Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat. Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)". Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Namun mulai tahun 2000 PERSIS telah melakukan tajdid (pembaharuan) modernisasi pemahaman astronominya sehingga tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
Beberapa perbedaan itu pernah timbul ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif.. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan masuknya bulan puasa karena bulan ("hilal") sudah wujud di atas ufuk saat maghrib. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, seperti Persis (Persatuan Islam), mengumumkan bulan puasa berdasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. Sementara NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Profesor T. Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN pernah mengatakan bahwa bila Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab yang diyakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Menurut ahli astronomi Indonesia itu pemahaman ini menunjukkan tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Sebenarnya wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Sedangkan teori kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar'i dan astronomisnya. Dari segi syar'i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan. Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari. Metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi yang berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari. Metode ini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat moder). Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pernah menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, diperbaharui dengan menggunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Dalam unia modern kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti kalender Ummul Quro-nya yang digunakan Arab Saudi. Para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi.
Bila Tidak Ada Pembaharuan, Pemerintah menanggungnya
Kunci utama untuk menyatukan kriteria tersebut harus dilakukan diskusi dan pembaharuan yang harus dilakukan oleh ahli asttronomi modern, ahli ilmu perbintangan (falaq), ahli ilmu syari'ah., Para ahli pernah mengusulkan untuk menjauhi pemahaman rukyat yang terjebak pada kejumudan atau kebekuan pemikiran dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Astronomi modern menganggap wujudul hilal, kriteria lama yang dapat dianggap usang. Para ormas Islam harus terus melakukan tajdid (pembaharuan) dalam penentuan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan). NU yang dianggap ormas tradisonal pun justru selalu menerima berbagai pembaharuan tersebut. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Kualitas dan jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak, walau mereka pengamal rukyat. Saudara kembar Muhammadiyah seperti Persis (Persatuan Islam), dengan Dewan Hisab Rukyat telah beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Seperti Muhamadiyah, sebelumnya Persis memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Namun Persis telah beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Selama kriteria tersebut tidak bisa disatukan maka akan sering terjadi perdebatan dan perbedaan penentuan bulan puasa, hari Idul Fitri dan Idul Adha. Para ahli pernah mengatakan bahwa beberapa ormas besar cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Para ahlipun juga mengatakan jangan sampai muncul kesan pada komunitas astronomi itu adalah sebuah "Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang".
Tetapi bila memang pemahaman kriteria tersebut sudah tidak bisa diadakan pembaharuan dan tidak bisa disatukan tidak akan bisa dipaksakan. Namun semua itu disadari bahwa tidak ada yang bisa memaksakan sebuah pemahaman kepada pihak tertentu dan semua pihak harus menghormati karena setiap pendapat mempunyai dasar pertimbangan dan dasar pemikiran yang dianggap paling benar. Dalam keadaan seperti ini maka pemerintahlah yang berwenang untuk melakukan sidang isthbath yang terdiri dari ahli falak, ahli ilmu syari'ah dan ahli astronomi modern dari berbagai ormas Islam dan institusi terkait di Indonesia. Sidang tersebut dilakukan setelah sebelumnya disebar petugas-petugas yang profesional untuk melihat hilal (bulan), sebagai standar waktu peribadatan dalam agama Islam.
Itikat luhur dan upaya baik pemerintah dalam menyatukan perbedaan umat dan persatuan umat tersebut justru kadang dianggap sebagai hal negatif oleh berbagai pihak. Pihak tertentu menganggap bahwa pemerintah terlalu memaksakan kehendak dalam penetapan dan tidak mendengar aspirasi umat lainnya. Padahal pemerintah selalu mengundang dan mendengar aspirasi berbagai ormas Islam di Indonesia dalam penentuan sidang isbath, seperti yang ditunjukkan pada sidang Kamis (19/7/2012). Namun sayangnya mulai tahun 2012 ketua Muhamaddiah Dien Samsyudin secara mengejutkan memutuskan untuk keluar dari sidang isbath yang digalang pemerintah. Sebenarnya tidak ada yang bisa memaksakan perbedaan tersebut karena semua mengutamakan persatuan umat. Justru pemerintah seringkali mengatakan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan masalah penting, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing. Justru yang lebih penting adalah mementingkan persatuan umat serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan. Tetapi Pemerintah juga harus menghormati bahwa keluarnya Muhamaddiah dari sidang Isbath adalah pilihan yang harus diapresiasi. Namun demi persatuan umat Islam mudah-mudahan Muhammadiah akan kembali bergabung dalam sidang Isbath dalam tahun-tahun berikutnya.
Pemerintahpun selalu dituding bahwa bila pemerintah salah dalam penentuan tersebut maka pemerintah harus menanggung dosa dari jutaan umatnya. Umat muslim di Indonesia tidak perlu kawatir pemerintah salah dalam menentukan masuknya bulan puasa dan hari lebaran. Bila pemerintah salah dalam penentuan tersebut maka umat muslim yang mengikutinya tidak akan menanggung dosanya. Bila pemerintah salah dalam penentuannya maka pemerintah sendirilah yang akan menanggungnya. Tetapi inilah muhjizat puasa, bila pemerintah salah dalam penentuan tersebut setelah melalui proses ijtihaj para ahli di negaranya justru pemerintah akan mendapatkan satu pahala atau satu kebaikkan. Nabi Muhammad SAWpun pernah memberikan penekanan terhadap hal penerimaan hasil ijtihad pemimpin, jika sudah dilakukan dengan prosesnya yang benar. "Jika seorang pemimpin itu berijtihad, lalu hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua kebaikan. Namun jikka ternyata hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu kebaikan"