"Hai Boy!" sapa Diana, teman SD ku yang banyak disukai kalangan pria se... ehm satu jurusanku. Tenang kok kakak yang alim tapi sayang Diana lebih memilih pria cool yang jago angkat gym di tempat fitness. Diana itu sahabat karibku dan tetangga sebelah rumah. Orangtuanya pekerja keras dan kaya raya, hidup Diana terpenuhi. Abinya sayang sekali padaku dan gemar masak sepertiku.
Diana, dia itu kukenal baik, tegas, dan santun. Tapi di kalangan pria yang suka dia, kok agak seram ya.
"Hi, she so sexy yeah!"
"I like her body!"
"Diana, kamu kocak!" baru bicara Di sudah tertawa sobat.
"Apa sih, aku tidak sengaja sentuh dadanya tahu!"
"Ih... tapi kan beda 7 tahun... mau apa nih Di, karate ya!"
"Ah...!"
"Ish, aku bayangkannya kamu tuh..."
"Ayolah!"
Diana menurut kalangan pria orangnya alim, shaleha, pintar, rajin olahraga, dan pandai memuji pria. Ye... namanya juga Diana.
Pria itu tak kusangka adalah murid baru teman sebangkuku. Orangnya bidang dan sayang wanita dan ia jatuh cinta dengan Diana hanya karena tutur baik dan mau menolongnya ketika lagi...
Hm...
Tidak kuat melawan pria yang kurang ajar dengannya.
"Hai Di, selamat ya!"
"Boy, selamat ya dapat medali emas karya ilmiah remaja!"
"Iya, badan kamu tambah kekar ya!" jawabku becanda sambil meninju lembut dadanya.
Teman-temanku wajar sih, seusiaku, ya lagi masa percintaan remaja dimana-mana tapi sudah berkali-kali menikah. Berbeda dengan Diana yang akhirnya memantapkan hati untuk menikah dengan kawan sebangkuku.
Masa TK sampai SMA sekarang ku penuhi dengan berteman sehat, berpikir jernih, jadi kutu buku, hingga mengukir prestasi baik sendiri maupun berkelompok.
Hm... perlu kalian ketahui, mulai usia 8 tahun, aku memutuskan untuk kuliah dengan jurusan yang nyambung dengan cita-citaku. Dan mainanku dulu bukan sebuah boneka atau robot atau congklak dan lain melainkan...
Mainan dokter-dokteran hasil permainan pancingan untuk anak kecil di mal. "Boy pintar!" ucap ayah kala itu sambil mengelus kepalaku.
Hari ini aku harus kuliah di luar kota usai pulang sekolah. Pas juga sih ini hari ketiga wisata keluarga bersama keluarga Diana. "Akbar, kamu tampan deh!" Diana tidur di dadanya itu. "Kamu cantik!" jawabnya. Oh, baik. "Eh kocak, ayo bareng aku!" ucapku sambil menawarkan jok belakang motorku. Katanya Akbar mau naik mobil bareng teman-temannya.
"Eh Boy, katanya Kendra sudah menikah dengan saudara sepupumu?"
"Iya Neng!" Diana tertawa.
"Wah, kamu bawa medali lagi!"
"Iya nih, Ibu Rona ada-ada saja, masa bawa pulang medali. You kan tahu I paling mau tolak medali, mending bawa pulang piagamnya...." Diana tertawa lagi.
Akhirnya sampai di kota. "Boy, aku ada program di kampus Airlangga, kamu kemana?" , "Oh, mau menghindar dari you, tidak becanda, sudah denganku yuk!" , "Yee!" langsung ku tinju kepalanya.
"Bagaimana Boy, kamu kenapa jadi main stetoskop nih!" Pak Reza, dosen jurusanku sangat gemas pada wajah dan prestasiku. Ia mengelus kepalaku. "Hm... Pak, aku suka stetoskopnya, betulan stetoskop dokter. Oh, tadi aku mau periksa denyut jantung kakak yang tadi duduk disini. Dia semester 7 Pak!"
"Iya terus sempat-sempatnya cubit pipi unyu kamu!"
"Pak Reza, ih Boy, periksa jantung Kakak dong!!!" aku tertawa lihat kakak kampus itu.
Tak lama, jantungku diserang penyakit jantungan, aku pingsan. Hm, pas sih sudah pulang kuliah.
Aku dirawat di rumah sakit karena penyakitku masih di luar organ tubuhku. Segera ku ganti status kelas karyawan menjadi kuliah online. Aku menitikkan air mata.
"Rabb, Boy sudah lama lulus dari jurusan-jurusan yang sesuai cita-citaku. Tapi belum pernah kerja di tempat itu. Tapi banyak halangannya Rabb, Boy tak tahu apakah jiwa ini masih mampu bangkit!" aku memiliki beberapa kakak kampus di jurusan sama yang sudah ku anggap teman. Ah, lucu juga mereka menemaniku 3 hari.
"Iya Ma, Boy masuk rumah sakit!!!" sedih Kak Jihan di telepon pada mamanya, kakak paling berpikir dewasa di antara kami dan yang paling... suka katak.
"Boy, you lama-lama Kakak bawa ke rumah nih!" lucu Kak Firhan.
"Apa sih Han, giliran unyu seperti Boy you perjuangkan ia sampai menginjak rumahmu. Itu tetangga rumah apa dong!"
Aku sembuh dari sakitku dan alhamdulillah lulus dengan IPK di atas rata-rata. Seminggu setelah itu aku dipanggil kerja sebagai pengurus hewan di klinik hewan dekat sekolah.
Dua tahun kemudian, aku memutuskan untuk tinggal sendiri di desa terpencil dan diterima di kampus unggulan. Ya, aku merasa jadi mahasiswa betulan di mata keluarga. Aku satu jurusan dengan Diana dan Akbar namun mereka sudah sibuk berkeluarga. Umurku kini 20 tahun, aku tak menyangka banyak rumah sakit yang menyepakati diriku harus ditempatkan dimana. Stetoskop, aku bahkan tak tahu apakah tiap tahun umurku sempat melaksanakan profesi menyelamatkan jiwa orang.
"Dik!" sapa dokter perempuan. Ia cantik, aku suka. Ia juga ramah dan tadi bersama adik yang umurnya 8 tahun, kata adiknya sendiri. "Nama kakak Fasha, kamu Ahmad Boy Sudirman? Pemimpin sudah lihat IPK mu, wow, spektakuler, alhamdulillah kamu diterima jadi dokter di rumah sakit yang diharapkan seluruh warga negara!" apa? Wah, aku mengagumi rumah sakit itu.
"Betul Kak Fasha, wah, terima kasih!" aku menandatangi kertas kerja.
"Gejala penyakit Ibu apa?" ya sekarang aku sering mengatakan itu dan stetoskopku terkabul di usia 20 tahun.
SELESAI