Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kita Munafik

17 Juni 2011   06:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26 201 0
Sekarang semua orang sibuk bicara kejujuran. Media massa memberitakannya tanpa henti setelah Siami, si Arek Suroboyo, berani mengadukan kecurangan Unas di sekolah anaknya.

Saya tidak habis pikir, mengapa baru sekarang? Kasus nyontek massal bukanlah sebuah rahasia segelintir orang ataupun sekolah. Semua manusia Indonesia dari pengemis jalanan hingga penghuni Istana di Jakarta sesungguhnya sudah tahu bahwa bangsa ini bangsa penyontek!

Perihal guru menyuruh anak didiknya untuk memberi jawaban ke teman, hanyalah tingkat paling rendah ketidakjujuran di sekolah. Tingkat yang lebih tinggi lagi misalnya guru memberi langsung jawaban pada murid-muridnya. Bahkan yang paling buruk: guru membetulkan kunci jawaban siswa sebelum dikirim ke penguji. Alih-alih mengajarkan kejujuran, para gurulah yang sebenarnya tidak jujur.

Banyak orang menduga kasus sontek disebabkan Ujian Nasional yang memberi tekanan luar biasa bagi para siswa. Katanya, ujian yang hanya beberapa jam tidak patut menentukan kelulusan pendidikan yang ditempuh selama 3 atau 6 tahun. Anak-anak didik menjadi stres hingga ada yang bunuh diri akibat tak kuat menanggung malu. Saran untuk menghapus Unas pun muncul.

Saya pikir, bukan di sini letak permasalahannya. Saya masih ingat ketika saya SD di mana tidak ada standar kelulusan yang dipakai. Tapi, kecurangan tetap terjadi. Guru memberi langsung jawapan pada murid beberapa menit sebelum ujian berakhir. Saya kira di daerah lain pun sama.

Lalu apa sebab karakter tak jujur bangsa ini?

Tidak Individualis

Ada baiknya kita pelajari karakter bangsa ini. Antropolog ternama, Koentjaraningrat pernah berkata bahwa salah satu kelemahan prinsip gotong royong adalah tidak ada penghargaan pada prestasi individu. Sampai sekarang siapa pencipta lagu Rasa Sayange tidak ada yang tahu sehingga kita kelabakan tatkala Malaysia mengklaimnya. Bagitu pula produk budaya dan seni lainnya.

Gotong royong menurut Bung Karno merupakan karakter asli bangsa. Karena itu manusia Indonesia selalu tergantung pada orang lain. Muncullah istilah "kebersamaan" yang bak kata sakti. Konsep kebersamaan ini bisa berarti setiap orang "memikul sama berat; menjinjing sama ringan". Manusia Indonesia seakan bangga apabila mereka memiliki nasib yang sama dengan manusia lainnya—bila perlu nasibnya sama-sama jelek. Kita pun tidak punya keinginan untuk "berani tampil beda" dengan orang lain.

Kasus sontek sebenarnya berhulu pada konsep kebersamaan ini. Para orang tua tidak mau anaknya tak lulus ujian. Mereka tidak kuat menanggung beban yang teramat berat apabila melihat anak tetangga bersorak girang. Takut membayangkan situasi ini, para orang tua mau tak mau memaksa anaknya untuk belajar keras. Kalau pun tidak berhasil, sang anak diperkenankan menyontek jawaban teman atau pemberian guru.

Para guru tentu sami mawon. Sebagian besar guru adalah orang tua juga. Mereka merasa kasihan pada anak murid karena tak bisa membayangkan apabila mereka menjadi orang tua si murid. Akhirnya, sang guru mau tak mau "menjual" segala kejujuran dan kebaikan yang diajarkannya dalam tempo beberapa jam. Selain itu, mereka juga tak kuat menanggung malu apabila sekolahnya tidak lebih baik dari sekolah tetangga. Lagi-lagi prinsip "kebersamaan".

Karakter gotong royong pun pada akhirnya tak berguna sama sekali. Bahkan Bung Karno yang mengatakan gotong royong adalah perasan dari Pancasila, dulu suka menyontek berjamaah ketika kuliah di Sekolah Tinggi Teknik Bandung (Sekarang ITB). Bayangkan, seorang bapak bangsa berintelektualitas tinggi juga melakukan serupa manusia Indonesia kini.

Melihat kondisi sekarang—dan dahulu—tambah yakinlah saya asal-muasal bangsa yang korup terletak pada "alam bawah sadar" gotong royong yang sering dibangga-banggakan. Kita tidak siap menjadi individu yang berani sendirian mengarungi hidup yang penuh salah-kaprah seperti ini. Bukan maksud saya meniru individualisme ala Barat. Namun hanyalah individu yang "berpendirian teguh di jalan yang benar". Bagaimanapun, orang Indonesia banyak yang paham bahwa apa yang dilakukan salah. Sayang tidak ada keberanian untuk tampil beda dengan orang lain.

Tapi, mungkin hal seperti ini jualah yang akan terus terjadi. Sekarang tampil begitu banyak orang yang bicara soal kejujuran. Bahkan pejabat yang sudah tahu soal ketidakjujuran berbicara bak pahlawan yang menyalahkan guru SD Surabaya. Walikota Surabaya pun telah mencopot guru dan memutasi mereka. Padahal, tidak perlu tampil gagah-gagahan di kala "budaya nyontek" sesungguhnya sudah mereka ketahui.

Di saat Siami dan putranya kini jadi pemberitaan, siapapun yang banyak bicara mengenai hal ini sebenarnya menjadi orang munafik. Bukan maksudnya orang ini tidak jujur; atau lain di mulut lain perbuatan. Tapi, mereka pada dasarnya sudah tahu jika kasus sontek ini lekat dengan pendidikan kita. Tampil bak pahlawan kesiangan, lalu berbuat sekenanya dengan menyalahkan segelintir pihak, padahal mereka tidak berani mendobrak budaya tak jujur ini.

Mendiknas sepatutnya harus berani tak populer di mata masyarakat. Buatlah aturan yang memungkinkan seorang guru dipecat apabila punya indikasi tak jujur. Revolusi budaya memang tak semudah revolusi politik, tapi kuncinya ialah berani. Mohammad Nuh harus bersyukur bahwa dari Surabaya—yang notabene tempat ia lahir, sekolah, kuliah, jadi dosen, jadi rektor, hingga baru sekarang berada di Jakarta—angin revolusi itu berembus. "Pendidikan karakter" yang ia jadikan program Hardiknas lalu punya momentumnya dari seorang Siami yang polos.

Tapi, seperti yang sudah saya tuliskan di atas, karakter yang harus diubah sudah berurat-berakar dalam daging orang Indonesia. Janganlah berwacana lagi. Saya yakin, jika manusia Indonesia dididik menjadi Manusia Berpikir, ia akan bisa mengalahkan "alam bawah sadar" yang merusak bangsa ini. Karena sudah jelas, orang seperti  Nazaruddin, Gayus, Wafid, dll—meski berpendidikan—belumlah sampai ke taraf itu. Semoga anak bangsa ini tidak lahir untuk menjadi koruptor.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun