Keberadaan partai koalisi bukanlah faktor pembeda sistem presidensial dan parlementer. Hal ini dibuktikan oleh beberapa peneliti dalam mengamati koalisi pada sistem presidensial ternyata merupakan fenomena yang tidak jauh berbeda pada sistem parlementer. Dalam pengamatan pada beberapa negara demokratis antara 1970-2004 dibuktikan bahwa pemerintahan koalisi dalam sistem presidensial 36,3 persen sedangkan dalam sistem parlementer terjadi sebanyak 39 persen. Dalam penelitian lainnya juga terungkap bahwa di kedua sistem, koalisi terjadi sebanyak lebih dari 50 persen ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas di lembaga legislatif.
Dalam sistem Parlementer, Perdana menteri atau nama sejenisnya dipilih dari anggota parlemen. Orang yang memperoleh dukungan mayoritas biasanya yang terpilih. Tetapi, tidak semua partai bisa menguasai parlemen secara mayoritas.
Tetapi dalam sistem presidensial, presiden dipilih secara langsung dan terpisah dari parlemen. Sehingga bisa saja partai yang tidak menguasai kursi mayoritas mampu mengusung seseorang untuk terpilih sebagai presiden. Di negara tertentu, presiden bahkan bisa berasal dari perorangan. Indonesia memang menganut sistem presidensial, tetapi sulit mengabaikan sifat parlementer. Hal ini terjadi karena sangat besarnya kekuasaan parlemen. Di dalam menentukan jabatan pembantunya yang seharusnya menjadi hak eksekutif, presiden tidak bisa sendirian seperti di dalam menentukan pimpinan BI dan deputinya, Kapolri, Pangab, dan duta besar. Meski DPR tidak mudah menjatuhkan Presiden, tetapi kekuatan parlemen sangat mampu dalam menggoyahkan kestabilan pemerintahan. Bila hal itu terjadi sangat menganggu roda pemerintahan dalam membangun rakyatnya.
Dalam keadaan seperti itu, kemurnian sistem presidensial tidak bisa diterapkan sepenuhnya. Meski didukung kemenangan mayoritas demokrat, SBY masih harus membangun koalisi di dalam pemerintahannya.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, koalisi jadi pilihan sulit. Namun realitas politik itu sulit terhindarkan, terutama saat parpol yang mendukung presiden tak mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Scott Mainwaring dalam bukunya menyatakan, pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis.
SBY Tidak Takut Dimakzulkan
Sebenarnya pembentukan koalisi tersebut bukan karena presiden harus takut dijatuhkan DPR. DPR disebut legislatif karena menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Dalam fungsi pengawasan itu DPR alat kelengkapan berupa hak interpelasi (hak mengajukan pertanyaan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki dampak besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun terhadap dugaan bahwa presiden dan atau wakil presiden melakukan tindak pelanggaran hukum seperti korupsi, penyuapan, dan pidana berat lain, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi: “Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.” Pintu pemakzulan (impeachment) memang ada, tetapi jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat-sangat kecil. Setelah amendemen pemakzulan presiden/wakil presiden merupakan perpaduan atau gabungan antara proses politik dan proses hukum. Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR, melainkan juga memutlakkan peran dan wewenang MK. Jadi dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, kecuali Presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui tindak pelanggaran hukum, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.
Selama ini konflik anggota koalisi dan pemerintahan SBY pernah dua kali terjadi di dalam perseteruan besar. Konflik pertama terjadi saat penggunaan hak Angket Century. Golkar, PKS, dan PPP secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap pimpinan koalisi. Perseteruan berikutnya saat usulan penggunaan Angket Mafia Pajak.
Coba lihat pengalaman pertempuran politik kasus Century di parlemen sampai saat ini tidak menghasilkan keluaran apapun. Tetapi menyisakan kegaduhan politik antara anak bangsa yang hanya menganggu konsentrasi pemerintah dalam membangun rakyatnya. Demikian juga pengajuan hak angket pajak ternyata yang menjadi alasan Golkar dan partai lainnya bukan untuk membuka kasus mafia hukum pajak. Tetapi untuk politisasi kasus pajak dengan mempermasalahkan kinerja dan kebijaksanaan pemerintah tentang pajak.
Sehingga alasan utama pendirian koalisi adalah sekedar alat pertahanan politik dari serangan politikus di parlemen. Latar belakang utama pembentukan koalisi adalah untuk mengurangi kegaduhan politik yang ditimbulkan para politikus di Parlemen. Pembentukan koalisi bukan sekedar untuk mengamankan kebijaksanaan pemerintah. Tetapi untuk meminimalkan serangan politikus di parlemen yang demi kepentingan partai atau kelompoknya berusaha menggoyang pemerintah melalui sekecil apapun kesalahan yang dilakukan pemerintah.
Pembentukan koalisi yang ideal adalah bukan untuk meredam kritik dan sifat kritis parlemen. Tetapi pembentukan koalisi untuk meredam niat tidak baik politikus untuk menggoyang eksistensi pemerintah demi kepentingan pribadi partainya yang secara tidak langsung mengganggu kinerja pemerintah dalam membangun rakyatnya.
Sekalipun eksekutif berupaya membangun koalisi, kekuatan politik di DPR seharusnya tak menggadaikan posisi konstitusionalnya. George C Edwards III dan Stephen J Wayne dalam buku "Presidential Leadership: Politics and Policy Making" menyatakan, dalam bangunan sistem pemerintahan presidensial partai politik di DPR tidak dapat begitu saja membenarkan semua tindakan pemerintah. Koalisi ini adalah realitis politik di Indonesia yang sulit dielakkan dari ketidaktulusan para politikus dalam parlemen dalam mengkritisi pemerintah.
Koalisi mungkin tidak akan diperlukan bila semua politikus dalam melakukan fungsi pengawasan dengan melakukan kritik dengan niat baik demi membangun bangsa. Sebenarnya bila politikus yang mengaku wakil rakyat itu akan mengkianati rakyat pemilihnya bila terus merongrong presiden yang dipilih oleh sebagian besar rakyatnya.
Ketamakan dan keserakahan politikus semakin tampak. Ketika mereka ingin meraih manisnya kekuasaan, sembari menyerang pemerintah yang didukungnya. Penyerangan itu selain menjatuhkan partai pemerintah juga untuk menaikkan pencitraannya dalam kepentingan politik untuk "tahun suksesi 2014".
Koalisi dapat dicegah bila terjadi penyerderhanaan multi partai yang rumit di sistem perpolitikan Indonesia. Koalisi tidak akan diperlukan bila kekuatan parlemen tidak sebesar sekarang ini. Hal ini semua tampaknya sulit dilakukan, karena pembuat dan penentu undang-undang yang mengatur semuanya adalah buatan politilus itu sendiri. Demikian pula penyerderhanaan multi partai dianggap mengkebiri kehidupan demokrasi.
Bila penyerderhanaan multi partai tidak dilakukan. Dan bila kekuatan DPR sangat besar dengan berbagai alat kelengkapannya tidak dibatasi. Maka siapapun presiden Indonesia nantinya selalu akan disibukkan dengan pembentukan Koalisi dan direpotkan usaha untuk melawan Oposisi. Meski koalisi dan oposisi tidak ideal dalam sistem presidensial, tetapi realitas politik itu sulit dielakkan. Energi sangat besar untuk melawan serangan politik di parlemen itu menyita sebagian besar kekuatan pemerintah untuk membangun rakyat yang membutuhkannya. Tugas terberat SBY ternyata bukan hanya untuk membangun rakyatnya. Tetapi tugas paling sulit SBY adalah menghadapi ketamakan dan kelihaian politikus di parlemen yang meski tidak memakzulkannya tetapi setiap saat dapat menggoyang keras SBY yang dapat mengganggu kinerja pemerintah.