Gestur tubuhnya memperlihatkan amarah, nada bicaranya meninggi sambil sesekali mengernyitkan dahi. Ini terjadi karena mendapati kinerja pembantunya tidak menampakan kemajuan berarti dalam penanganan pandemi virus corona atau covid-19, yang sudah sejak awal bulan Maret lalu menyerang tanah air.
Peristiwa tersebut di atas terjadi pada saat sidang kabinet paripurna, Kamis (18/06/220), yang videonya diunggah 10 hari kemudian, Minggu (28/06/2020).
Masih dalam kesempatan rapat kabinet paripurna, Presiden Jokowi tak cuma sekedar marah. Mantan Wali Kota Solo ini juga melontarkan ancaman reshuffle kabinet.
Bagi Presiden Jokowi, reshuffle tentu saja bukan barang baru. Sejak menjabat presiden pada tahun 2014, tercatat beberapa kali merombak kabinetnya. Alasannya pun beragam. Ada karena kinerja para menterinya yang tidak sesuai dengan ekspektasi atau karena perubahan komposisi koalisi partai.
Seperti dikutip dari Tirto.id, Jokowi pernah mengganti Asma Abnur Kader dari Partai Amanat Nasional (PAN) dari kursi Menteri Pendayagunaan Aparatut Negara dan Reformasi Birokrasi, pada 14 Agustus 2018. Gara-garanya PAN mendukung calon lawan Jokowi pada Pilpres 2019, yaitu pasangan Prabowo - Sandiaga.
Reshuffle atau Gertak Sambal?
Masih belum jelas apakah isu reshuffle yang diungkapkan Presiden Jokowi ini bakal diwujudkan dalam waktu dekat atau sebenarnya hanya sekadar gertak sambal, agar para pembantunya bisa lebih giat lagi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Jokowi hanya ingin testing the water terhadap para menterinya. Kemudian mengukur sejauh mana perkembangan yang bisa dilakukan oleh para pembantunya tersebut ketika ancaman reshuffle membayangi mereka.
Bukan mustahil, jika setelah wacana itu dihembuskan, dan masih belum ada peningkatan alias keinerja para pembantunya ini masih tetap biasa-biasa saja, maka Presiden Jokowi tidak akan lagi banyak pikir. Reshuffle benar-benar akan terwujud.
Meski bagaimanapun, reshuffle adalah keniscayaan bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Dia adalah pemegang hal prerogatif. Kapan pun dia mau, reshuffle akan bisa dilakukan. Walau pada prosesnya pasti tidak akan sesederhana itu.
Ada hal-hal yang harus dikomunikasikan terlebih dahulu dengan para pimpinan partai politik (Parpol). Sebab, diakui atau tidak, dari sinilah keberangkatan awal Jokowi hingga mampu menjelma jadi penguasa di Republik Indonesia.
Oposisi Tergoda?
Tapi, seandainya isu reshuffle Presiden Jokowi yang dihembuskan pada saat sidang kabinet paripurna tersebut benar-benar akan diwujudkan dalam waktu dekat, itu artinya bakal ada kursi kosong dalam kabinetnya.
Lantas, milik siapa kursi yang ditinggalkan tersebut? Jawabannya tentu bisa milik siapa saja. Bisa diberikan pada kalangan profesional, tekhnokrat atau kader partai.
Nah, jika bicara kader partai, pasti kader-kader yang berada dalam lingkaran kekuasaan bakal mendapatkan kesempatan lebih besar untuk menduduki kursi yang kosong. Tapi, bukan berarti kesempatan untuk partai oposisi tertutup rapat-rapat.
Sebuah keniscayaan, bila di masa jabatan terakhirnya sebagai presiden, Jokowi ingin lebih memperkuat posisinya dan menguasai kursi parlemen agar bisa meminimalisir tekanan politik.
Benar, jika ini terjadi akan membuat iklim demokrasi tanah air tidak sehat. Sebab daya dobrak atau kritis sebagai penyeimbang pemerintahan tidak akan berfungsi maksimal.
Tapi, dalam budaya politik Indonesia, kadang hal-hal seperti ini kurang mendapat perhatian lebih. Yang penting bagaimana mengamankan diri hingga kekuasaannya berjalan mulus hingga akhir.
Pertanyaan berikutnya, akankah partai oposisi yabg saat ini diduduki oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat tergoda untuk masuk dalam lingkaran pemerintah?
Dalam hipotesa sederhana saya, dari ketiga partai oposisi ini hanya PAN dan Partai Demokrat yang rasanya berpotensi masuk dalam lingkaran koalisi pemerintahan.
Mengapa? Untuk mencari jawabannya, yuk, kita sedikit mundur ke belakang!
Ketika awal-awal Jokowi dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya yang kali ini berpasangan dengan Ma'ruf Amin, Partai Demokrat yang masih di ketuai oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya sudah memberi kode untuk bergabung.
Salah satu buktinya adalah pernah mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk masuk dalam jajaran kabinet Jokowi. Sayang, akhirnya Jokowi tidak melirik proposal Partai Demokrat tersebut.
Sebagai akibatnya, partai yang berdiri 9 September 2001 memutuskan bergabung dengan PKS yang sudah sejak awal memproklamirkan diri sebagai partai oposisi.
Jika menilik sejarah tersebut di atas, bukan mustahil Demokrat akan mau bergabung dengan pemerintah, jika AHY yang kini telah menjadi Ketum Partai Demokrat atau kader lainnya di tarik dalam kabinet Jokowi.
Pun dengan PAN, saya kira potensi untuk masuk dalam koalisi pemerintahan Jokowo masih sangat terbuka lebar, mengingat hubungan baik yang selama ini diperlihatkan oleh Ketua Umumnya, Zulkipli Hasan.
Apalagi, wacana beegabungnya PAN dengan koalisi pemerintahan sempat berhembus kencang waktu Jokowi belum mengumumkan kebinetnya.
Menurut saya, ada dua alasan yang akhirnya PAN memutuskan jadi oposisi. Pertama karena tidak ada satupun kader PAN yang ditarik menjadi menteri dan masih adanya sesepuh sekaligus pendiri PAN, Amien Rais.
Seperti diketahui, Amien Rais sejak awal memang selalu bersebrangan dengan pemerintah dan menghendaki oposisi. Tapi, dalam struktur kepengurusan PAN yang baru, nama mantan pimpinan Muhamadiyah ini sudah tak terdaftar lagi.
Itu artinya batu sandungan, jika PAN ingin bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi telah tidak ada lagi.
Itulah hipotesa saya terhadap PAN dan Demokrat. Sedangkan untuk PKS, jujur saya melihatnya partai ini akan tetap pada pendiriannya. Tetap akan jadi partai oposisi.
Terlebih, seperti dikutip dari Tirto id, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menegaskan akan tetap pada posisinya dengan dalih mencintai negeri dengan menjadi oposisi
KEMBALI KE ARTIKEL