Dan inilah saya si pemirsa naïf itu. Saya menyayangkan betapa sekian banyak kasus dan pemberitaan di televisi gagal dijadikan pembelajaran bagi masyarakat luas. Bentrokan dua kelompok pemuda di Kamal Raya, Cengkareng baru-baru ini misalnya. Buat orang yang mau berfikir, seharusnya tidak hanya dilihat sebagai soal berebut resource semata. Kita layak berempati pada kawan-kawan kita yang kurang beruntung itu, yang kerap cuma dijadikan centeng untuk menjaga tanah kosong. Mereka mungkin adalah pelaku aktif, tetapi juga adalah korban. Korban penegakan hukum yang lemah, korban kemiskinan, korban ketololan sistemik semua pihak yang mau bertanggung jawab.
Di sinilah media mempunya peranan strategis mendidik masyakat. Harus ditegaskan bahwa meski berbeda kelompok, etnis, maupun atribut apapun, manusia pada dasarnya sama. Manusia betapapun berbedanya berasal dari satu keturunan yang sama. Begitu juga dengan kerusuhan Sampang yang berbau sara. Kita tidak cukup berhenti sebatas bersyukur bahwa kita tidak menjadi korban. Bahwa kita bukan “si Syi’ah” malang yang menjadi korban itu. Indikator keberhasilah sebuah tayangan yang memberikan pencerahan adalah tumbuhnya rasa kemanusiaan kita yang lebih luas lagi.
Fungsi pencerahan sebuah media itulah yang diharapkan jangan cuma jadi slogan. Satu tayangan seyogianya jangan hanya memberi bola panas bebas nilai yang penilaiannya secara penuh diserahkan sendiri pada para penonton. Di dunia yang tidak ada netralitas tanpa syarat ini, tidak ada salahnya media memiliki sikap dan memberikan edukasi etis pada orang banyak.
30/08/12 /05.23 wib