Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Pasar Tradisional, 'Terbakar' atau 'Dibakar'??

20 September 2011   04:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 342 0
Ter(di)bakarnya pasar tradisional merupakan kejadian 'lazim' dan menghiasi media setiap saat. Seperti yang baru saja terjadi pagi ini di Pasar Kliwon Kota Kudus atau di rembang beberapa hari lalu. Kerugian miliaran rupiah tak terelakkan dialami oleh para pedagang dan jaringan perdagangan yang menyertainya. Karena biasanya barang dagangan yang ada di los/ toko adalah barang titipan yang dibayar setelah barang terjual. Dalam tulisan ini, supaya lebih objektif rasanya saya memilih menggunakan kata kebakaran untuk mewakili kata 'terbakar' ataupun 'dibakar'. Mengingat dengan kondisi dan pengelolaan yang ada saat ini, keduanya sangat mungkin terjadi di pasar tradisional. Keberadaan pasar tradisional menjadi denyut nadi perekonomian rakyat Indonesia. Eksistensinya terus terjaga, meski gempuran supermarket dan minimarket kian tak terbendung. Berbeda dengan kedua bentuk perdagangan retail yang baru saya sebut, pasar tradisional mempertahankan ciri tradisionalnya, yaitu adanya tawar menawar dan interaksi antara pedagang-pembeli. Pembeli bisa merasakan kepuasan tersendiri ketika berhasil mengurangi harga yang ditawarkan pedagang, atau beralih ke pedagang lain ketika tidak tercapai kesepakatan harga. 'Terbakar' Kondisi bangunan dan utilitas sebagian besar pasar tradisional yang tidak memadai (bahkan tidak layak), sangat rawan menyebabkan terjadinya kebakaran.  Banyaknya penyambungan kabel dan instalasi listrik secara mandiri oleh pedagang menyebabkan tidak adanya standar keamanan. Sambungan mandiri menekankan fungsi tanpa memperhatikan faktor keamanan jaringan. Pedagang bisa saja asal menyambung kabel dan memecah jaringan, bahkan melakukan sambungan ilegal dengan cara 'ngganthol' secara langsung dari pal listrik. Penataan jaringan semacam ini rawan menyebabkan terjadinya korsleting, salah satu penyebab utama terjadinya kebakaran. "Dibakar" Kebakaran pasar tradisional juga seringkali terjadi karena 'disengaja'. Bisa jadi karena usia bangunan yang sudah udzur, model bangunannya yang ketinggalan atau tidak layak lagi secara konstruksi karena daya tampung yang tak lagi memenuhi syarat sehingga pasar harus ditata ulang atau direnovasi. Diskusi renovasi dengan stakeholder pasar tradisional dalam keadaan 'tidak ada apa-apa' biasanya alot, lama dan tidak kunjung menemui kata sepakat. Pedagang biasanya menganggap pasar tradisional masih layak, sementara pemerintah menganggapnya sudah tidak lagi layak dan harus 'dibangun' lagi. Tarik ulur hampir pasti selalu terjadi dan menghabiskan banyak waktu serta energi. Kondisi bisa jadi akan sangat berbeda dalam kondisi tidak biasa atau 'ada apa-apa'. Segala sesuatunya bisa berjalan sangat cepat dan tak perlu negosiasi berbelit-belit jika ada force majeure, misalnya 'kebakaran'. 'Kelalaian' yang disengaja bisa dengan mudah dilakukan untuk membumi hanguskan bangunan pasar tradisional yang berisikan barang dagangan dan bahan bangunan mudah terbakar. Kebakaran jenis ini biasanya dilakukan demi kepentingan segelintir orang yang menghendaki keuntungan dan kesenangan pribadi diatas penderitaan ribuan orang. Pasar tradisional yang kumuh dan semrawut memudahkan api menjalar dengan cepat melalap segala sesuatu yang ada, apakah itu karena 'terbakar' ataupun 'dibakar'. Revitalisasi pasar tradisional memang perlu terus dilakukan untuk memelihara eksistensinya, namun seharusnya tidak dilakukan dengan cara 'dibakar'. Semoga saja semoga api yang sementara membakar bangunan dan barang dagangan tak mampu memadamkan semangat para pedagang yang menjadi entrepreuner lokal yang menggerakkan nadi perekonomian rakyat kecil. Tetaplah bertahan, pasar tradisional!! !! [caption id="attachment_132313" align="aligncenter" width="400" caption="Kebakaran di Pasar Kliwon Kudus (www.regional.kompas.com)"][/caption]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun