Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Cuek

16 Desember 2010   05:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41 223 0
Sore tumpah. Para pekerja menghambur di jembatan penyeberangan sampai berdecit-decit. Wajah-wajah yang tadinya penat menanggung bosan belum sepenuhnya regang meski sudah dicoba untuk bersenda atau sekadar tegur-sapa, lebih-lebih mereka yang cuma memperhatikan arah jalan atau jam.

Dari pinggir koridor jembatan, diam-diam, sepasang mata bayi sibuk melihati orang lewat sampaipun lupa berkedip. Mata itu bening sekali---seperti sepatu yang baru saja siap disemir---melirik kiri-kanan secara teratur seperti kepala penonton pingpong. Mulutnya cuek saja ngemut-ngemut puting susu perempuan yang ketiduran di lantai koridor, bersender ke dinding pembatas jembatan.

Langkah-langkah berdecit terus pergi, ke tuju masing-masing.

Seekor lalat loncat dari jidat perempuat itu ke sendal karet sebelum akhirnya terbang zig-zag antar sela keramaian, menyusuri jejer mobil yang terpaksa mengarus pelan-pelan, lalu hilang di latar metropolitan. Langit mengilaukan jingga ke puncak gedung.

***

Malam telah mengancam horizon. Kedua tangan mungil itu mempererat pelukan pada emaknya, masih di lantai koridor, sembari terus ngemut-ngemut puting susu. Beberapa keping duit koin mendingin dalam kaleng roti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun