Karya: Salwa Amalia Kaysan
Bu Ani sibuk merapikan pakaian. Sudah seminggu dia menempati mess di sudut kota Jakarta itu.
"Nak, Mama mau mengikuti webinar sebentar, ya!" serunya saat alarm di hapenya berbunyi.
"Siap, Ma!" sahut kedua anaknya kompak.
Kedua anak Bu Ani, mengerti tentang semangat sang ibu yang ingin upgrade ilmu. Bagi Bu Ani, usia tak menghalanginya untuk tetap belajar. Apalagi kini dia orang tua tunggal bagi kedua anaknya yang masih kecil.
Brak..., brak!
Ada ketukan keras di pintu.
Wajah Wawa pucat. Dia memang sangat trauma dengan suara keras.
"Siapa itu, Kak?" tanya Riri ketakutan.
"Kakak tidak tau, Dik!" sahut Wawa dengan gemetaran.
Dengan takut, dia bergerak membuka pintu.
Dia melihat wajah garang Ibu yang mempunyai rumah di depan mess, tempat yang baru mereka tempati.
"Itu yang buang sampah di samping kalian? Eh, kalo buang sampah itu jangan sembarangan, ya! Bayar ke tukang sampah!" seru garang wanita setengah baya itu sambil berkacak pinggang, "Mana ibu kalian?" sentaknya semakin garang.
"Iya, Bu ada apa?" tanya Bu Ani segera menghampiri wanita tetangga barunya itu.
"Eh, kalo buang sampah jangan sembarangan, bayar ke tukang sampah!" semprot wanita itu sambil melotot.
Ibu Rita, begitu biasanya dia dipanggil. Juragan kontrakan di wilayah itu. Dari awal kepindahan Bu Ani dan kedua anaknya, dia sudah merasa tidak senang dengan kehadiran janda dua anak itu.
Dia selalu memasang wajah pongah di hadapan ketiga orang itu. Saat dia mendapati sampah di samping rumah mess, yang dibeli Pak Arwo, pimpinan PT Jana, tanpa basa-basi, Bu Rita langsung meledakkan amarahnya pada Bu Ani dan dua anak yatimnya.
"Ini semua rumah kontrakan gua, dan jalanan ini juga punya gua, tahu!" katanya sambil memutar tangannya selebar-lebarnya seakan menunjukkan kekuasaannya.
Bu Ani menatap Wawa yang gemetaran.
"Kamu buang sampah itu di situ?" tanya tegas.
"Nggak, Ma!" sahut Wawa spontan, "Aku membuang sampah di kantor, kok! Kan Mama lihat sendiri, aku ke sana buang sampahnya!" ujar Wawa sambil menunjuk ke arah work shop.
"Bu, maaf! Anak saya buang sampah nya ke kantor, bukan di situ!" ujar Ibu Ani serasa mengajak kedua anak masuk dan menutup pintu.
"Ibu itu kenapa jahat sekali, ya? Ketuk pintunya keras dan marah-marah begitu?" tanya Riri dengan wajah masih bingung dan ketakutan.
"Mungkin lagi stress, Nak!" sahut Ibu Ani santai.
Dia kembali melanjutkan kegiatan webinarnya.
"Ni, itu ada apa?" tanya Rara di ruang zoom.
"Eh, kedengaran ya?" tanya Ibu Ani sambil mengecek mikrofon zoom, "Astaghfirullah al adzim, maaf! Open mic!" seru Ibu Ani tersenyum malu.
"Haha.... Nggak apa-apa! Kalian diomelin penguasa wilayah?" tanya Bu Wida tertawa, "Welcome to the jungle, Say!" serunya riang tanpa perasaan.
Bu Wida juga seorang janda dengan seorang anak. Dari pengalamannya, dia sering dimaki, dihina dan dilecehkan tanpa alasan, karena statusnya itu. Dia merasakan apa yang dialami Bu Ani sekarang.
"Jangan dimasukin ke hati, Ni! Begitu mereka..., hihi...!" kekeh Ratu menimpali.
"Iya, santai aja! Ibu itu sepertinya ingin mendeklarasikan kekuasaannya pada saya, penghuni baru!" sahut Bu Ani kalem.
"Penghuni baru, janda pula!" celetuk Anisa kesal, "doain aja, semoga dia tidak mengalami apa yang dirimu alami!" sahut Rika dengan wajah kesal.
"Itu resiko bagi wanita berstatus janda! Sabar dan tawakal pada Allah, ya!" sahut Nafisah lembut, "Kamu wanita special yang diuji dengan cobaan yang tidak semua wanita mampu mengalaminya. Doain yang baik-baik aja!" katanya lagi melanjutkan.
"Yuk lanjut lagi pokok bahasan webinar kita kali ini!" ajak Carla semangat.
Akhirnya komunitas wanita-wanita hebat itupun melanjutkan webinar mereka, setelah terjeda dengan tragedi yang dialami Bu Ani.
*****
"Bu Ani, saya sudah pernah menawarkan untuk membeli jalan yang di depan mess yang Ibu tempati sekarang! Kata Pak Heru, itu jalanan diwakafkan untuk almarhumah ibunya!" ujar Pak Arwo, setelah mendengar kejadian Bu Ani dilabrak oleh Ibu Rita, si juragan kontrakan.
"Yang penting kalian nggak salah, udah itu aja!" celetuk Bu Ati, istri Pak Arwo.
"Nanti Papi buat tempat sampah di depan aja, lalu pasang CCTV!" saran Bu Tari, Ibunda Bu Ati lembut ke suaminya, "Main gedor pintu orang dan marah-marah ke anak yatim, apa dia tak beragama, ya?" sergah Bu Tari emosi.
"Iya, nanti Papi pasang CCTV!" sahut Pak Slamet sambil beranjak pergi.
Pak Arwo dan Pak Slamet langsung menghubungi karyawan nya, sesuai saran Bu Tari.
Ibu Ani dan kedua anak menjadi tak nyaman dengan keadaan tersebut. Tinggal di rumah baru gratis, tidak membayar bulanan, tapi ada orang kaya searogan Ibu Rita.
"Kita salah apa ya, Ma?" tanya Riri sambil mengusap punggung ibunya lembut.
"Salah kita adalah satu, kita miskin!" sahut Wawa sambil tersenyum miris, "Orang kaya berlaku begitu, bener aja, RI! Nggak perlu nunggu kita ngelakuin kesalahan!" ujar Wawa sambil mengusap rambut Riri lembut.
"Hehe... orkay maah bebas ya, Kak?" tanya Riri tersenyum, "Semoga saat Kak Wawa dan Riri jadi orang kaya nanti, jangan seperti itu ya, Kak? Aamin....," kata Riri sambil mengusap wajah.
"Aamin!" sahut Bu Ani dan Wawa berbarengan.
Mereka tertawa sambil menatap buah rambutan yang menggiurkan di halaman Ibu Rita si pemilik semua jalanan umum yang ada di hadapan keluarga Ibu Ani.
Ibu Ani menghela napas berat. Dia menangis dalam hati. Kesedihannya begitu dalam. Melihat kedua anak yatimnya harus mengalami kekerasan secara verbal dari tetangga baru.
Mereka setiap berpapasan dengan Ibu Rita, disuguhi dengan wajah garang dan tak bersahabat. Bahkan anak Bu Rita, yang seumuran dengan Riri, dengan bahagia merundung Riri.
"Jangan temenin dia! Dia nggak punya bapak!" teriak Gilang putra bungsu Ibu Rita.
"Yaah, nggak punya bapak, nggak punya bapak!" ujar teman-teman Gilang bernyanyi mengejek Riri.
Riri menatap anak-anak itu dengan heran.
"Riri, kenapa duduk di situ, sini masuk!" panggil Ibu Ani sambil melotot ke arah gerombolan anak-anak yang dengan gembira mengejek Riri.
Bu Ani tanpa sadar melihat Bu Rita tengah duduk di teras rumahnya, dan membalas dirinya dengan mata berapi-api.
"Ma, jangan sedih!" kata Riri sambil memeluk ibunya erat, "Riri nggak sedih mendengar mereka begitu, kok!" katanya lagi sambil tersenyum.
"Apa yang kita miliki kan memang bukan punya kita, kan? Semua milik Allah! Jadi kebetulan saja, Riri tidak mendapatkan kesempatan diasuh bapak, karena bapak keburu dipanggil pulang duluan!" kata Riri bijak.
"MasyaAllah, Nak!" seru Ibu Ani sambil mencium bangga putri bungsunya.
Jakarta, 28 November 2024