Seluruh rajutan kisah yang berlanjut hingga kini menenggelamkan aku dalam sebuah perenungan. Tentang apa? Tentang betapa airmataku kubendung dari sejak aku bangun pagi hingga sepanjang hari ini. Tentang rasa cinta. Cinta yang semakin pudar dan dilupakan.
Cinta terhadap dunia yang sejak lahir diperkenalkan dan dirasakan atmosfernya. Indonesia.
Ketika cinta dikalahkan oleh nafsu terhadap kekuasaan, uang dan kepentingan pribadi. Sejarah menjadi murah, kenangan masa kecil menjadi tulang semata yang mesti dikubur kemudian ditinggalkan. Saat ini apa yang di depan mata, lakukan saja! Mumpung bisa, mumpung ada kesempatan! Tidak usah memikirkan kepentingan orang lain! Tidak usah memikirkan tangisan orang-orang cengeng diluar sana, hidup adalah perjuangan! Yang berjuang maka dia berhak untuk hidup! Tidak usah mengenang kejadian masa-masa pahit, buang saja semua itu. Negeri mimpi di depan mata. Mari jebol gerbangnya kemudian jadi orang yang senang di dalamnya! Semua orang berpeluang untuk menjadi raja!
Hidup adalah perjuangan, memang! Namun sadarkah ketika satu orang berpikir seperti itu, satu kelompok hingga satu bangsa terancam eksistensinya. Ketika sekelompok orang berpikir seperti itu pemberontakan bangkit dan penderitaan semakin tak terelakkan. Mereka bilang itu berkorban.
Tidak ada yang abadi, kata orang bijak. Ya, memang tidak ada yang abadi dan lebih baik jangan menjadikan abadi apapun di dunia ini. Keabadian kerap mengundang rasa berlebihan yang haus akan hak. Hak berbuat hal yang sekilas meneruskan perjuangan. Namun ada pula pepatah yang berkata ada udang di balik batu, bukan? Picik? Hanya berhati-hati. Mencoba berpikir terbuka terhadap segala kemungkinan. Cuma itu. Tidak hanya persoalan darah, persoalan rasa piutang yang besar karena merasa ikut berjuang dalam salah satu atau dua kejadian bersejarah. Sementara itu, pikiran-pikiran yang terbesit di tepian sungai adalah seputar betapa bangsa dan negara ini kejam tiada memikirkan eksistensi. Sementara berpikir, tangan mereka terus menengadah, berharap langit akan segera menangis dan berlembut hati.
Dimana rasa kemerdekaan yang semestinya kita rasakan bersama itu? Jangan-jangan kemerdekaan itu hanya sebuah kata yang dimasukkan dalam otak kita, mengalir bersama seluruh arus kehidupan kita, menjadi kebiasaan dan akhirnya hanya disebutkan dan diingat pada tanggal 17 Agustus berhubung pasti banyak merah putih yang berkibar dan pidato-pidato menggelegar membicarakan tentang kemerdekaan itu sendiri!!!! Ironis! 65 tahun dan kemerdekaan hanya berupa kata? Jika begitu kita hapuskan saja kata merdeka dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jangan ingat-ingat lagi, kita masih bangsa, bukan?
Orang bilang kita belum benar-benar merdeka. Kemiskinan masih di sana-sini, kebodohan masih merajalela, ketamakan kian meluap, dan KKN semakin dicintai. Lalu mengapa mengumbar kita bangsa yang merdeka jika itu parameternya dan mengumbar kata merdeka?
Semakin hari semakin terasa berada di antara sepasang adik-kakak yang sedang bertengkar. Yang satu berkata pada ibunya, "kakak tidak berlaku sebagai kakak! Dia tidak pernah berusaha melindungiku, dia tidak pernah menganggapku ada! Dia tidak pernah mencintaiku! Kalau saja bisa aku memilih keluargaku, aku pasti memilih keluarga yang penuh cinta, memperhatikan kepentinganku kemudian pasti aku akan membalasnya dengan bekerja keras dan mendukung segala aspek kehidupan kakak!". Sedangkan sang kakak, "mengapa kau cengeng sekali sih, dik? Kenapa tidak mencoba lebih keras? Ya sudah, jangan menangis! Aku sibuk sekali nih, pekerjaanku tidak bisa menunggu. Nanti karirku tidak naik-naik kalau mengurusimu terus."
Sebegitu sulitkah rasa solidaritas? Rasa tenggang rasa? Rasa berbagi yang senantiasa diajarkan kepada kita sejak kecil? Kita keluarga! Keluarga besar!!! Seberapa sulit merasa sebagai satu keluarga besar? Semua orang memiliki keluarga, bukan? Mengerti betul bukan, rasanya disayangi dan dilindungi sebagai suatu keluarga? Mengapa tidak mulai mengerti itu?
Baru setelah kita merasa saling menyayangi, merasa sebagai satu keluarga besar, rasa kemerdekaan itu akan datang dengan sendirinya. Merasa merdeka di dalam keluarga sendiri. Betapa menyenangkan! Tidak usah sibuk menyalahkan sanak keluarga yang memang bertugas mengatur keluarga besar ini agar tetap teratur. Aku percaya keluargaku! Aku tidak mau merugikan keluargaku sendiri dengan mencintai diriku sendiri! Aku ingin merenovasi rumahku kembali, menghiasinya dengan perabot-perabot indah buatan sanak keluargaku yang lihai dalam berkarya. Aku ingin membuat rumahku menjadi lebih nyaman, hangat. Aku ingin lebih positif, mengeluarkan energi yang lebih baik lagi untuk menghidupkan suasana rumahku ini.
Saat eksistensi kita telah diakui di antara tetangga dan keluarga lain, mengapa masih berusaha menjilat keluarga lain untuk mendapat perhatian? Ajak keluarga kita untuk belajar keluar juga! Ajak kami di hatimu saat punya kesempatan bersosialisasi keluar.. Jangan lupa pulang! Jangan lupa oleh-oleh yang berharga!
Seisi rumah saat ini sedang berulang tahun. Namun betapa airmataku tiada henti, melihat adik dan kakak yang tiada juga berhenti berseteru? Rumah yang dibangun dengan susah payah dan air mata darah ini semakin dilupakan dan setiap orang mulai membangun rumahnya sendiri, di atas rumah keluarga kita sendiri!!
Aku mau rumahku, rumah keluargaku, keutuhan keluargaku!