Analisis ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari sumber-sumber resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, serta laporan dari lembaga penelitian dan analis pasar. Data yang digunakan mencakup nilai tukar, cadangan devisa, kinerja ekspor, dan faktor-faktor makroekonomi lainnya.
1. Penurunan Nilai Tukar Rupiah
Pada tanggal 9 Desember 2024, nilai tukar rupiah ditutup pada angka 15.876 per Dolar AS, mengalami penurunan sebesar 22 poin atau setara dengan minus 0,14 persen dibandingkan dengan penutupan sebelumnya. Penurunan ini juga terlihat pada mata uang Asia lainnya seperti yuan China (-0,05%), ringgit Malaysia (-0,11%), yen Jepang (-0,25%), peso Filipina (-0,45%), dan won Korea Selatan (-0,77%). Sebaliknya, beberapa mata uang seperti Dolar Hong Kong (+0,02%), Dolar Singapura (+0,15%), dan baht Thailand (+0,65%) mengalami penguatan.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar
a. Cadangan Devisa dan Utang Luar Negeri
Cadangan devisa Indonesia pada bulan November 2024 tercatat sebesar 150,2 miliar USD, mengalami sedikit penurunan dari bulan sebelumnya akibat pembayaran utang luar negeri pemerintah. Meskipun demikian, posisi cadangan devisa masih dianggap memadai untuk mendukung stabilitas makroekonomi. Ekonom senior di Bank Mandiri menyatakan bahwa "Penurunan cadangan devisa ini menunjukkan perlunya pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan utang luar negeri agar tidak mengganggu stabilitas nilai tukar."
b. Kinerja Ekspor dan Arus Modal Asing
Kinerja ekspor Indonesia tetap stabil meskipun terjadi pelemahan nilai tukar. Persepsi positif investor terhadap perekonomian Indonesia serta imbal hasil investasi yang menarik menjadi faktor penopang surplus transaksi modal dan finansial. Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), "Kinerja ekspor yang baik menunjukkan daya saing produk Indonesia di pasar global meskipun ada tantangan dari fluktuasi nilai tukar."
c. Persaingan Global
Kenaikan nilai Dolar AS dipicu oleh ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) kemungkinan akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama dari yang diperkirakan. Perlambatan ekonomi di China---salah satu mitra dagang utama Indonesia---berkontribusi pada dampak negatif terhadap mata uang regional termasuk rupiah. Analis pasar dari UBS menekankan bahwa "Perlambatan ekonomi China dapat menyebabkan penurunan permintaan terhadap komoditas yang diekspor Indonesia."