Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Presidential Threshold Tetap 20%, Pilpres 2024 Pro Jokowi Lawan Anies?

28 Juni 2020   11:45 Diperbarui: 28 Juni 2020   11:55 381 4
pemilihan presiden (Pilpres) atau Presidential threshold belakangan terus menjadi pembahasan serius Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sebagaimana diketahui, ambang batas Pilpres yang di atur dalam Undang-Undang Pemilu nomor 17 tahun 2017 adalah 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional.

Ambang batas yang mencapai angkat tersebut di atas memang tak dipungkiri hanya menguntungkan bagi partai-partai politik besar. Mereka bisa memposisikan dirinya sebagai bandar atau cukong politik dalam setiap pagelaran Pilpres.

Dengan artian, pengendalian Pilpres benar-benar sepenuhnya berada di tangan para partai besar. Mereka  bisa dengan sangat gampang membentuk partai koalisinya sendiri dengan pihak-pihak yang sejalan dan diinginkannya.

Kenapa koalisi? Karena memang tidak satu partaipun yang memenuhi syarat ambang batas. Sebagai pemenang Pemilu 2019, PDIP hanya mendapatkan 19,33 persen saja. Disusul Gerindra 12,57 persen dan Golkar 12,31 berada di peringkat ke tiga.

Bagi ketiga partai di atas, tentunya tidak begitu sulit jika berkeinginan mendukung calonnya dan membentuk poros atau faksi baru pada Pilpres 2024. Mereka tinggal menggandeng partai lain yang bisa memenuhi syarat ambang batas.

Meski pada praktiknya tidak sesederhana itu. Sebab mereka tidak ingin sekedar memenuhi syarat presidential threshold. Tetapi juga harus menghitung kalkulasi politik. Dalam artian, ketika koalisi terbangun, saat itu pula optimisme atau peluang menangnya benar-benar berpotensi besar.

Sementara bagi partai kecil, ambang batas 20 persen pastinya akan mempersulit mereka untuk berkoalisi. Partai kecil tidak bisa berkoalisi dengan partai kecil lainnya.

Maka, sangat beralasan jika akhir-akhir ini DPR begitu antusias membahas penururunan presidential threshold, terutama mereka yang merasa partainya kecil.

Selain, menyulitkan mereka untuk membuat poros atau faksinya sendiri pada Pilpres 2024, juga memperkecil peluang figur-figur yang berpotensi jadi sosok pemimpin. Karena, partai politik tempatnya bernaung tidak memiliki "kekuatan" cukup untuk mencalonkannya.

Merusak Demokrasi

Dalam pandangan sederhana penulis, memang sejatinya presidential threshold diturunkan. Setidaknya 15 hingga 10 persen.

Dengan begitu, akan sangat memungkinkan terjadinya pertarungan perebutan kursi presiden dan wakil presiden lebih dari dua pasangan calon. Tidak seperti yang terjadi pada dua gelaran Pilpres sebelumnya, tahun 2014 dan 2019.

Seperti diketahui, pada dua gelaran Pilpres terdahulu mutlak hanya sebagai unjuk kekuatan dua kubu yang bersebrangan. Yaitu kubu Jokowi dan Prabowo. Meski hasilnya sudah kita saksikan bersama, siapa yang lebih unggul.

Masalahnya, apa benar pada dua gelaran Pilpres itu hanya Jokowi dan Prabowo saja yang layak dan memiliki kafasitas sebagai pemimpin negeri?

Penulis rasa, tidak. Ada banyak figur di negeri ini yang mungkin jauh lebih baik kafasitasnya. Hanya saja seperti sudah disebutkan di atas, mereka tidak memiliki kendaraan politik atau tidak ada partai yang berani mengusungnya. Khususnya oleh partai besar.

Sementara partai-partai kecilpun tidak memiliki daya lebih. Mereka hanya bisa mendompleng dan penggembira, untuk kemudian berharap mendapatkan jatah di jabatan pemerintahan.

Maka, menurut hemat penulis, ambang batas 20 persen dalam pemilihan presiden hanya merusak iklim demokrasi dan merampas hak Partai dalam mengajukan pasangan Capres Cawapres. Penerapan ini juga  bisa jadi mengabaikan hak rakyat untuk bisa mendapatkan opsi calon pemimpin yang lebih banyak dan berkualitas.

Untuk itu, jika Undang-Undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak segera direvisi, maka sangat kecil kemungkinan pada Pilpres 2024 mendatang akan banyak pasangan calon yang ikut berkontestasi.

Itu artinya, nama-nama kandidat yang selama ini berseliweran, dengan sendirinya akan menghilang oleh regulasi. Pada akhirnya tersisa sosok-sosok yang memang berada di gerbong parti politik besar. Dan, kembali terjadi head to head dua pasangan calon.

Pro Jokowi Lawan Anies?

Tak bisa dinafikan, belakangan jalan panjang menuju Pilpres 2024 telah memunculkan figur-figur baru dan lama yang berpotensi jadi kandidatnya. Meski tak bisa dipungkiri pula, peta politiknya masih cair dan cenderung abu-abu.

Bahkan, seperti dikutip dari Sindonews.com, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, melihat, banyak figur dari kepala daerah yang populer dan memiliki elektabilitas mumpuni, tapi tidak memiliki partai politik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun