Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Privilege

20 Januari 2025   06:21 Diperbarui: 20 Januari 2025   06:21 33 2
Privilege
Karya; Salwa Amalia Kaysan

Awalnya tidak berpikir itu sangat penting. Ternyata pemikiran itu mulai bergeser, seiring bertambahnya usia. Orang hanya memandang nama besar, kedudukan dan juga jabatan. Itu relate sekali, kan? Banyak orang berpikir dalam suatu hubungan, harus ada timbal baliknya, menguntungkan atau tidak? Apalagi dalam hubungan sebuah bisnis.

Kini, dibuka banyak pekerjaan yang disebut affiliate. Salah satu persyaratannya adalah minimal 1000 pengikut. Bahkan di sebuah group komunitas di aplikasi hijau, setiap hari Kamis, ada dibagikan informasi brand, yang mencari affiliate.

Beberapa anggota tertarik, tapi terbentur dengan minimal pengikut. Yah, sangat masuk akal, sih! Jika sebuah brand mencari seseorang untuk mengiklankan produknya, harus dengan banyak pengikut. Secara otomatis produknya dilihat banyak orang, minimal dilihat oleh 1000 pengikutnya.

Namun untuk mendapatkan followers tidak mudah. Mereka hanya mengikuti seseorang sesuai ketertarikan pada konten, nama besar, profil dan lain sebagainya. Semua memerlukan yang disebut privilege.

Untuk anak kecil, yang lahir dari keluarga artis terkenal, pengusaha terkenal, pejabat atau sultan, amat mudah mendapatkan pengikut. Tinggal buat akun, langsung diikuti.

Namun, itu tidak berlaku untuk anak-anak kebanyakan, maupun orang kebanyakan. Mereka sulit sekali mencari pengikut. Di sini perlunya berjejaring. Mengenal banyak orang dan mau terus upgrade diri.

Ada cerita dari seorang anak, yang mempunyai mimpi tinggi. Kita sebut saja, namanya Mentari. Mentari berasal dari anak kalangan menengah ke bawah, dan mungkin lebih bisa disebut dari kalangan bawah.

Dia anak yatim, dari seorang ibu buruh cuci serabutan. Dia mempunyai mimpi ingin menjadi dokter. Namun, banyak orang di sekitarnya menilai, jika mimpinya itu ketinggian.

"Neng, tahu diri sedikit, deh! Ibu kamu hanya kuli cuci dan sudah tua! Nanti cari sekolah yang bisa langsung kerja saja! Jangan mikir mau kuliah segala, dipikir kuliah nggak mahal, apa? Apalagi dokter, hedeuh..., mimpi itu jangan ketinggian, biar kalo jatuh dan tidak terwujud, kamu tidak menjadi stress!"

Saran yang seakan memberi perhatian, tapi sangat menjatuhkan, kan? Namun Mentari tetap berusaha mengejar mimpinya. Jiwa sosialnya sangat tinggi. Dalam keterbatasan keadaan, dia menjadi relawan literasi.

Dia melakukan praktik baiknya dalam sunyi. Tidak dipublikasikan sama sekali. Sahabat-sahabat dan adik-adik kelasnya mengikuti kegiatan, berdasarkan informasi dari mulut ke mulut.

Mentari mulai menamai komunitasnya, dan eksis bergerak dalam sunyi. Dia terus bergerak dalam diam. Hingga pada suatu ketika, dia mencoba membuat sebuah event lomba, untuk melihat perkembangan komunitas yang dibimbingnya itu.

Dia tidak mengira, informasi event itu dibagikan keluar, dan banyak anak yang mendaftar. Saat itu mulai terdengar lagi komentar yang menjatuhkan.

"Apaan sih yang kamu cari? Nggak tahu diri amat! Hidup udah susah, pakai acara bikin komunitas sosial segala!".

Yah, bagi banyak orang, hal tersebut hal "gila" yang dilakukan seorang anak yatim miskin, untuk melakukan kegiatan praktik baik. Kegiatan yang tidak menghasilkan sama sekali.

Bagi kebanyakan orang, kegiatan sosial atau komunitas itu, hanya layak dilakukan oleh orang dewasa yang mapan, tajir melintir dan punya nama besar. Seandainya dilakukan seorang anak, itu haruslah anak orang kaya, anak publik figur, anak pejabat dan anak orang terkemuka.

Pandangan itu sangat relate di masyarakat. Privilege menjadi hal mutlak, yang harus dimiliki oleh orang-orang, yang ingin melakukan apapun.

Jika berasal dari kalangan bawah, yah harus siap mental untuk maju! Siap mental untuk membangun privilege dari nol besar! Siap mental untuk diremehkan, dihina!

Tidak akan berubah privilege nol seseorang, jika tidak ada keinginan untuk merubahnya.

Kita kembali lagi di cerita Mentari. Jika Mentari mempunyai mental lemah, dan mendengarkan penilaian orang lain. Dia akan menjadi seperti ibunya. Hanya menamatkan sekolah, demi bisa cepat bekerja untuk mencari uang, dan mengubur semua mimpinya.

Dia berhenti bermimpi, dan mulai menjadikan dirinya menjadi anak yang biasa saja.

Privilege bisa dibangun dari nol. Asalkan tekun dan fokus pada mimpi. Orang-orang besar, ada banyak yang merintis privilege nya dari nol besar.

Seperti pesepakbola Christian Ronaldo. Kisah masa kecilnya seperti apa? Jika dia tidak tekun, mungkin dunia, takkan tahu siapa dia? Sekarang dunia tahu siapa dia? Banyak yang datang sendiri menawarkan brand, menawarkan kesempatan bercuan, dan hidup penuh kelimpahan.

Christian Ronaldo kecil dulu pasti tidak berpikir, ketekunannya dalam meraih mimpi, bisa membuatnya dikenal dunia. Mempunyai privilege yang super untuk anak-anaknya di masa kini.

Privilege memang tidak semua anak mendapatkannya dengan mudah. Namun, privilege itu bukan hal yang tidak mungkin untuk bisa dibangun. Setiap orang berhak dan pasti bisa membangun privilege nya. Asalkan dia punya tekad dan bermental kuat

Salam semangat, bagi semua orang, yang kini sedang membangun privilege dari nol!
Kamu tidak sendiri.

Jakarta, 20 Januari 2025.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun