Pakar agama Islam mendefinisikan mukjizat, antara lain, sebagai suatu peristiwa luar biasa yang dialami oleh seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada mereka yang merasa ragu agar melakukan atau mendatangkan hal yang serupa, namun pada kenyataannya mereka tidak kuasa untuk melayani tantangan tersebut (hal 25).
Mukjizat, selain berfungsi sebagai bukti kebenaran para nabi, juga sebagai perantara wahyu Tuhan. Keluarbiasaan yang tampak pada mereka diibaratkan sebagai ucapan Tuhan, “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu”
Mukjizat, meskipun dari tinjauan bahasa bermakna melemahkan, namun ia sama sekali bukan dimaksudkan untuk melemahkan ketidakmampuan mereka yang ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa oleh masing-masing nabi (hal 35).
Al-Quran, adalah salah satu mukjizatnya Nabi Muhammad Saw. yang berisi petunjuk yang akan mengantarkan umat di dunia ini meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Keagungan dan kesempurnaan kitab suci umat Islam ini bukan hanya diketahui atau dirasakan oleh mereka yang memercayai dan mengharapkan petunjuk-petunjuknya, melainkan juga oleh semua orang yang mengenal secara dekat dengan Al-Quran (hal 50).
Pakar Al-Quran dan hukum Islam, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H), dinilai sebagai ulama pertama yang menggarisbawahi aspek kemukjizatan Al-Quran ditinjau dari segi petunjuk atau syariatnya dari 10 aspek kemukjizatan yang dikemukakannya. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) secara tegas juga berpendapat seperti itu, sebagaimana dikemukakannya dalam jilid pertama Tafsir Al-Manar. Bahkan, menurutnya, petunjuk Al-Quran dalam bidang akidah ketuhanan, persoalan metafisika, akhlak, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan soal agama, sosial, dan politik, merupakan pengetahuan yang sangat tinggi nilainya (hal 226).
Dalam bidang syariat, Al-Quran menetapkan peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya (hablum minannaas) yakni antara sesama muslim dan non-muslim, baik di rumah, di tengah-tengah masyarakat luas, bangsa, bahkan dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas lagi, yakni masyarakat internasional (hal 227).
Sisi keistimewaan petunjuk Al-Quran juga tampak pada prinsip yang diperkenalkannya, yakni prinsip yang berfungsi sebagai ‘hak veto’ terhadap perincian ketetapan-ketetapannya, sehingga melalui prinsip tersebut, perincian ketetapan dapat disesuaikan bahkan dibatalkan. Al-Quran, misalnya, membenarkan seseorang memakan daging babi apabila ia berada dalam keadaan darurat (misalnya ketika berada di tengah hutan dan tidak ada makanan lain yang bisa dimakan). Begitu juga dengan kewajiban puasa Ramadhan, dapat gugur apabila yang bersangkutan dalam melaksanakannya mengalami kesulitan yang sangat, misalnya bagi mereka yang memiliki penyakit parah atau bagi orangtua yang sakit-sakitan dan sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa (hal 229).
Buku menarik dan sangat bermanfaat ini dipersembahkan penulis kepada setiap orang yang berminat mengenal lebih dekat kita suci Al-Quran. (Sam Edy Yuswanto).
***
Judul Buku: Mukjizat Al-Quran; Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Mizan
Cetakan: II, Februari 2014
Genre: Agama Islam
Tebal: 316 halaman
ISBN: 978-979-433-762-2
*Cover buku koleksi pribadi.