Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Waspadai Bukan Tbc, diobati Tbc

2 Februari 2011   00:49 Diperbarui: 28 April 2024   07:58 8380 1
Si Udin berusia 3 tahun dalam setahun terakhir ini berat badannya sulit naik, sulit makan dan berulang kali mengalami batuk. Banyak teman orang tua yang menyarankan agar segera diperiksa ke dokter, mungkin anaknya mengalami penyakit tuberculosis (TB) atau banyak dikenal sebagai penyakit flek paru. Setelah ke dokter, hanya dengan pemeriksaan rontgen si anak langsung divonis TB dan harus minum obat jangka panjang selama 6 bulan. Setelah minum obat selama 6 bulan tidak membaik diperpanjang hingga 1 bahkan 2 tahun. Si ibu penasaran kenapa obatnya berkepanjangan dan di rumah tidak ada yang sakit tapi kok menderita flek. Kemudian dilakukan second opinion ke dokter ahli paru lainnya ternyata setelah diperiksa lebih lengkap si anak ternyata tidak menderita TB dan obat yang diberikan dianjurkan untuk dihentikan. Kasus overdiagnosis TBC atau bukan TBC tetapi diobati TBC sangat sering didapatkan. Overdiagnosis TBC harus lebih diwaspadai  pada penderita alergi, asma, penderita gagal tumbuh dan  Picky Eater (sulit makan) yang mengalami hipersensitifitas saluran cerna.

 

Penyakit TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Hingga saat ini masih menjadi penyakit yang sangat dikawatirkan oleh masyarakat. Menurut hasil survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT 1995) penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok umur. Diagnosis pasti TB anak sulit oleh karena penemuan Micobacterium TBC (M.TBC) sebagai penyebab TB pada anak tidak mudah. Sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis baik berupa underdiagnosis dan overdiagnosis dalam penegakkan diagnosis TB pada anak. Overdiagnosis atau diagnosis TB yang diberikan terlalu berlebihan padahal anak belum tentu mengalami infeksi TB. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah pemberian multidrug (2 atau 3 jenis antibiotika) dalam jangka waktu 6 bulan. Pemberian obat anti TB pada anak yang tidak menderita TB selain mengakibatkan pengeluaran biaya yang tidak diperlukan, juga resiko efek samping pemberian obat tersebut seperti gangguan hati, persarafan telinga, gangguan darah dan sebagainya. Di lingkungan Puskesmas khususnya daerah pedesaan juga membuat berkurangnya persediaan obat untuk penderita TB yang benar-benar memerlukannya. Di kalangan masyarakat bahkan sebagian klinisi terdapat kecenderungan tanda dan gejala TB yang tidak spesifik pada anak sering dipakai dasar untuk memberikan pengobatan TB pada anak. Padahal banyak penyakit lainnya yang mempunyai gejala tersebut. Gagal tumbuh atau berat badan tidak naik, kesulitan makan, demam berulang, sering batuk atau pembesaran kelenjar di sekitar leher dan belakang kepala merupakan gejala yang tidak spesifik pada anak. Tetapi tampaknya dalam praktek sehari-hari gangguan ini sering langsung dicurigai sebagai gejala TB. Seharusnya gejala tersebut dapat disebabkan oleh beberapa penyakit lainnya. Gangguan-gangguan tersebut juga sering dialami oleh penderita alergi, asma, gangguan saluran cerna dan gangguan lainnya pada anak.

Penderita Alergi dan "Picky Eaters" 

 Tanda dan gejala TB yang tidak spesifik sangat mirip dengan penyakit lainnya. Penderita "Picky eaters (sulit Makan), Gangguan gagal tumbuh dan gangguan saluran napas non spesifik sering mengalami overdiagnosis tuberkulosis. Penyakit alergi atau asma dan penderita gagal tumbuh daan "Picky eaters" yang disertai kesulitan makan paling sering dianggap penyakit TB karena gejalanya sama. Penelitian yang dilakukan penulis didapatkan fakta yang patut disimak. Sebanyak 34(12%) anak mengalami overdiagnosis di anatara 226 anak dengan gangguan napas nonspesifik seperti alergi atau asma yang berobat jalan di Klinik Alergi Anak Rumah Sakit Bunda Jakarta. Penelitian lain didapatkan hasil yang mengejutkan, overdiagnosis ditemukan lebih besar lagi, yaitu 42 (22%) anak pada 210 anak dengan gangguan kesulitan makan disertai gagal tumbuh yang berobat jalan di Picky Eaters Clinic Jakarta. Overdiagnosis tersebut sering terjadi karena tidak sesuai dengan panduan diagnosis yang ada atau kesalahan dalam menginterpretasikan gejala klinis, kontak dan pemeriksaan penunjang khususnya tes mantoux dan foto polos paru.

Memang tidaklah mudah untuk menegakkan diagnosis TBC. Sulit untuk menyalahkan seseorang bila terjadi kesalahan dioagnosis TBC. Seringkali beberapa dokter anakpun berbeda pendapat dalam penegakkan diagnosis TBC pada anak yang sama. Bahkan kerap dijumpai dua dokter ahli paru anak yang sudah sangat pakar di bidangnya mendiagnosis seorang pasien yang sama dengan diagnosis berbeda. Satu dokter ahli paru anak menyatakan si anak TBC, tetapi dokter paru anak lainnya mengatakan bukan TBC.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun