Langit sore mulai temaram ketika saya melangkah masuk ke sebuah supermarket megah di pusat kota Malang. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambut, membawa aroma yang begitu berbeda dari hiruk-pikuk pasar tradisional. Rak-rak tersusun rapi, penuh dengan warna-warni buah-buahan yang mengkilap di bawah cahaya lampu. Saya berhenti sejenak, memandang deretan apel merah sempurna dan jeruk yang mengkilap seperti lilin, serta anggur tanpa biji dengan label shine muscat impor yang tersusun dalam kotak plastik. Semuanya tampak begitu indah, namun ada sesuatu yang terasa salah. Dimana buah lokal? Pernahkah Anda mencicipi manisnya buah kesemek dengan tekstur lembut di lidah atau merasakan segarnya mangga kweni dengan aromanya yang khas? Buah-buahan lokal seperti ini dulu bak primadona berjajar rapi di keranjang rotan mewarnai pasar-pasar tradisional. Namun, kini mereka kian menghilang, seolah terlupakan dari ingatan masyarakat. Supermarket dengan gemerlap lampu dan lemari pendingin modern kini mendominasi preferensi masyarakat khususnya di wilayah urban. Buah impor seperti apel Fuji dari Jepang, anggur California, hingga pir hijau dari Tiongkok memikat hati pembeli dengan warna cerah dan ukuran yang seragam. Namun jika kita perimbangkan lagi, Siapa yang tidak tergoda dengan lemari pendingin yang menampilkan apel merah berkilau memantulkan cahaya lampu, lengkap dengan label "premium"? Ditambah lagi, masyarakat mengasosiasikan buah buahan impor dengan kualitas superior lebih manis, lebih tahan lama, dan tentu saja, lebih menarik secara visual.
KEMBALI KE ARTIKEL