Karya: Salwa Amalia Kaysan
Kay menatap pilu bungkusan makanan di hadapan. Ditatap nanar nasi sisa, dengan ayam goreng setengah, nyaris tinggal tulang. Dia tak habis pikir dengan kelakuan orang-orang yang secara finansial begitu mapan.
"Maafin Kay, Bunda!" keluhnya perih.
Ditatap punggung sang bunda, yang tengah memasak mie instan. Dia menghela napas, dan membawa makanan itu ke teras.
"Meong..., meong!" sambut beberapa anak kucing kegirangan.
"Oyen, ini rezeki kalian!" ujar Kay, seraya membuka lebar-lebar nasi bungkus sisa itu.
Air mata menetes deras membasahi pipi. Dia menangis dalam diam. Pandangannya mengabur karena air mata.
Kay teringat kembali kejadian tadi siang.
"Bunda, kata Ibu Gusti kita diundang acara ulang tahun di restauran, looh!" ujar Kay semringah.
"Alhamdulilah, kamu dan adik bisa makan enak!" sahut sang bunda tersenyum.
"Wajah Bunda kenapa pucat sekali?" tanya Kay sambil terus memandangi wajah wanita yang sangat dicintainya itu.
"Bunda tadi jatuh dari motor, Kak!" sahut Muh sambil memberikan segelas air putih.
"Innalilahi!" seru Kay sambil menghampiri dan melihat setiap inci dari tubuh ibunya itu
"Bunda nggak apa-apa!" sahut sang bunda sambil memeluk kedua anaknya.
"Kalo tidak enak badan, kita nggak usah pergi aja, Bun!" ujar Kay pelan.
"Iya, badan Muh juga masih tidak enak, masih bolak-balik ke toilet!" sahut Muh lemah.
"Bunda tidak apa-apa! Kalian kan mau makan enak? Ayuk, jangan nolak rezeki!" sahut sang Bunda semangat.
"Beneran Bunda kuat?" tanya Kay dan Muh barengan.
"Iya!" sahut Bunda semangat. "yuk siap-siap!".
Mereka gegas bersih-bersih dan berganti pakaian. Motor sedang di bengkel, karena kecelakaan tadi pagi, mereka bertiga menunggu angkutan umum di halte terdekat.
Singkat cerita, mereka sampai di sebuah restaurant elit. Tampak Ibu Gusti melambaikan tangan ke arah mereka.
"Kenapa datang terlambat? Itu makanan kalian!" ujar Ibu Gusti sambil menunjuk ke arah tiga kursi kosong.
Kay menatap nasi dengan lauk ayam goreng. Air liurnya seakan menetes deras. Bagi mereka, makan ayam goreng sudah sangat istimewa.
Kay dan Muh biasa makan dengan tempe goreng dan sayur bening. Jatah makan sehari mereka hanya Rp.25.000,- saja, karena sang bunda, hanya kuli cuci dengan gaji Rp.500.000,- sebulan.
Kay masih kelas empat, sedangkan Muh, belum sekolah. Mereka hidup sangat prihatin, setelah kematian sang ayah karena kecelakaan.
"Ayuk makan, jangan diliatin saja!" ujar Ibu Gusti ramah.
Tiba-tiba sang Bunda ijin ke toilet bersama Muh. Kay melahap dengan nikmat makanan di hadapannya.
Setelah selesai makan, dia baru menyadari adik dan ibunya masih belum kembali. Kay pamit untuk menjenguk ke toilet.
Dilihatnya sang Bunda duduk bersandar di kursi, dan Muh tidak ada di sana.
"Bun ...?" sapa Kay pelan.
"Eh, kenapa ke sini?" tanya Bunda heran, "Adikmu bolak-balik toilet terus! Kamu di sana aja, tungguin!" perintah sang Bunda cepat.
"Baik, Bun!" sahut Kay gegas meninggalkan Bundanya.
Dia tahu perasaan Bunda. Pasti tak enak hati pada Ibu Gusti dan keluarga. Selain itu Kay memang selalu patuh pada sang Bunda
"Ibumu mana?" tanya Ibu Gusti heran.
"Bunda masih di toilet, Bu!" sahut Kay pelan.
"Ooh! Kay, makanan Bunda dan Muh dibungkus aja, ya? Ibu masih ada urusan lagi!" kata Ibu Gusti ramah.
"Baik Bu, maaf ya Bu?" kata Kay pelan.
"Nggak perlu minta maaf!" kata Ibu Gusti pelan.
Akhirnya makanan untuk Bunda dan Muh diminta untuk dibungkus saja. Tak lama seorang pelayan datang dan menyerahkan kantong plastik dengan logo restoran tersebut.
"Ibu tinggal dulu ya, Kay!" ujar Ibu Gusti sambil menggendong anak bungsunya.
"Itu kantongnya siapa, ya?" tanya Ibu Gusti menunjuk ke arah kantong plastik putih, yang teronggok di meja paling ujung.
"Punya Tante Ti, Mi!" sahut Ayla acuh tak acuh.
Tante Ti adalah adik dari Pak Wowo, suami Ibu Gusti. Ibu Ti tampak tak suka dengan kehadiran Kay dan ibunya. Wajahnya selalu masam setiap melihat Kay dan Ibunya.
"Nitip kantong itu ya, Kay! Ti pasti kembali lagi ke sini!" ujar Ibu Gusti sebelum pergi.
Tak lama setelah mobil Ibu Gusti pergi, Tampak Ibu Ti bergegas menuju ke arah Kay, dan langsung menyambar kantong yang ada di hadapan Kay.
"Bu, kantong Ibu yang itu!" seru Kay sambil menunjuk kantong plastik putih.
Mata Ibu Ti melotot tajam ke arah Kay, dan langsung melengos pergi. Kay tertunduk gemetar. Dia ketakutan melihat wajah Ibu Ti, yang begitu berang.
"Nak, semua sudah pergi, ya? Ayuk kita pulang!" ujar Bunda sambil menepuk bahu Kay pelan.
Kay terhenyak kaget.
"Iya, Ma!" sahutnya pelan.
"Itu makanan kita yang dibungkusin?" tanya Muh seraya meraih kantong plastik putih.
"Ituuu, sebenarnya bungkusan adiknya Pak Wowo, bungkusan jatah kamu dan Bunda tadi dibawa Ibu Ti!" sahut Kay pelan.
Ada getaran kemarahan dalam intonasinya. Kay tahu apa yang ada di kantong plastik itu. Itu sisa makan Lutfi dan Dewo, anak dari Ibu Ti.
Sudah sisa, tanpa lauk yang tidak layak sekali untuk dibawa pulang.
"Ibu tahu, Nak!" sahut Bunda sambil mengusap punggung Kay, "ayuk pulang!".
Sepanjang jalan, Kay menatap sedih kantong plastik yang berada di tangan Muh.
Adiknya itu pasti lapar. Muh juga lemas karena buang-buang air besar terus.
"Aku tak tahan lagi, Ma!" pekik Muh setelah turun dari angkutan umum.
"Antar Muh pulang dulu, ya! Bunda beli obat." ujar Bunda bergegas.
Sesampainya di rumah, Muh langsung ke kamar mandi. Kay membuka kantong plastik yang diletakkan Muh. Dia berharap ada keajaiban di dalamnya. Berharap yang di kantong plastik itu, nasi dan lauk pauk yang enak, seperti yang ia makan.
"Astaghfirullah al adzim...!" Kay mengusap dadanya.
Ada rasa sakit dan tak percaya. Padahal Ibu Ti itu mapan. Setiap bulan nya suaminya mendapatkan gaji 500 juta. Belum lagi tunjangan bulanan dari Pak Wowo.
Kenapa adik Pak Wowo yang baik hari bertolak belakang sekali. Ibu Ti tahu, keadaan keluarga Kay. Ayah Kay meninggal dunia enam tahun lalu, karena kecelakaan kerja.
"Jangan disesali, Nak! Berarti bukan rezeki Bunda dan Muh!" ujar Bundanya tiba-tiba, "Adikmu masih di kamar mandi, ya?" tanya Bunda sembari menuju kompor dan menyalakan api.
"Bunda beli mie lagi?" tanya Kay sebelum ke teras.
"Iya, cuma ini yang kebeli, hehe...!" sahut Bunda sambil terkekeh, "Bunda beli tiga, kamu mau juga?" tanya Bunda sambil sibuk membuka bungkus mie.
"Aku masih kenyang, Bunda!" sahut Kay dengan rasa bersalah.
Bunda tidak menyahut, beliau sibuk meracik mie untuknya dan adik.
Kay menatap kucing-kucing yang begitu lahap menyantap makanan sisa itu.
"Aku harus sukses, agar orang-orang itu tidak seenaknya menghina Bunda!" desis Kay sambil mengusap air mata.
Jakarta, 01 Januari 2025.