Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ketangguhan Ibrahim yang Ringkih di Hadapan Penguasa Rezim

30 Juli 2021   22:26 Diperbarui: 30 Juli 2021   23:01 84 1
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," dia berkata, "Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata, "Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat." Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim." (QS. Al-Baqarah-02: 258).

Perangkat kekuasaan Namrudz bekerja secara aktif. Terutama untuk mengamankan ideologi negara. Nuansa syirik merambah ke dalam setiap sektor tata kelola negara dan layanan pemerintahan. Tentu saja hal ini mudah dimaklumi, karena negara harus aman, dan stabilitas pemerintahan mesti terjaga. Segenap perangkat sistem dan sumberdaya manusia harus mengutuhkan dukungannya.

Control and monitoring system kian ketat. Khususnya respons terhadap perkembangan ideologi. Terutama setelah menganalisis fenomena kehidupan sosial keagamaan. Database pergerakan Ibrahim a.s. tidak susah dipantau. Selain karena agenda kegiatan Ibrahim a.s. serba terbuka, juga karena intensitas kegiatan dan densitas populasi Babilonia masih rendah. Tidak mesti repot dalam mengintai, sebagaimana dibutuhkannya penggunaan aplikasi jaringan teknologi Big Data saat ini. Apalagi penghampiran operasional mirip Data Mining Anaysis, sangatlah tidak penting. 'Gak level' , kata anak milenial generasi Z.

Geliat program syi'ar Ibrahim a.s. sangat mudah diketahui. Apalagi oleh petugas negara, yang pantauannya aktif, sistematis, terpadu, dan menyeluruh. Apatah lagi didukung satuan organik pasukan perintis yang bukan hanya sangat setia, tapi juga profesional mengamankan ideologi negara. Barisan intelijen strategis, apalagi. Selalu mengkoordinasikan data real time kondisi terkini. Singkat cerita, identifikasi sosok Penebar Ajaran Tauhid itu ekstra komplit dalam file istana rezim.

Termasuk aktivitas berkelanjutan yang dikembangkannya. Interaksi sosial dengan komunitas publik, dan kemudian  penegasan misi di  keluarganya. Istana begitu sadar, kalau Ibrahim a.s. bukan pemuda biasa. Selain tegar dan ulet, juga sangat fasih mengembangkan logika narasi dan melesatkan argumentasi. Karena itu, Namrudz selaku Pemimpin Negara dan Kepala Pemerintahan tidak ingin diwakili. Tidak berpikir menugaskan menteri manapun. Sang Raja ingin menemui langsung Sang Pemuda Tauhid itu.

Bagai sebuah Talk Show di panggung terbuka. Namrudz menemui Ibrahim a.s. di tempat yang ditetapkan. Perhelatan monumental digelar. Tema besar diusung, mempertaruhkan eksistensi negara dan sekaligus kualitas pemimpinnya. Debat ideologi politik yang tanpa sadar mempertontonkan arogansi kekuasaan. Walau sedikit lebih bermartabat ketimbang penguasa pada umumnya, karena Namrudz bersedia terlibat dalam Dialog Teologi filosofis dengan menyandingkan argumentasi.

Layaknya negara eksis dan penguasa powerful, Namrudz tidak datang sendiri. Dia dikawal oleh Pasukan Pengamanan Raja (Paspamra) selaku tim skuad ajudan khusus. Pemimpin dan ikon syirik itu langsung menohok dengan pertanyaan tendensius berbasis data intelijen terverifikasi:
"Ibrahim, Siapakah Tuhanmu?"
"Tuhanku adalah yang menghidupkan dan yang mematikan", tukas Ibrahim a.s.
Namrudz lalu memerintahkan segera menangkap orang yang sedang melintas di sekitar venue festival kenegaraan itu. "Siap !!!", respons Paspamra yang siaga satu. Di depan Ibrahim a.s., Si Raja syirik mencekik leher orang yang dihadirkan oleh ajudannya. Orang itu mati berdiri, sebagai justifikasi atas arogansi penguasa, yang bermaksud memenuhi kriteria otoritas Tuhan yang disebutkan Ibrahim a.s.

Tanpa melwatkan waktu, dengan sigap Ibrahim a.s. melesatkan argumen pamungkasnya. "Tuhanku adala Allah, yang menerbitkan matahari di timur. Kalau Tuan mampu, silakan terbitkan dari barat !." Namrudz terdiam seribu bahasa. Wajahnya pucat pasi tanpa ekspresi, kecuali planga-plongo dibalut ambisi dan arogansi kuasa. Dengan argumen rasional-filosofis itu, sungguh Ibrahim a.s. telah mendaratkan pukulan "Knock Out" di kepala jawara istana itu. Seolah berkata: "Hai Namrudz, Anda bukan Tuhan!." Raja Babilonia itu telah melakukan "Kebohongan Teologis", yang sekian lama dijadikan acuan fundamental rekayasa keberagamaan bermuatan kemusyrikan nasional.

Kepada Muhammad Saw., Rasul Pamungkas, dan kita semua, Allah SWT. menitipkan ayat di atas. Bahwa Sang Raja yang arogan itu telah melakukan minimal dua kesalahan simultan. Pertama, menganggurkan akal sehatnya, sehingga ia menutup diri dan memasung kejujurannya dengan menolak kebenaran tanpa reserve (Kafir). Kedua, dia berbohong dalam singgasana kekuasaannya. Bahkan membohongi dirinya sendiri. Dia tahu kebenaran, tapi mengabaikannya (zhalim), karena dominasi syahwat kuasa sebagai panglima.

Dalam konteks yang demikian, Ibrahim a.s. memberikan contoh. Bahwa kebenaran Tauhid bukan sekedar narasi personal yang hanya terbingkai dalam keyakinan individual. Namun, lebih dari itu, Prinsip Tauhid adalah hujjah universal, narasi intelektual sosial yang menopang literasi peradaban insan bermartabat. Makanya, pegiat kemaslahatan selaku penyeru kebenaran harus selalu siap tarung ke gelanggang. Termasuk ketika harus berdialog dalam setting Teologi Politik berbasis Filsafat Kekuasaan, dengan Punggawa Istana sekalipun.

Ibrahim a.s. tampil melakukan afirmasi jurus pengawal pencerahan dengan kualifikasi personal yang tangguh. Keteguhan keyakinan akan kebenaran tidaklah cukup, karena masih dibutuhkan Keberanian dan Kecerdasan. Karenanya, untuk mengusung kebenaran universal, tidak boleh merasa puas hanya karena sudah fasih dengan nash yang qath'i, tapi juga perlu menguasai jurus filosofis, hikmah Islam, yang sangat signifikan dalam konteks argumentasi legitimatif. Toleransi itu mulia, karena mengaktifvasi saling pengertian dalam eksistensi perbedaan. Tapi tidak berarti harus membungkam visi Kebenaran Tauhid, hanya karena ada pihak lain yang berbeda. Pengutuban (polarisasi) nilai terkadang dibutuhkan, terutama ketika warna pendirian dan Prinsip Hidup dikitari spekulasi dan inkonsistensi. Ibrahim a.s. telah menegaskan Kutub Ideologi-nya. Dalam konteks relasi rakyat versus negara. Tauhid, bukan syirik.

Ibrahim a.s. tampak begitu piawai dalam memilih diksi dan menggunakan terminologi. Istilah Tuhan dia hadirkan dengan logika deduktif (Rab kemudian Allah). Namun, ciri dan sifat kuasanya dipaparkan dengan fakta logika induktif (Tuhan itu, yang menetapkan tempat dan proses terbitnya matahari. Jika tidak mampu, maka pasti bukan Tuhan). Namrudz begitu bersemangat menemui Ibrahim a.s., karena dia yakin bahwa di situlah kiprah Ibrahim a.s. akan berakhir. Kemudian akan disiarkan sebagai headline berita utama nasional. Bahwa Ibrahim a.s. adalah penganut aliran sesat, dan penebar berita hoax. Namun ternyata, sebaliknya. Namrudz-lah yang demikian. Hidup tanpa legitimasi keberagamaan yang memadai. Dia memang di istana kerajaan. Itu bukan karena pendiriannya yang benar, tapi lebih karena dukungan komunitas yang sangat menggantungkan kehidupannya pada insentif kekuasaan.

Getar nurani mesti terunggah di lini masa. Setelah mengorbankan hewan, bisakah eksis lebih manusiawi dengan martabat insani??? Anda adalah apa yang anda yakini. Harkat manusia adalah nilai yang ditunaikan. You are is your faith; you are is what you do !!!. Olehnya itu, Kutub Ideologi adalah sebuah keniscayaan.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun