Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Beruntungnya Deltras

15 Januari 2012   14:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:51 1528 2
Saya bukan mengomentari kemenangan Deltras Sidoarjo atas Persela Lamongan kemarin sore. Laga bertajuk "Derby Bakrie" di Indonesia Break Away League (IBL) ini memang beraroma keberuntungan untuk tuan rumah karena penalti kontroversial yang diberikan wasit. Deltras pun menang 1-0.

Tapi Deltras memang beruntung. Bahkan dibanding klub-klub lain di IBL maupun IPL. Apakah gerangan?

Menyaksikan pertandingan, saya merasa takjub. Untuk kali pertama di musim ini, laga yang berlangsung dalam guyuran hujan bisa berjalan lancar. Lapangan tidak tergenang air. Bola mengalir lancar seperti dalam kondisi kering. Benar-benar luar biasa!

Mungkin komentar saya ini akan ditertawakan oleh orang-orang Eropa atau Jepang. Di negeri-negeri itu, kualitas lapangan memang memadai. Baik hujan atau kering, pertandingan tidak terganggu.

Inilah nasib mujur terbesar Deltras. Mereka punya seorang bupati yang peduli dengan sepak bola. Kepala daerah lain mungkin hanya bangga punya klub tapi tidak ada usaha sedikitpun untuk meningkatkan kualitas stadion.

Saiful Ilah nama bupati kota udang itu. Menjelang akhir musim ISL 2010/2011, kondisi lapangan Gelora Delta sungguh tragis. Ketika hujan, lapangan tak ada beda dengan kubangan lumpur. Ini tentu memalukan bagi kabupaten Sidoarjo dan Jatim. Sebab inilah kompleks olahraga utama PON tahun 2000 yang diadakan di Jatim.

Akhir musim lalu, bukan lapangan saja yang menjadi masalah The Lobster. Klub ini menjadi salah satu yang mengalami kesulitan keuangan. Akibatnya, gaji pemain tersendat. Efek dari situasi ini tentu permainan di lapangan. Marcion Souza, dkk. menghuni papan bawah klasemen, tepatnya satu trip di atas peringkat terakhir.

Semua masalah ini usai ketika didatangi "santa klaus". Siapa orang yan mau berbaik hati itu? Dialah Nirwan Darmawan Bakrie. Diambilnya kendali klub dari pemkab Sidoarjo. Dititipkan juga salah satu orang kepercayaannya yang juga Komek era Nurdin, Mafirion Syamsuddin, sebagai CEO. Dengan demikian, klub ini menjadi "klub tak resmi" Grup Bakrie selain Arema dan Persela.

Pemkab Sidoarjo tentu senang. Mereka tidak perlu lagi menggunakan uang rakyat untuk membiayai klub. Dana surplus itulah yang digunakan untuk membenahi stadion. Rumput diganti dan drainasenya diperbaiki.Pemkab dan masyarakat senang punya klub profesional. Mereka pun berharap Deltras bermain di liga profesional dan tentu saja: resmi.

Tapi apa mau dikata, perubahan kepemilikan ternyata membuat kendali atas klub menjadi milik sang empunya. Ketika liga profesional akan bergulir, tiba-tiba sang CEO memutuskan belok arah. Deltras pun menjadi salah satu dari enam klub yang tidak mendaftarkan diri ikut IPL. Kini kita tahu bahwa Deltras bermain di IBL.

Delta mania tidak bisa berbuat banyak. Mereka tentu bilang lebih enak main di IBL yang diisi klub-klub papan atas. Sebagai penggemar yang bisa dilakukan cuma ikut ke mana klub bermain. Sebab mereka tidak punya suara atau saham yang bisa mempengaruhi kebijakan.

Sang bupati juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi secara terbuka dia sempat mengatakan keikutsertaan Deltras di ISL adalah murni keputusan CEO. Pemkab Sidoarjo ikut saja. (Coba tafsirkan suara hatinya di sini)

Ini sebuah kejujuran. Dalam hati sebetulnya ingin IPL tapi apa daya tangan tak sampai. Nasi sudah menjadi bubur. Nama Deltras yang semula Delta Putra Sidoarjo pun kini diubah oleh sang pemilik baru menjadi Delta Raya Sidoarjo. Perubahan ini memang tidak merubah singkatan, meski pasti banyak yang kecewa. Seperti halnya banyak bonek tak setuju Persebaya menambah embel-embel 1927. Begitupun ketika Arema Malang berubah nama menjadi Arema Indonesia.

Sikap Saiful Ilah ini bisa menjadi contoh bagi pemilik klub-klub IPL. Perbaikilah lapangan dan fasilitas stadion! Tidak ada tempat dari suatu daerah yang paling sering masuk kamera secara nasional selain stadion sepak bola! Coba bayangkan bila dalam setahun ada 12 pertandingan kandang. Ditambah lagi ada beberapa review pertandingan dari beberapa stasiun televisi. Apakah tidak malu jika lapangannya bopeng dan berlumpur ketika hujan?

Ketua Umum PSSI Djohar Arifin pernah mengatakan akan memprioritaskan perbaikan stadion. Menurutnya yang paling penting adalah lapangan yang berstandar internasional. Ini ide bagus. Sayang sekali Djohar sedang sibuk menghadapi aneka gangguan dari klub-klub yang, ironisnya, beberapa di antaranya diketuai bupati atau walikota.

Saya menaruh simpati kepada Saiful Ilah. Bupati satu ini benar-benar contoh ideal seorang kepala daerah dalam transformasi sepak bola Indonesia: dari ditopang APBD menjadi murni profesional. Di mana klub didanai swasta, sedangkan uang rakyat dipakai memperbaiki sarana olahraga termasuk stadion. Tapi sayang, dia terbuai ketika didatangi "penyelamat" yang kemudian mengubah haluan Deltras.

Tapi nasi sudah jadi bubur. Saiful hanya bisa "bermimpi" main di IPL. Sedangkan yang bertanding di IPL adalah mereka yang mimpinya terwujud untuk bermain di liga profesional. Sudah sepatutnya kepala daerah yang klubnya ikut IPL mengikuti jejak Saiful. Fasilitas yang oke adalah ciri liga profesional sejati.

Oh iya. Ini bukan berarti ISL berhasil membuat liga profesional. Tapi beruntung saja backing-nya berhasil membeli klub yang kepala daerahnya berpikir maju. Sama seperti Persib yang pemdanya sudah membangun stadion megah bernama Gedebage.

Akhirul kalam saya ingin menagih janji M Nigara, direktur Gelora Bung Karno. Dia pernah bilang bakal merenovasi lapangan tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Ini harus segera dilakukan supaya Indonesia tak malu stadion kebanggannya becek ketika hujan, bopeng ketika kering. Sedangkan orang yang paling bertanggung jawab mengurusnya justru sibuk berwacana mengambil alih PSSI. Weleh..weleh...

Salam!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun