GBPH Prabukusumo mungkin tidak pernah kita dengar sepak terjangnya. Memang, dia bukanlah politikus yang berkantor pusat di Jakarta. Dia juga tidak menjabat jabatan penting yang bisa membuat namanya menasional. Dia hanyalah seorang ketua daerah partai di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagai adik dari Sultan Hemengkubuwono X, Prabu memilki kendaraan politik sendiri. Sang kakak adalah anggota Partai Golkar dan sekarang sibuk di ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Dia sendiri memilih bergabung dengan partai penguasa, Partai Demokrat.
Entah apa alasannya Prabu dipercaya orang nomor satu di Partai Demokrat Yogyakarta. Tapi kita bisa menduga pasti bahwa ada sangkut-pautnya dengan darah biru yang mengalir dalam dirinya. Bermodalkan hal tersebut, tentu dapat mendongkrak perolehan suara partai penguasa itu di Yogyakarta. Dan memang akhirnya, Partai Demokratlah yang menang di sana.
Dua orang bersaudara yang berbeda partai mungkin bisa memutus silaturahmi keluarga. Kita bisa saksikan sendiri di keluarga besar Bung Karno. Adik dan kakak yang sama-sama mengaku pewaris sah ideologi bapaknya bisa berseteru. Tapi, hal tersebut tidak berlaku baki Prabu.
Partai baginya hanyalah murni sebagai kendaraan. Sebagaimana lazimnya kendaraan, penumpanglah rajanya. Tidak lebih dari itu. Sang sopir memang boleh sesukanya membuat aturan. Tapi, apabila aturan itu melanggar apa yang paling hakiki dari si penumpang, maka tidak boleh lagi ada tawar-menawar.
Hal itulah yang dilakukan Prabu. Kita sudah selama 2 minggu ini mendengar adanya niat pemerintah mengebiri keistimewaan Yogya. Sebuah kesultanan yang kita sudah tahu apa jasanya bagi republik tercinta ini. Namun, pemerintah "demokrat" itu melihat sesuatu yang salah. Ironi di sebuah negara demokrasi, tapi satu daerah tidak terjamah oleh demokrasi itu. Daerah yang masih dihinggapi mitos tentang Mbah Petruk di Gunung Merapi dan Nyi Roro Kidul di laut selatannya.
Entah apa motif pemerintah. Pertimbangan politikkah? Sentimen pribadikah? Tapi pemerintah hanya menjawab bahwa sang demokrasilah yang telah membisiki hati mereka sehingga mau mengotak-atik apa yang berlaku selama ini.
Sang kepala pemerintahan adalah juga pembina partai. Partai berembel-embel "demokrat". Tapi, yang kita lihat selama ini hanyalah kebohongan belaka. Nama itu ternyata tidak menjamin ada demokrasi di dalamnya. Tidak pernah kita dengar dinamika demokrasi yang lazim di partai itu. Semua kader satu suara mengatakan : suara (partai) Demokrat adalah suara SBY!Kalau sang pembina mengeluarkan wejangannya, tidak boleh ada yang membantah. Semua harus menurut. Apakah sang binaan memang berwatak penurut ataukah hanya membenarkan kata pembuka tulisan ini - pragmatis, saya tidak tahu. Partai yang nyaris seia-sekata dalam segala hal.
Apakah itu definisi SBY tentang demokrasi? Demokrasi yang adem ayem tanpa kegaduhan. Demokrasi yang segala gejolak bisa diselesaikan dengan cara "ayah-anak"? Mungkin saja!
Meski begitu SBY ternyata kena batunya sekarang. Seorang kadernya memilih keluar dari partai itu bukan lantaran tidak diberi kursi menteri. Tidak juga disebabkan kekecewaan menyangkut balas jasa. Prabu, sang Ketua DPD Demokrat Yogyakarta itu memilih keluar karena idealismenya tidak tertampung oleh ketua dewan pembinanya.
Saya bersyukur ada yang memberi SBY pelajaran berharga. Bahwa tidak semua orang bisa mengorbankan idealisme demi sebuah jabatan. Dalam demokrasinya SBY, mungkin tidak terpikirkan sama sekali hal itu bisa terjadi. Prabu - seorang yang menjadi bagian dari apa yang disebut monarki oleh SBY - bisa menunjukkan bahwa dalam monarki itu ada kehormatan. Ada harga diri sebagai seorang manusia. Dalam monarki yang oleh SBY diantitesiskan dengan demokrasi itu, ternyata menjadi manusia yang bebas bisa lebih diakomodir ketimbang bergabung dengan partai yang berembel-embel demokrasi.
Saya sendiri sebenarnya heran dengan Keraton Yogyakarta. Mengapa pengaruhnya bisa bertahan begitu lama? Di saat kerajaan-kerajaan lain sudah tidak punya pengaruh, digerus oleh "demokrasi" Keraton Yogya masih dicintai oleh masyarakat Indonesia (Lihat survey kompas yang menyebutkan 50% lebih orang non-Yogya menghendaki penetapan, bukan pemilihan langsung). Apa gerangan yang menyebabkannya?
Bapak sosiologi Ibnu Khaldun menyebut suatu peradaban akan mengalami siklus seperti ini: lahir, tumbuh, berkembang hingga runtuh. Keraton Yogya lahir dari politik devide it impera Belanda yang menghasilkan perjanjian Giyanti tahun 1755 dan memecah kerajaan Mataram menjadi dua, Kesultanan Yogya dan Kesunanan Surakarta. Keraton itu kemudia pecah lagi dengan Paku Alaman. Tapi, dalam masa 200 tahun ini, Keraton Yogya tidak malah runtuh seperti kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan rajanya menjadi wakil presiden di negeri yang luasnya lebih besar dari wilayah Kerajaan Mataram paling jaya sekalipun.
Runtuhnya sebuah kerajaan bisa terjadi secara alami maupun tidak. Tapi yang alamipun hancur apabila dikebiri lebih dahulu. Lihat saja dengan Kerajaan Aceh, Batak, Deli, Bali, dan lain sebagainya. Hancurnya kerajaan ini sendiri membuat lahirnya republik jauh lebih mudah. Boleh dibilang hanya Keraton Yogya dan Surakarta saja yang pengaruhnya paling kuat.
Sultan Hamengkubuwono IX memilih bergabung dengan Indonesia. Untuk membalas budi, pemerintahan Bung Hatta memberi status istimewa pada tahun 1948. Oleh karenanya eksistensi Keraton akan terus ada karena rajanya masih tetap berwibawa.
Mendengar SBY mengatakan "tidak boleh ada monarki", saya menduga dalam alam bawah sadarnya SBY menunjukkan dirinya sebagai demokrat sejati. Bahkan hampir sama dengan seorang komunis yang memang antifeodalisme. Tapi dia tersandera oleh sejarah dan realita politik bangsanya.
Apakah SBY menghendaki keraton Yogya runtuh dan terbuktilah apa yang dikatakan Ibnu Khaldun tadi? Mungkin saja. Tidak boleh ada monarki berarti juga tidak boleh ada feodalisme. Dengan menjauhkan sang raja dengan rakyat, maka secara alamiah dalam beberapa tahun mendatang keraton akan mati secara politik.
Meski begitu, SBY paling tidak sudah kalah. Di dalam partainya sudah ada orang yang secara gamblang berani melawannya, meski dengan cara njawani. Kehormatan seorang pangeran bernama Prabukusumo sudah mengingatkan kita pentingnya kehormatan.
Karena benarlah adagium noblesse oblige, dalam jabatan mulia terdapat tanggung jawab yang besar! Lucunya adagium itu lahir dari feodalime di Eropa. Dan di Yogyakarta pun, berlaku hal yang sama. Bagi SBY, apakah dia memilikinya?