Dalam hermeneutika radikal, Derrida menolak ide bahwa ada makna yang tetap dan pasti dalam teks atau bahasa. Ia berpendapat bahwa bahasa memiliki sifat yang ambigu dan tidak stabil, sehingga tidak mungkin untuk mencapai pemahaman yang pasti dan definitif. Derrida menekankan bahwa bahasa selalu terbuka untuk interpretasi yang beragam dan tidak ada interpretasi yang benar atau salah.
Dalam dekonstruksi, Derrida mengungkapkan bagaimana teks-teks dan bahasa-bahasa mengandung paradoks, kontradiksi, dan ketidakstabilan internal. Ia menyoroti adanya hierarki, oposisi, dan dualitas dalam bahasa yang mempengaruhi cara kita memahami dan memberikan makna pada teks. Derrida menunjukkan bagaimana bahasa dan teks selalu terjebak dalam permainan tanda dan makna yang tidak pernah selesai.
Dalam hermeneutika radikal, Derrida juga menekankan pentingnya konteks dalam interpretasi. Ia berpendapat bahwa makna sebuah teks tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks sosial, budaya, dan sejarahnya. Derrida menunjukkan bahwa konteks-konteks ini mempengaruhi cara kita membaca dan memberikan makna pada teks.
Dengan pendekatan hermeneutika radikalnya, Derrida mengajak kita untuk mempertanyakan otoritas dan kepastian dalam interpretasi. Ia menantang pandangan bahwa ada satu pemahaman yang benar dan mengajak kita untuk mengakui keragaman interpretasi yang mungkin terjadi. Dalam dekonstruksi, Derrida mengajak kita untuk melihat teks dan bahasa dengan kritis, mengungkap paradoks dan ketidakstabilan yang terkandung di dalamnya, serta mempertanyakan asumsi-asumsi yang mendasari interpretasi kita.
Namun, penting untuk dicatat bahwa pemahaman terhadap teori Derrida dan hermeneutika radikal ini sangat kompleks dan kontroversial. Banyak interpretasi dan kritik yang berbeda terhadap pemikirannya, dan ada perdebatan yang berkelanjutan dalam dunia akademik tentang signifikansi dan implikasi dari dekonstruksi.