Pada suatu ketika seorang mahasiswa meminta penulis membuatkan skripsinya. Ia rela membayar berapa pun asal skripsinya jadi. Penulis hanya menggeleng kepala seraya senyum kecil kemudian berkata “tidak.”
Menulis merupakan pekerjaan gampang tapi tidak gampangan. Menulis merupakan salah satu keterampilan bahasa yang seyogianya dikuasai mahasiswa. Namun, tak semua mahasiswa bisa menulis. Sebagian dari mereka menderitaphobiamenulis. Mereka tidak percaya akan kemampuan diri mereka sendiri. Ketidakpercayaan inilah yang akan melumpuhkan keberanian menulis. Padahal mahasiswa itu harus berani menulis. Seperti yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “Menulis adalah sebuah keberanian.”
Peran dan fungsi mahasiswa yakni sebagaiagent of change, moral force, Iron stock,dansocial control.Mahasiswa sebagaiagent of changesejatinya bisa merubah besi berkarat menjadi emas. Bukan sebaliknya, merubah berlian menjadi arang. Jika mahasiswa mandul menulis, bagaimana bisa mengubah dunia?
Bagi bangsa Indonesia yang berbudaya dengar-omong, agak sulit kiranya membumikan budaya menulis. Padahal menulis itu melatih daya nalar. Menurut Alwasilah (2005), “Secara kolektif, bangsa yang lemah budaya tulisnya cenderung lemah daya nalarnya. Secara Individual, seorang yang produktif menulis akan lebih kritis daripada yang tidak produktif.” Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa tantangan komunikasi tulis lebih canggih daripada komunikasi lisan.
Mengubah budaya tutur ke budaya tulis perlu proses. Tidak ada kata terlambat. Mulailah menulis dengan hal-hal kecil danrandom(acak) ihwal kehidupan sehari-hari. Apalagi dewasa ini mahasiswa semakin melek teknologi. Jejaring sosial semisal,facebook, blog, atau mikroblog(twitter)bisa digunakan sebagai obat manjur untuk menumbuhkan motivasi menulis. Sudah barang tentu, menggunakannya secara positif dalam koridor yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Mari menulis, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menulis.
Sam Persiana