Krisis pangan yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 diperkirakan akan melanda dunia selama beberapa minggu khususnya pada bulan April dan Mei.
FOA mengingatkan agar negara-negara secara domestik menjaga rantai pasokan pangan, sembari tetap berupaya memerangi dampak Covid-19 pada seluruh sektor pangan.
Hingga kini kurang lebih telah ada 53 negara dari 113 negara yang telah terkena krisis pangan. Salah satu negara yang terparah adalah Afrika.
Resonansi peringatan krisis pangan FOA nampaknya ditangkap oleh pemerintah Indonesia. Presiden Jokowi pun memerintahkan para menterinya untuk mensiasati terjadi kelangkaan pangan.
Kelangkaan Pangan di Indonesia?
Soal kebutuhan pangan khususnya bahan pokok seperti beras, Indonesia masih mengantungkan hidupnya dengan negara lain.
Tentu ada banyak sekali bahan pokok lainnya yang dimpor oleh Indonesia. Namun beras bisa jadi contoh yang mudah untuk menggambarkan bagaimana krisis pangan akan terjadi di Indonesia.
Setidaknya ada dua negara pengekspor beras yang menjadi langganan Indonesia, yakni Thailand dan Vietnam. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Oktober 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton di tahun 2018. Diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton di tahun 2017 menjadi 795.600,1 ton pada 2018.
Ketergantungan impor beras Indonesia telah menjadi lagu lama. Sejak krisis ekonomi 1998, ketergantungan akan beras impor menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan sekaligus menekan kenaikan harga.
Tatkala emak-emak di pasar berteriak harga beras naik -akibat gagal panen dll- sejurus kemudian pemerintah keluarkan kebijakan impor beras. Logika ekonomi yang sederhana, semakin banyak barang yang beredar di pasar maka semakin murah harganya.
Thailand dan Vietnam seolah menjadi dewi fortuna Indonesia khususnya dalam hal beras. Celakanya kini, kedua negara ini telah membatasi ekspor beras mereka ke negara lain.
Motifnya sederhana, beras tersebut dipakai untuk memberikan makan rakyatnya. Karena baik Thailand maupun Vietnam sedari awal kejadian Corona di Wuhan telah mengkarantina wilyahnya.
Implikasinya, pemerintah Vietnam harus memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya agar tidak kelaparan. Negara penyetok pangan kini membatasi pengiriman (ekspor) beras ke Indonesia. Alhasil kelangkaan beras pun pasti akan terjadi. Dan yang terburuknya adalah krisis pangan tak terhindurkan.
Lantas bagimana nasib Indonesia sekarang? Apakah petani di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan kita saat Corona menyerang?
Alih Profesi Petani dan Sawah Jadi Jalan Tol
Lahan pertanian Indonesia setiap tahunnya selalu mengalami penurunan. Musababnya pun beragam. Salah satunya adalah pembangunan jalan tol yang dibanggakan pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat diwancarai CNN Indonesia pada akhir Oktober 2018 lalu menjelaskan, berkurangnya lahan pertanian akibat banyak petani yang menjual lahannya untuk kegunaan lainnya seperti industri, pembangunan jalan tol, hingga properti.
Alhasil laporan BPS tahun 2018 menunjukan, jumlah lahan pertanian berkurang sebanyak 650 ribu hektar atau dari 7,75 juta hektar menjadi 7,1 juta hektar.
Penemuan lain juga dilaporkan oleh Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) yang dipublish pada april 2019 lalu dengan judul "Tol Terbilang, Sawah Hilang: Harga Mahal Trans Jawa".
Dalam laporan tersebut IDEAS menyebutkan, sepanjang tahun 2015 hingga 2018 tercatat 680,4 Km jalan tol di Jawa yang telah dibangun. Sebagian besar jalan tol tersebut dibangun diatas lahan pertanian, terutama sawah. Lahan sawah yang dikorbankan untuk pembangunan jalan tol tersebut seluas 4.457 hektar.
Tak berhenti sampai di sini, ambisi pemerintah dalam membangun jalan tol pada periode 2019 hingga 2021 (saat ini dalam proses konstruksi) mencapai 766,1 km. Angka 766,1 km ini pun harus dibayar dengan hilangnya lahan pertanian (sawah) seluas 9.475 hektar.
Angka ini belum termasuk dalam perhitungan konservatif lahan, akibat adanya jalan tol yang dibangun. Tentunya lahan pertanian yang berada di sekeliling pintu gerbang tol menjadi sangat strategis.
IDEAS memperkirakan, dari 680,4 Km jalan tol yang dibangun sepanjang 2015-2018, akan memicu konversi lahan pertanian hingga 49 ribu hektar atau setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Sukabumi.
Sementara 766,1 Km jalan tol yang akan beroperasi pada 2019-2021, diperkirakan akan memicu konversi lahan pertanian hingga 70 ribu hektar, setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Bojonegoro.
Data lain menyebutkan, sepanjang tahun 2013 hingga 2018, terjadi konversi lahan sawah seluas 181 ribu hektar di seluruh Jawa. Sepuluh kabupaten yang kehilangan sawah terbesar atau ± 5 ribu hektar, adalah Banyuwangi, Bandung, Serang, Demak, Jember, Cirebon, Bangkalan, Grobogan, Lamongan dan Brebes. Atau dengan kata lain, pulau Jawa kehilangan hampir 100 ribu hektar sawah dalam 5 tahun terakhir.
Dampak dari lahan pertanian yang berkurang dan tingginya impor beras Indonesia, membuat ratusan petani beralih profesi. Bahkan data dari BPS menunjukan, selama 10 tahun terakhir setidaknya ada 5 juta petani yang beralih profesi ke sektor lain, khususnya menjadi buruh.
Tak hanya itu, kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah yang diberikan kepada petani pun tiap tahunnya ikut menurun.
Tahun 2018 kuota pupuk yang diberikan menurun dari tahun sebelum yakni dari 22-24 ribu ton menjadi 20 ribu ton. Angka ini terus menurun ditahun selanjutnya atau hanya sekitar 18 ribu ton ditahun 2019 dan tahun 2020 menurun menjadi 15 ribu ton.
Kendati begitu dalam menghadapi krisis pangan kali ini, pemerintah nampaknya cukup optimis.
Terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang menjamin pasokan pangan akan aman selama 3 bulan kedepan. Optimis serupa pun ditujukan oleh Luhut Panjaitan, bahkan ia tak hanya menjamin beras dan sembako, BBM dan listrik pun dijaminnya akan aman sentosa selama pandemi.
Masalahnya apakah optimisme kedua menteri ini sejalan dengan kondisi masyarakat atau pasar saat ini?
Psikologis Pasar Anarkis
Tentu kita masih ingat bagaimana terkejutnya masyarakat pada awal mula Covid-19 menginvasi Indonesia. Bahkan saking terkejutnya, kita mendapatkan kosa kata baru yakni panic buying.
Gerakan membeli barang dalam jumlah yang banyak dan menumbun barang-barang tersebut di rumah masing-masing. Selamat, saat itu barang yang diburu hanyalah handsanitizer dan masker dan bukan kebutuhan pangan.
Sehingga tak heran, awal kejadian covid masker dan handsanitizer sempat langka. Harganya pun ikut melambung tinggi. Dibeberapa tempat bahkan dijual 10k per pcs.
Kondisi pasar yang anarkis atau tak beraturan seperti ini, tidak mampu dikontrol dan jauh dari jangkauan pemerintah. Ditambahlagi, isu akan krisis pangan mulai santer diperbincangkan.
Bagi yang memiliki uang lebih, bisa melakukan penimbunan pangan seperti peristiwa masker dan handsanitizer. Dan bila itu terjadi, kelangkaan akan pangan perlahan muncul dipermukaan. Harga sembako lambat laun akan meningkat bak kenaikan rupiah terhadap dolar.
Alhasil yang menjadi korban adalah masyarakat kecil yang sedari awal mengagungkan pemerintah dengan program-programnya.
Parahnya pemerintah masih saja mengurusi pasar global. Kebijakan ekonomi makro yang kemudian dituangkan dalam rancangan Perppu 1 tahun 2020 jadi fokus utama, dan melupakan rakyat kecil yang menunggu ketercukupan pangan sehari-hari.
Lucunya lagi, anggaran untuk pembangunan masih saja ditingkatkan, sementara untuk pangan mengalami penurunan tiap saat.
Akhirnya, bila krisis pangan mulai mencekik kepada siapa kita harus mengadu? Bagi yang selama ini mengagungkan pemerintah dengan pembangunan infrastruktur dan jalan tolnya, mari sama-sama kita cari makan saja pada jalan tol!😁