

Tulisan ini juga dimuat di Tabloid Kontan minggu kedua Oktober 2010

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun