Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Jepang Perlu Tsunami

15 Maret 2011   06:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:47 388 1
Tatkala Presiden Megawati memberlakukan Darurat Militer di Aceh pada Mei 2003, setiap orang yang berada di sana pesimis. Mungkinkah konflik bisa berhenti? Mengingat Aceh dalam sejarahnya tidak memiliki catatan di mana kekerasan dapat diselesaikan dengan kekerasan pula.

Tapi, hanya dalam tempo 2 tahun 3 bulan, konflik itu resmi berakhir. GAM menghentikan tuntutan merdeka dan mengakui Aceh sebagai bagian dari NKRI. Mereka segera menyerahkan senjata-senjatanya untuk dimusnahkan. Pemerintah Pusat pun menarik TNI non-organik dari sana.

Apa gerangan yang membuat Aceh bisa membuat "sejarah berakhir"? Saya kira semua orang sudah tahu bahwa hanya karena bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004 mimpi perdamaian dapat terwujud.

Itulah pengalaman Aceh. Perdamaian sudah memasuki tahun ke-6 dan rehabilitasi serta rekonstruksi Aceh dapat berjalan maksimal tanpa ada gangguan. Kini, mayoritas kepada daerah tingkat II di Aceh adalah orang yang sebelum tahun Agustus 2005 masih memangkul senjata di hutan-hutan. Semua elemen masyarakat Aceh telah bersatu.

Tsunami Jepang

Gempa yang kemudian disusul tsunami kini terjadi pula di Jepang. Negeri asal  "tsunami" itu baru saja mengalami peristiwa serupa pada 11 Maret lalu. Gempa yang konon berkekuatan 8.9 SR menimbulkan gelombang tsunami hingga 10 meter. Beberapa kota Jepang luluh lantak digulung si "ombak pelabuhan". Dari breaking news di televisi kita bisa saksikan betapa gelombang tsunami tanpa pandang bulu merusak apa saja yang dilewatinya.

Namun, ada perbedaan yang mencolok antara Aceh dan Jepang. Meski tsunami itu tidak kalah kuatnya dengan yang terjadi di Aceh 6 tahun silam, tapi korban jiwa sangat "sedikit". Sampai sejauh ini, korban jiwa yang sudah melayang berjumlah ribuan. Bandingkan dengan tsunami Aceh yang korban tewas di Aceh saja mencapai 160 ribu lebih.

Jepang dapat meminimalkan korban jiwa tentu karena pengalaman menempa mereka. Sedari kecil, orang Jepang diajari bagaimana bertindak apabila terjadi gempa. Di samping itu, mereka juga memiliki sistem peringatan dini yang canggih manakala sebuah gempa berpotensi tsunami terdeteksi.

Meski demikian, bencana tetaplah bencana. Sedikit apapun jumlah korban jiwa tapi yang jadi pertanyaan ialah: bagaimana nasib korban? Mereka telah kehilangan rumah dan properti lainnya yang  sangat diperlukan dalam hidup mereka sehari-hari.

Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor 3 di dunia-dalam benak kita, Jepang pasti mampu mengatasi hal itu. Sayangnya, Jepang yang sekarang bukanlah Jepang yang dulu. Menurut A Prasetyantoko di Kompas hari ini, Jepang sudah mandek ekonominya sejak 1990-an. Kini tsunami bencana alam yang datang. Mampukah Jepang keluar dari krisis?

Jepang Bersatu

Jepang dalam sejarahnya adalah negeri yang mampu bangkit dari malapetaka. Pasca-Perang Dunia II yang diakhiri klimaks bom atom Hiroshima dan Nagasaki, tidak ada yang menyangka negeri itu bisa menjadi negara besar. Nyatanya, dengan kekuatan dan tekad untuk bersatu, Jepang mampu menjadi negeri yang ditakuti oleh penakluk mereka, Amerika Serikat.

Jepang adalah contoh bagaimana penderitaan dapat dikonversi menjadi kekuatan. Bangsa ini kemudian kita tahu sangat solid dalam berbagai hal. Dengan modal ini mereka bisa berdiri dengan tegar.

Sayangnya, Jepang sekarang mengalami banyak masalah dalam negeri. Persoalan rendahnya angka kelahiran di sana membuat pemerintah khawatir. Hal ini memang sangat lazim di negara industri maju. Tuntutan kerja yang tinggi, baik pria maupun wanita, membuat waktu semua tersita ke pekerjaan.

Persoalan lainnya adalah dalam hubungan luar negeri, khususnya dengan Cina dan Amerika Serikat. Jepang kerap berselisih paham dengan Beijing terkait klaim perbatasan. Dengan Washington, negeri ini menghadapi tuntutan rakyat agar Pangkalan Militer Amerika di Okinawa segera dipindahkan. Padahal, Jepang berkepentingan dengan pangkalan itu untuk menjaga wilayahnya dari ancaman Korea Utara dan Cina.

Masalah-masalah tersebut membuat pemerintahan Partai  Demokrat Jepang yang sekarang dipimpin Naoto Kan kelimpungan. Ditambah datangnya bencana yang begitu besar tentu perhatian pemerintah semakin terbagi.

Tapi, seperti dulu, Jepang saya kira akan bangkit. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah bersatunya rakyat dan elit pemimpin Jepang. Sebagaimana Aceh yang bersatu setelah konflik, maka partai oposisi dan partai yang sedang berkuasa harus bersatu dan bahu-membahu mengatasi krisis.

Bukan tak mungkin, dengan persatuan ini kita bisa saksikan kelak Jepang yang stabil dan maju ekonominya. Dengan begitu, Indonesia dan Jepang akan dapat terus bekerja sama. Banzai!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun