Saya pertama kali melihat wajah Nyalla di papan kampanye pinggir jalanan paling sibuk di Surabaya, Jalan Ahmad Yani, pada awal tahun 2009. Saat itu dia adalah calon anggota DPR nomor urut 1 dari Partai Patriot. Dengan kata lain, Nyalla adalah orang partai. Jabatannya: Ketua DPD Partai Patriot Jatim.
Apa hasil dari pemilihan umum itu? Seperti kita tahu, Patriot tak lolos Parlementary Treshold. Secara otomatis pula, Nyalla sudah kalah duluan sebelum bertanding. Berapapun suara yang didapatnya di Dapil 1 Jatim (Surabaya dan Sidoarjo), yang pasti tidak terlampau banyak, Â mustahil membuatnya melenggang ke Senayan.
Dari Surabaya sendiri, terpilih nama-nama tenar dalam kancah politik Indonesia. Guruh Soekarnoputra dari PDIP, Priyo Budi Santoso dari Golkar, serta Muhaimin Iskandar dari PKB. Meski begitu, ada pula nama-nama baru yang lolos. Misalnya Indah Kurnia yang meraih suara terbanyak kedua setelah Guruh di PDIP.
Indah Kurnia bukan siapa-siapa. Tapi orang Surabaya serta Bonekmania pasti mengenalnya. Indah adalah mantan manajer Persebaya. Dengan kata lain, terpilihnya Indah ini berkat sepak bola yang menjadi olahraga paling poppuler di Surabaya maupun Indonesia. Di saat yang sama, dalam pemilihan anggota DPRD Jatim, Saleh Ismail Mukadar juga menang. Saleh sendiri pada saat yang sama merupakan Ketua Umum Persebaya. Tapi untuk kasus Saleh, dia sudah terpilih sebagai anggota DPRD Jatim semenjak tahun 2004. Jadi bukan mendadak populer berkat sepak bola.
Perlawanan Saleh dan "Perjuangan" Nyalla
Masyarakat di Surabaya paham benar bahwa Persebaya "dimiliki" oleh PDIP. Dari walikota Bambang DH, Indah, hingga Mukadar adalah kader Partai Moncong Putih. Ketika Bambang terlalu sibuk mengurusi kota, dia menyerahkan Persebaya ke tangan wakilnya, Arif Affandi. Namun sayang, melihat gelagat mantan pemred Jawa Pos ini yang hendak mencalonkan diri jadi walikota, Bambang segera mengenyahkan Arif dari Persebaya dan memilih konco-nya, Saleh pada tahun 2008 lalu. Benar saja, Arif kemudian berlabuh ke Partai Demokrat dan menjadi calon wali kota pada pilkada 2010 lalu.
Selama kepemimpinan Saleh ini, sepakbola Surabaya dan Indonesia berubah wajah. Dari sebelumnya tanpa riak berarti mengganggu Nurdin Halid, kini ada suara-suara lantang dari Surabaya. Saleh kritis terhadap Nurdin. Atas keberaniannya ini, dia pun dimusuhi oleh rezim Nurdin.
Kita kemudian tahu bahwa bukan seorang Saleh yang diganggu. Tetapi, marwah Surabaya dan Bonek berupa klub bernama Persebaya. Segala cara dilakukan rezim PSSI agar tim ini degradasi supaya "suara sumbang" Saleh bisa melemah. Pikir mereka, Saleh pasti lebih mementingkan Persebaya ketimbang dirinya sendiri.
Tapi dugaan itu keliru adanya. Saleh makin kritis. Dia mewacanakan Nurdin diganti karena telah gagal memimpin PSSI. Diajukannya Dahlan Iskan, yang juga bekas Ketua Umum Persebaya.
Suara-suara Saleh ini pun tidak terdengar gaungnya. Semua anggota PSSI diam. Hingga kita ketahui bersama, datang Arifin Panigoro menawarkan angin surga dengan membuat kompetisi profesional. Persebaya pun dibawa Saleh menjadi klub primadona LPI. Terus terang, saat itu penduduk Surabaya pun terbelah. Keikutsertaan di LPI membahayakan Persebaya karena bermain di liga ilegal.
Tapi, dendam kusumat dan perlawanan terhadap Nurdin membuat masyarakat Surabaya berada di belakang Saleh. Dari seorang bocah SD yang tak tahu apa-apa hingga seorang walikota. Dari supir angkot, hingga para redaktur koran. Semua mendukung Persebaya yang kemudian dengan sangat terpaksa menambah embel-embel 1927.
LPI kita tahu kemudian mendapat momentumnya. Singkat cerita, menjeleng Kongres di Riau, "suara diam" anggota PSSI itu tiba-tiba berbelok arah. Mereka membentuk PSSI tandingan bernama Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia. PSSI Nurdin pun dibekukan. Dan puncaknya kelompok Saleh berhasil memenangi kursi PSSI-1.
Saya selalu percaya, keberhasilan reformasi PSSI yang menggulingkan Nurdin, besar dipengaruhi oleh Saleh. Sederhananya, tanpa suara Saleh, para penentang Nurdin hanyalah orang luar PSSI. Tanpa Saleh, Persebaya tidak akan ikut LPI. Tanpa Persebaya belum tentu klub-klub semisal Persibo, PSM, Persema mau bergabung dengan LPI. Tanpa LPI yang kuat, belum tentu reformasi mendapat momentumnya. Tanpa monetum dan dukungan rakyat, tak mungkin Nurdin terjungkal.
Setelah berpanjang-panjang dengan Saleh, sekarang kita tiba pada apa kaitan antara dirinya dengan Nyalla.
Kalau saya perhatikan tindak-tanduk "perlawanan" Nyalla selama ini, cara yang digunakannya mirip dengan Saleh ketika menghadapi Nurdin Halid dahulu.
Pertama, dia mencoba menampilkan diri sebagai seorang  pemberani di sepak bola nasional. Pada mulanya tampil sendirian menentang segala "kekeliruan" pengurus PSSI, kemudian mengalir dukungan padanya. Dari empat anggota Komek hingga orang-orang Nurdin/Bakrie yang merasa kini punya teman memperoleh kembali kekuasaan yang hilang.
Setelah dukungan didapat, dia menggalang suara. Tentu dalam hal ini Nyalla agak berbeda kasus dengan Saleh. Dahulu Saleh mahfum dia hanya akan tampil sendirian, tanpa dukungan. Sedang Nyalla sadar, dia telah membangkitkan "semangat patah" orang-orang ISL akibat kekalahan pada Kongres. Dengan kata lain, Nyalla memang menginginkan kisruh ini terjadi. Apalagi dia paham kekuatan politik dan jaringan selama ini berada di tangan gengnya Bakrie.
Kedua, setelah menggalang suara, Nyalla bisa merangkul para pemilik suara untuk membuat Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia. Ini pula yang dulu dilakukan Saleh pada zaman Nurdin yang berhasil memancing intervensi FIFA. Untuk yang satu ini, Nyalla memang mengakui bahwa dia meniru cara Saleh.
Apakah kemudian KPSI berhasil pula? Inilah yang mungkin ditunggu-tunggu Nyalla beserta para pendukungnya.
Pencalonan Dahlan
Sampai di sini, apa yang diperbuat Nyalla mungkin biasa-biasa saja. Tibalah waktunya ketika kemarin malam di acara "Metro Sport" MetroTV, Nyalla dengan entengnya mengatakan bakal mencalonkan Dahlan Iskan sebagai Ketua Umum PSSI dalam KLB yang coba dirancangnya itu.
Di sinilah saya kemudian teringat dengan apa yang persis dilakukan Saleh pada tahun 2008 lalu. Dia mencalonkan orang yang sama yakni Dahlan Iskan sebagai pengganti ketum yang sekarang.
Saya langsung berpikiran bahwa Nyalla betul-betul seorang epigon (peniru) sejati. Bahkan mungkin sangat terobsesi dengan apa yang dilakukan Saleh Mukadar. Nyalla mungkin mengira betapa hebatnya satu orang dari Jatim bisa membuat perubahan yang begitu drastis dalam sepak bola Indonesia. Ini tentu bisa menambah popularitas, tidak hanya di pentas lokal, tapi yang lebih penting lagi adalah seluruh Indonesia. Bahkan supaya persis sama, dia pun ingin menguasai Persebaya dengan menginduk pada perusahaan miliknya, PT Mita Muda Inti Berlian, yang kini main di Divisi Utama PT LI.
Namun, kita perlu bertanya terlebih dahulu, apakah Dahlan bersedia dicalonkan?
Saya yakin tidak. Dahlan bukanlah orang yang suka merebut kekuasaan. Dalam tulisan-tulisannya baik di buku-buku ataupun artikelnya di Jawa Pos, saya menemukan bahwa segala jabatan yang dipegang Dahlan tidak pernah diperoleh dengan cara-cara menjurus kotor.
Salah satu contoh, Dirut Jawa Pos yang dipegang Dahlan, didapat ketika pemimpinnya Eric Samola sakit dan kemudian meninggal dunia. Juga jabatan Dirut BUMD Jawa Timur yang pernah disandangnya bukanlah karena dia rakus jabatan. Pemprov Jatimlah yang memintanya.
Begitupun tatkala Dahlan dipercaya sebagai Dirut PLN, itu tidak diperolehnya dengan main politik. SBY lah yang secara langsung "memohon" dengan memanggilnya ke Istana. Masih belum cukup, di bidang ormas, Dahlan bahkan menolak ketika Jakob Oetama tak sanggup lagi memimpin Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Â dan dengan terpaksa menerima tongkat estafet ke tangannya.
Puncaknya tentu saja jabatan Menteri Badan Usaha Milik Negara. Dia mengganti Mustafa Abubakar pada 20 Oktober lalu karena yang bersangkutan menderita sakit. Bahkan ketika upacara serah terima jabatan pun Mustafa hanya senyum-senyum digantikan oleh mantan wartawan itu. Itu pertanda ikhlas!
Dari contoh-contoh tersebut, bisalah kita simpulkan bahwa seorang Dahlan Iskan mungkin digariskan langit untuk menjadi pemimpin. Nyaris tanpa perebutan berarti dan tanpa ada orang yang tersakiti karena digantikan olehnya.
Untuk konteks PSSI sekarang, kita bisa melihat KLB, kalaulah bakal terjadi (semoga tidak), penuh muatan ketamakan. Sudah jelas, masa jabatan ketum adalah empat tahun dan alasan-alasan KLB pun dibuat-buat seolah pengurus PSSI melanggar Statuta.
Itu artinya, kalau sampai terjadi, hanya akan menyakiti pihak pengurus sekarang, dalam hal ini Djohar Arifin. Dengan pengalamannya yang saya tulis di atas, proses seperti ini bukanlah yang dikehendaki oleh Dahlan Iskan. Dia pasti paham, orang-orang ini berebut jabatan itu dengan aneka cara. Pun tidak ada kekuatan (semisal menteri atau presiden) sebagai pemegang otoritas untuk memintanya menjadi ketua. Sebab anggotalah pemilik suara.
Sedangkan kita tahu, pemilik suara sekarang adalah orang yang penuh kepentingan belaka. Mereka bisa berubah wujud dalam sekejap, dari serigala menjadi domba, atau sebaliknya. Dahlan jelas tidak cocok dengan situasi ini. Dia yang pernah menjadi pengurus Golkar tentu paham kondisi "partai PSSI" seperti ini.
Jadi, wacana Nyalla bagi saya tidak mencerminkan pemahaman dirinya atas seorang Dahlan Iskan. Belum lagi, Dahlan adalah seorang out the box tulen, yang tidak suka dengan tabiat dan mental pemilik suara di PSSI atau seperti Nyalla yang positivistik. Saya haqul yakin, Dahlan setuju dengan konsep konsorsium sebagai satu-satunya alternatif untuk klub-klub saat ini.
Kalau mau jujur, saya sebetulnya menghendaki agar Dahlan bisa memimpin PSSI, jauh lebih dahulu ketimbang Nyalla. Tapi itu hanya bisa terjadi dengan cara-cara Dahlan memperoleh jabatan selama ini: diminta atau karena keadaan yang mendesak. Sedangkan kondisi PSSI jelas tidak seperti ini. Kalaupun sekarang tampak mendesak, itu akibat ulah orang-orang yang mengkondisikan keadaannya menjadi seperti itu.
Lantas, apakah motif Nyalla dengan pencalonan Dahlan ini? Bagi saya cukup sederhana. Selain sebagai obsesi untuk menjadi seperti Saleh Mukadar, dia pun secara pribadi ingin mendapat "suntikan" dukungan. Mengajukan salah satu pejabat paling populer di Indonesia saat ini, serta pula orang Jawa Timur asli, tentu bisa menjadi modal politik baginya di pemilu 2014 nanti.
Apakah saya akan melihat wajahnya kembali di Jalan Ahmad Yani di tahun 2014 nanti? Barangkali tidak, sebab saya bisa jadi tidak lagi di Surabaya dua tahun mendatang. Tapi pastinya dia ingin lebih dari sekedar kampanye seperti tahun 2009, melainkan mendapatkan jabatan politik yang diidam-idamkannya. Seperti Indah Kurnia, juga Saleh Mukadar.
Memang beginilah ujung-ujungnya: politiiiiiiiiiiiiiik!