Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

“TB-TB” Selain Silalahi

8 Maret 2012   08:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:22 1185 1
Akhir-akhir ini kita akrab sekali dengan nama itu: TB Silalahi. Di tengah kasus-kasus yang melilit kader Partai Demokrat, tiba-tiba TB Silalahi muncul ke permukaan karena posisinya sebagai ketua Komisi Pengawas Partai Demokrat. Inilah komisi yang berwenang menentukan nasib semua kader Demokrat yang sedang bermasalah, tidak terkecuali ketua umumnya. Oleh karena itu, membayangkan nasib Anas ke depan tidak bisa tidak pasti terkait erat dengan purnawirawan bintang tiga tersebut.

Saya sudah mendengar nama TB Silalahi cukup lama. Yang membuat saya tertarik adalah singkatan nama depannya yaitu "TB". Itu adalah singkatan dari Tiopan Bernhard yang merupakan nama depan dan tengahnya. Seperti lazimnya orang-orang Batak yang tua-tua, mereka biasa menyingkat nama depan atau tengahnya dan karenanya lebih menonjolkan marganya.

Saya tertarik dengan singkatan "TB" karena sebelumnya ada juga salah satu tokoh Batak sekaligus berlatar belakang militer bernama TB Simatupang. Bagi yang berminat pada sejarah TNI, tidak ada yang tidak pernah membaca kisah tentang Tahi Bonar Simatupang.

Tokoh militer kelahiran Januari 1920 ini  seangkatan dengan Sudirman, Gatot Subroto, AH Nasution, dll. Tatkala Jenderal Sudirman  menjabat Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang adalah wakilnya. Posisinya yang demikian strategis tersebut tentu menjadi target operasi dari militer Belanda. Semasa perang gerilya, Simatupang juga turut serta tinggal di pelosok-pelosok untuk menghindari pengejaran itu.

Meski bawahan Sudirman, latar belakang pendidikan militer keduanya berbeda. Simatupang didikan Akademi Militer Belanda di Bandung sebelum kedatangan Jepang. Sedangkan Sudirman merupakan didikan PETA. Sudah barang tentu, sistem pendidikannya berbeda. Akademi Militer Belanda lebih berorientasi profesionalisme yang modern sedangkan pendidikan Jepang menekankan kepada spirit perjuangan.

Tapi perbedaan ini belum sempat menimbulkan perpecahan. Sudirman wafat hanya sebulan setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Januari 1950. Simatupang pun menjadi penggantinya. Teman seangkatan Simatupang di Akademi Militer Belanda, AH Nasution, menjadi kepala staf Angkatan Darat. Dua jenderal berpendidikan dan berbahasa Belanda ini "dikepung" oleh perwira-perwira lain berlatar belakang PETA.

Perbedaan latar belakang inilah yang kemudian menimbulkan perpecahan di tubuh militer Indonesia. Simatupan dan Nasution menghendaki militer modern yang salah satu cirinya ditandai perampingan jumlah personel. Di saat yang sama, para perwira lulusan PETA keberatan apabila anggota TNI yang dulu berjuang harus "disipilkan" demi alasan modernisasi.

Buntut dari perpecahan dua kubu ini kemudian melahirkan apa yang dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952. Simatupang, Nasution, dan Sri Sultan sebagai menteri pertahanan bertemu Presiden Sukarno untuk memintanya membubarkan parlemen yang dirasa mengintervensi kebijakan mereka. Sampai-sampai moncong meriam diarahkan ke istana yang dianggap sebagai bentuk ancaman kepada Bung Karno.

Penolakan ini membuat Nasution pensiun dari militer. Simatupang juga tersingkirkan karena jabatannya ditiadakan. Dengan tanpa jabatan seperti ini, dia pun memilih menjadi pengajar dan penulis. Sesudah resmi pensiun, dia pun terlibat dalam organisasi gereja Indonesia dengan menjadi ketua umum Dewan Gereje-gereja di Indonesia (cikal bakal PGI). Tidak hanya itu dia juga menjadi petinggi Dewan Gereja Sedunia.

Hidup TB Simatupang memang berwarna-warni. Secara politik dia dekat dengan Partai Sosialis Indonesia yang dibentuk Syahrir. Orang-orang PSI dikenal sebagai kelompok elit intelektual. Inilah yang kemudian membuat Simatupang lebih dikenal sebagi seorang pemikir. Kebetulan saya pernah membaca beberapa bukunya seperti Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Saya Adalah Orang yang Berhutang, Imam Kristen dan Pancasila, serta bukunya tentang militer Pelopor dalam Perang, Plopor dalam Damai. Tak heran, Jacob Oetama menyebut namanya dalam pengantar buku Cat Rambut Orang Yahudi mantan Kasau Chappy Hakim yang juga seorang kompasianer.

Selain Simatupang, ada TB lain yang juga cukup dikenal pada saat ini. Dialah TB Hasanuddin. Jika "TB"-nya Silalahi dan Simatupang adalah singkatan, maka "TB"-nya Hasanuddin sebetulnya akronim dari "Tubagus".

Sekarang TB Hasanuddin menjadi anggota DPR RI dari PDI Perjuangan. Wajar dia memilih partai ini karena dulunya dia adalah sekretaris militer Megawati semasa presiden. Kedekatan ini membuat Hasanuddin menjadikan partai wong cilik tersebut sebagai pelabuhan politiknya. Pada pemilu legislatif 2009 dia menempati nomor urut 2 di bawah Maruarar Sirait dapil Jabar 9.

Di DPR Hasanuddin ditempatkan partainya di Komisi I yang membidangi masalah pertahanan, informasi, dan luar negeri. Latar belakang militernya tentu saja membuat dirinya sangat cocok berada di komisi tersebut. Terutama sekali menyangkut hubungan dengan TNI dan masalah perundang-udangan seperti intelijen, keamanan nasional, dan lain sebagainya.

Itulah kisah (sangat) singkat dua orang yang memakai singkatan "TB" yang sama-sama berlatar belakang militer. Meski saat ini TB Silalahi pasti menjadi buruan media, tidak kurang dua "TB" lainnya punya kisah yang tak kalah menarik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun