Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Clinton

26 Januari 2022   15:47 Diperbarui: 26 Januari 2022   15:50 108 0
Ketika William Jefferson Clinton bertarung dalam pemilu presiden 1992, banyak orang meramalkannya akan kalah. Betapa tidak, orang belum lupa dengan serbuan Garda Revolusi Iran 12 tahun sebelumnya, yang menewaskan lebih dari separuh penghuni kedutaan Amerika Serikat di Taheran. Rezim Republik terlalu kuat, dan kekuatan itulah yang menghempaskan Jimmy Carter, sekaligus mendudukkan Ronald Reagen ke singgasana Gedung Putih.

Tetapi 20 Januari 1993 Clinton dilantik sebagai presiden dari Partai Demokrat, dan orang langsung mengasosiasikannya dengan kejenuhan terhadap George H. Bush Sr. yang telah lama berkuasa (sejak 1981). Dengan mengusung tema It's Economic, Stupid, Clinton memenangkan hampir 60% suara pemilih. Kelompok Pro-Choice pun menemukan kembali alibinya di bawah presiden yang pernah tiga periode menjabat Gubernur Arkansas.

Di Arkansas, Clinton bukannya tak punya skandal. Prestasi yang diingat publik adalah keberhasilannya menggolkan Undang-Undang yang mengharuskan orang tidak boleh salah menolong, khususnya di jalan raya. Tetapi semua orang tahu bahwa jabatan presiden berbeda dengan gubernur negara bagian pada dekade 1970.
==========

Selama menjabat, Clinton tak pernah secara resmi mengunjungi Jakarta, kecuali mampir untuk KTT APEC di Bogor. Tetapi Soeharto pernah menyambangi Clinton di White House setelah Ibu Tien Wafat. Saya mendapat informasi dari seorang kawan yang bermukim di River Side, bahwa di mata Clinton, Soeharto tak lebih dari seorang Republiken.

Sebenarnya kampanya Demokrat tak pernah menarik bagi Soeharto, termasuk ketika Paul Wolfowitz  tinggal di Jakarta. Berdasarkan sejarah, Kennedy memang sahabat Soekarno. Tetapi Lyndon Johnson lah yang merestui penggulingannya sekaligus menempatkan Soeharto untuk menggantikannya. Kita bisa melihat dan membaca kisah ini dalam dokumen CIA yang dapat diterbitkan setelah 30 tahun.

Secara psikologis, realita itu patut dicermati. Orang kedua atau pengganti atawa the second selalu menjadi oposite yang berbeda tegas dengan  pendahulunya. Maka ketika Soeharto menyambut Reagen di Bandara Ngurah Rai (1986), sambutan besar-besaran itu terasa berbeda. Dan bagi Soeharto, tidak peduli siapa saja (termasuk eks PRRI), "lawan dari lawan adalah kawan" 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun