Salwa Amalia Kaysan
Minggu yang padat dengan jadwal kegiatan. Rasanya untuk bernapas saja, harus mencari saat senggang. Ups, merasa si paling sibuk, dan si paling terbebani.
Hari ini, Cantika merasa mendapatkan "pelajaran" berharga, dari seorang gadis kecil bernama Ipeh.
Paginya diawali dengan rasa pegal di seluruh tubuh. Kemarin dia berkegiatan di sekolah, dan karena ada latihan di OSIS, dia tidak pulang, harus menginap, alias camping di sekolah.
Tidur dua jamnya tidak nyenyak, karena rasa lelah dan rumor horor, yang menghantui pikirannya. Keesokan harinya, dia gegas menyusul jadwal kegiatan di komunitas miliknya.
Komitmen memaksanya untuk hadir, walau badan rasanya seperti digebukin orang sekampung. Hehe...., perumpamaan yang amit-amit jadi kenyataan, ya?
Dia pulang jam 21.00, dan menghantarkannya langsung terlelap menuju alam mimpi.
"Aaah, home sweet home!" gumamnya seraya memeluk guling dekil beraroma nano-nano, "mau rumah keadaannya seperti ini, rasanya nyaman sekali bisa kembali pulang!" ujarnya sambil tersenyum pada sang mama.
Jam 04.00 keesokan harinya, hawa malas menghampirinya begitu erat.
"Ma, hari ini aku harus datang, ya?" tanyanya sambil cemberut.
"Harus, Neng!" sahut sang mama sambil menyeduh kopi, "konsekuensi kamu untuk berjejaring, looh!" lanjut si mama, sambil merapikan barang bawaannya nanti.
"Oooh!" gumam Cantika sedikit kecewa.
Namun, jawaban sang mama memang benar dan wajib dilakukan. Komunitas yang dirintisnya itu, tengah merintis dan bangun jaringan. Dia yang hanya anak yatim, sudah memutuskan untuk komitmen merintis suatu komunitas sosial.
Komunitas non profit, karena ingin berbagi praktik baik untuk masyarakat. Prinsipnya yang idealis, dan sering mendapatkan cemoohan orang julid.
"Orang miskin aja belagu, merintis komunitas literasi! Buat makan aja susah, pakai belagu, mikirin literasi untuk anak kalangan bawah!".
Begitu banyak celotehan yang nyaris membuatnya mundur. Dia memang melihat kenyataan di sekelilingnya. Rata-rata pegiat literasi cilik, berasal dari keluarga mampu. Mereka bersekolah juga, yang khusus anak-anak berprevilege, alias high class.
Cantika sering mendampingi sang mama, mengikuti workshop literasi. Dari sana banyak cerita ketertinggalannya anak-anak dari kalangan bawah.
Tentu saja tertinggal, karena anak-anak dari kalangan bawah, pastinya tak mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan baca buku-buku bermutu. Orang tua mereka akan lebih memilih membeli kebutuhan makan, daripada membeli buku.
Dari hal itu, Cantika ingin memulai praktik baik dari dirinya yang berasal dari kalangan bawah, anak yatim dengan seorang ibu, yang hanya seorang buruh serabutan.
Hingga gerakannya sering ditanggapi miring. Namun, hatinya bertekad kuat. Suatu praktik baik, tidak harus menunggu mapan, dewasa atau berkecukupan secara materi. Niatnya dalam berbagi praktik baik sangat kuat.
Komunitasnya berjalan dari dana pribadi, yang didapatkan dari hadiah lomba-lomba, atau 10% dari santunan, yang sering didapatkannya.
Cantika trus melakukannya selama bertahun-tahun, dan komunitasnya terus berkembang. Susah senang, jatuh bangun dan pahit manis selama menjadi pegiat literasi cilik, sudah dialami dan dinikmatinya dengan ikhlas.
Beberapa kali, dia sering dimanfaatkan orang dewasa, mencari keuntungan darinya. Bahkan dia pernah tertipu link, yang menguras tabungannya.
Cantika bergeming dari tujuan tulusnya. Dia yakin ada rencana Tuhan di balik semua itu.
"Kalo kamu lelah, ya tinggal aja!" ujar sang mama pengertian.
"Tidak, Ma!" sahut Cantika sambil menghela napas, "musibah ini kita harus hadapi bersama, bismillah!" katanya sambil merapikan mukena.
"Kita berangkat jam berapa?" tanya Cantika lesu.
"Pagi saja, agar kita tidak gedebugan di jalan!" sahut sang mama, yang langsung menunaikan shalat.
Mess tempat mereka menumpang tinggal, sangat sempit. Hingga untuk shalatpun, harus bergantian.
"Jam 07.00, kita berangkat?" tanya Cantika setelah dilihatnya sang mama selesai shalat.
Mamanya mengangguk. Mereka masih merasa lelah sekali. Namun musibah kehilangan dana, karena link penipuan, membuat mereka, memaksakan tubuhnya untuk ekstra bekerja.
"Mengapa ada orang mampu mencuri dari anak yatim, ya?" keluh Cantika sambil berganti baju.
Wajahnya muram dan tidak bersemangat untuk pergi.
"Mungkin Allah menegur lewat itu!" sahut sang ibu lesu.
Pagi itu, mereka gegas berjalan ke halte terdekat. Menaiki Jaklinko, yang untungnya masih gratis. Tak ada uang sepeserpun. Bahkan sang mama puasa, agar Cantika dan adiknya bisa makan.
Akhirnya Jaklinko pun tiba dan mereka segera naik. Sang adik yang sering mabuk, langsung terkulai di pangkuan sang ibu.
"Adik kelihatan lelah!" gumam Cantika pelan.
"Hmmm," gumam ibunya lebih pelan.
Di suatu halte, tampak seorang gadis naik bersama ibunya. Gadis itu memiliki wajah yang special. Namun senyum di bibirnya selalu terkembang manis.
"Halo Ibuuu...!" sapa gadis kecil itu ramah.
"Halooo...!" sahut Mama Cantika spontan.
Ada gelenyar  kebahagiaan yang meliputi angkutan umum itu. Aura gadis special itu seakan menular.
"Halo, Kakak Cantik!" sapa gadis itu riang kepada Cantika.
"Halo, Ipeh!" sahut Cantika tak kalah riang.
Cantika menyambut salam tangan Ipeh. Ada perasaan hangat menelusup ke hati.
"Kakak Cantik mau ke mana?" tanya Ipeh riang.
"Mau naik kereta!" sahut Cantika.
"Asyik, naik kereta! Ke Bogor?"
"Iya!"
Terjadi percakapan hangat antara Cantika dan Ipeh. Hingga kemudian Mama Ipeh mengajaknya turun.
"Bye, Kakak Cantik, Ibuu...! Sehat dan selalu bahagia, ya!" ujar Ipeh sebelum turun.
Gadis special itupun mencium tangan Cantika dan sang mama. Ipeh sudah turun, tapi aura kebahagiaannya masih tertinggal.
Keceriaannya menular ke Cantika dan sang mama. Bahkan penumpang yang kebanyakan membisu dengan wajah lelahnya, kini tersenyum.
Ipeh murid di sekolah luar biasa. Terkenal sangat ramah dan juga sangat ceria. Cantika tersentak kaget dan menggenggam tangan sang mama.
"Ma, Ipeh memberi kita pelajaran berharga!" bisik Cantika dengan tersenyum lebar, "dia sudah turun dari tadi, tapi aura kebahagiaan yang ditinggalkannya masih begitu kental. Lihat wajah mama merona dengan kebahagiaan, begitu juga aku! Hanya seperti itu, looh! Menyapa dengan bahagia, cukup menstimulus energi positif kita!" ujar Cantika semangat.
"Yah, kita harus seperti itu! Walau lelah, sedih dan kecewa berat, kalo kita hadapi dengan ceria, semua akan terasa baik, dan energi positif akan membuat kita semangat!" sahut sang mama sambil mengusap punggung Cantika lembut.
Mereka memang mengenal Ipeh, Seorang gadis special yang datang di acara komunitas. Banyak anggota komunitas awalnya tak ingin berteman dengan Ipeh.
Namun, gadis itu tetap ramah dan ceria. Hingga kini gadis itu selalu disambut dan ditunggu. Keceriaannya selalu membuat keadaan di sekitar berubah drastis.
Ipeh, itu namanya. Gadis pengidap down syndrom. Dia mengalami penolakan dari keluarga dan lingkungan. Namun, dia tetap menjadi dirinya sendiri. Dia tetap ramah kepada setiap orang. Hingga orang-orang menyukainya.
Seperti hari itu, Cantika berangkat ke tempat kegiatan komunitas dengan semangat membara setelah bertemu dengan Ipeh, si gadis ceria.
Jakarta, 16 Oktober 2024.