Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Dulu Buta Huruf, Kini Wartawan

21 Juli 2010   05:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:43 163 0
Jawa Tengah punya angka buta buruf yang tinggi, termasuk tiga besar angka buta huruf se-Indonesia. 60% di antaranya adalah perempuan, tinggal di pedesaan, minim akses ekonomi dan informasi. Di Kabupaten Semarang, upaya memberantas angka buta huruf dilakukan dengan cara unik, yaitu membuat Koran Pasinaon. Wartawannya adalah ibu-ibu yang dulunya buta huruf. Wartawan koran ini adalah ibu-ibu paruh baya. Dulu, mereka buta huruf. Kini, mereka handal menulis artikel untuk Koran Pasinaon. Curhat warga Koran Pasinaon terbit awal 2010. Meski namanya koran, terbit hanya sebulan sekali, dengan tebal sepuluh halaman. Uniknya, sebagian isi koran berupa tulisan tangan dari wartawannya. Isinya dari berita utama, surat pembaca, tips masak sampai curhat warga. Tirta Nursari adalah pengajar di Taman Baca Pasinaon, cikal bakal Koran Pasinaon. "Kontribusi tulisan sudah banyak. Seperti Bu Rumini, produktif untuk puisi. Semua edisi adalah tulisan dia. Saya lagi memotivasi yang lain menulis puisi, tapi belum. Kontribusi kedua tips kesehatan, masak-masak, suara perempuan ala mereka." Sugimah, nenek 12 cucu ini, aktif memasok tips memasak. Tips ditulis dari pengalaman masaknya sehari-hari. "Membuat kue lapis. Bahannya 1 kilogram tepung beras, setengah kilogram tepung pati, 1 kilogram gula pasir, gula kelapa, dikukus 1 gelas. Kalau sudah dilihat sudah halus, dikasih lagi 1 gelas. Kalau sudah halus dikasih lagi. 1 loyang 16. Niki mbahe yang sudah pernah masak ini terus mbah tulis lagi untuk dimasukkan koran. Pokonya mbahe nulis..ya mau.." Siapa pun bisa mengusulkan tulisannya masuk Koran Pasinaon. Tinggal datang ke kantor redaksi, jelas Tirta Nursari. "Kami sediakan kotak di situ. Ada box plastik. Kalau saya tidak ada di rumah, mereka mau kirim tulisan, silakan masukkan di situ. Tapi kalau saya ada penugasan, ada liputan apa dan harus dibikin konsep wawancara mereka agak bingung membuatnya. Bikin di sini, kita beri media bikin seperti ini mereka nulis di sini juga." Tak lulus SD Rumini wartawan terbaik Koran Pasinaon. Perempuan 43 tahun ini tidak lulus SD, dulu tidak lancar membaca dan menulis. "Saya merasa senang sekali karena selain ketemu sama pejabat-pejabat besar bertemu orang luar. Saya rasa dengan hangatnya mereka menerima saya. Jadi nggak ada masalah. Saya rasa biasa saja seperti ketemu mbak Ita atau teman-teman yang lain." Tak mudah melatih ibu-ibu paruh baya ini kembali belajar membaca dan menulis. Salah satu pengajar di Taman Baca Pasinaon Musarofah bercerita, kendala tersulit adalah komunikasi. Semangat baru Koran Pasinaon kini jadi semangat baru bagi ibu-ibu bekas penyandang buta huruf di Kabupaten Semarang. Setiap hari mereka rajin datang ke kantor redaksi, berlomba-lomba mengirimkan tulisan. Masyarakat juga senang. Setiap bulan, koran terbit sebanyak 1000 eksemplar, gratis bagi siapa pun yang mau membaca. Fatimah, tokoh perempuan di Kecamatan Bergas mengatakan, media ini jadi perekat hubungan antar warga. "Semangat ibu-ibu karena di sini berjuang untuk bisa membaca menulis, warga sini sudah merasa senang Koran Pasinaon, ada Koran ibu bisa berkumpul, bisa silaturahmi. Manfaatnya belum tahu masalah masak-memasak di sini kan ada. Halaman apa yang paling senang, pengobatan saya senang, masak-memasak saya banyak yang senang." Rumini, wartawan Koran Pasinaon, juga dapat tambahan pendapatan dari profesi barunya. "Ibu dapat honor 1 tulisan, 15 ribu per satu tulisan. Waktu terima uang dari hasil nulis wah seneng sekali. Kalau saya dapat penghasilan anak saya juga senang pikir saya. Ngasih uang saku anak-anak sekolah, buat belanja sehari-hari." Bagaimana cerita di balik pembentukan Koran Pasinaon ini di tangan ibu-ibu bekas penyandang buta huruf? Perempuan Dua tahun lalu, Tirta Nursari, warga Kecamatan Bergas, mendirikan Taman Baca Masyarakat Pasinaon, yang berarti 'tempat belajar'. Saat itu warga yang buta huruf masih banyak. Dari satu kecamatan, bisa ada 100 penyandang buta huruf, sebagian besar perempuan. Taman Baca berdiri untuk merangsang warga menyukai buku dan gemar membaca, ujar Tirta Nursari. "Setelah anak-anak terlibat kemudian ibu-ibunya berhasil juga kita libatkan. Dari posyandu pelan-pelan ada lomba dongeng sehingga ibu-ibu sedikit banyak ada pendekatan ke arah buku. Saya mendongeng sendiri untuk anak-anak ke mereka. Ibunya mendengarkan akhirnya kita gandeng juga ibunya belajar yang belum lancar membaca." Perempuan jadi target utama Taman Baca. Salah satu yang tertarik bergabung adalah Isnaini, 47 tahun. "Senang sekali bergabung. Dulu kan belum bisa membaca. Disekolahi mbak Tirta dikit-dikit. Sekarang sudah bisa. Saya ingin bisa sekolah di Pasinaon. Kalau ada pertanyaan di mana-mana kan saya ndak bingung." Di Jawa Tengah masih ada sekitar 7 ribu warga buta huruf. Kantong-kantong buta huruf di sana adalah Blora, Rembang, Grobogan. Di  Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, ada 100-an perempuan buta huruf, dengan usia di atas 30 tahun. Minat baca Taman Baca Pasinaon bukan yang pertama hadir untuk melakukan upaya pemberantasan buta huruf. Tapi metode yang lain gagal mendongkrak minat ibu-ibu untuk membaca dan menulis, kata Tirta, salah satu pengajar. "Minat baca mereka sangat minim karena media yang tersedia sangat minim untuk mereka. Buku-buku untuk keaksaraan tidak menarik, gambar hitam putih. Mereka tidak punya minat baca tapi kalau saya ajak mereka mau." Kini para ibu ini sudah pandai membaca dan menulis. Juga jadi wartawan Koran Pasinaon. Rumini bangga bukan kepalang dengan kesibukan barunya ini. Rohmiati juga senang. Kini ia tak lagi kesulitan membaca surat undangan pernikahan yang diterimanya. "Kulo riyen mboten saget nopo-nopo nek entuk ulem mboten saget moco. Enten ulem mboten saget mbaca. Ya pengen ngertilah kalau ada undangan pengen bisa membaca, pengen tahu lah." Laporan ini disusun reporter KBR68H, Shinta Ardany untuk Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun