Perayaan Konferensi Asia-Afrika ke 60 yang lalu memang menyisakan banyak cerita, baik bagi peserta konferensi, tim relawan, partisipan acara maupun warga Bandung serta turis yang menyaksikan bagaimana perhelatan akbar tersebut terjadi. Sebagai salah satu ajang internasional yang mencuat sebagai salah satu event Indonesia Travel, cerita yang tersisa pun tak hanya cerita yang indah, namun cerita mengenai kritik tentang acara juga masih saja dibahas. Mungkin karena orang Indonesia masih tenggelam dalam euforia acara ini, Walikota Bandung tersayang, Pak Ridwan Kamil atau Kang Emil sudah mengajak orang-orang untuk segera move-on. Ajakan yang benar, karena terlarut-larut dalam euforia hanya akan membuat kita terlena dan melupakan hal penting lain yang seharusnya dipikirkan dan dicari jalan keluarnya.
Mengamati keriaan orang-orang baik menjelang, selama ataupun sesudah perayaan KAA ke-60 ini, ternyata ada hal yang menarik. Rupanya, banyak sekali kejadian-kejadian yang berkaitan dengan perayaan KAA ke-60 ini karena “ulah” orang Indonesia. Ya, sikap orang Indonesia ini tak sedikit yang membuat tertawa, ataupun mengelus dada, atau bahkan dapat dijadikan bahan renungan dan introspeksi diri. Yang jelas, ulah-ulah ini seringkali akan membuat orang-orang berujar, “Duh, dasar orang Indonesia!” Mari kita kilas balik sejenak dan membahas tujuh “ulah” apa saja yang membuat orang-orang harus berujar, “Dasar orang Indonesia!” selama perayaan KAA ke-60 2015 ini berlangsung.
Dasar orang Indonesia, sukanya jadi deadliners!
Tentu semua orang tahu definisi mengenai deadliners: mengerjakan sesuatu hinga mepet-mepet dengan batas waktu yang telah ditentukan(bahkan sampai tepat batas waktu). Lalu kenapa hal ini dibahas? Rupanya, menurut Kang Emil, persiapan perhelatan internasional ini hanya diberi waktu 2 bulan oleh bapak Presiden kita. Bayangkan, dalam waktu 2 bulan, kota Bandung harus segera membenahi diri untuk menerima tamu-tamu dari negara asing dan mempersiapkan acara apa saja yang harus diadakan selama perayaan KAA ke-60 ini. Karena instruksi presiden yang baru turun ini, Kang Emil dan timnya langsung memikirkan berbagai cara, apalagi dana yang seharusnya digunakan untuk perayaan ini tak kunjung turun.
Waktu yang sangat singkat itu langsung digunakan untuk merombak dan mempercantik kota Bandung, berusaha mengembalikan status kota Bandung sebagai kota Paris van Java. 2 minggu menjelang perayaan, semua infrastruktur yang dirombak masih belum saja selesai. Jembatan penyeberangan di jalan Asia Afrika belum selesai direnovasi, taman baru di dekat Jl. Merdeka juga tak kunjung jadi. 8 hari menjelang, hiasan yang ada belum terpasang sepenuhnya sehingga belum terlihat cantik. Sempat muncul juga di pikiran: Wah, ini bakal siap pas hari H atau tidak ya? Untungnya, tepat beberapa hari sebelum perayaan KAA (sekitar 3-4 hari sebelum), kursi dan bola batu yang menghiasi area KAA telah selesai dipasang, taman dan monumen yang juga sudah selesai direnovasi. Warga pun bisa menikmati sneak-peek lingkungan yang akan digunakan untuk perayaan akbar tersebut.
Maka, seharusnya kita memberikan apresiasi penuh kepada Kang Emil dan seluruh tim yang terlibat di dalamnya. Mempersiapkan semua hal agar kota Bandung menjadi pantas untuk menyambut tamu negara asing bukanlah sesuatu yang mudah, namun mereka berhasil membuktikan itu semua dapat terjadi. Kota Bandung menjadi cantik, perayaan berjalan dengan lancar, dan warga pun menikmati semua fasilitas baru yang ada.
Dasar orang Indonesia, sukanya foto-foto!
Tentu pembaca tahu dengan budaya orang Indonesia yang satu ini. Ada makanan enak, difoto. Ada bunga cantik, difoto. Ada hal-hal baru, difoto. Apalagi jika ada orang-orang berpenampilan “menawan” (silakan pembaca artikan sendiri) yang berada di dekat objek yang ingin difoto ini, wah, sungguh kombinasi yang luar biasa! Budaya selfie ini sangat terasa ketika persiapan perayaan KAA sudah 90% dan selama perayaan. Ketika Jl. Asia Afrika dan sekitarnya ditutup untuk pertama kalinya, jalanan yang biasanya penuh dengan kendaraan yang melintas mendadak menjadi sepi. Momen ini tentunya tidak akan dilewatkan oleh warga untuk berkunjung dan menikmati fasilitas umum yang baru. Dengan modal tongsis (tongkat narsis) atau kamera DSLR buat mereka yang memiliki modal lebih tinggi, semua benda yang ada langsung diabadikan. Ada bendera negara-negara Asia Afrika sedang berkibar? Ada kursi cantik dan bola bertuliskan nama negara-negara Asia Afrika? Ada monument Asia-Afrika dengan bola dunia besar? Pokoknya, jepret, jepret, jepret! Entah yang di”jepret” itu sebenarnya memang objek benda-benda itu, atau justru orang yang ingin berfoto dengan benda tersebut, atau justru wajah orang-orang yang menggerombol di depan kamera sampai menutupi pemandangan di belakangnya (nah loh, lalu apa gunanya foto kalo pemandangannya tidak kelihatan?)
Sayangnya, karena orang Indonesia ini mungkin terlalu fokus dengan hobi foto-fotonya, tak sedikit yang tidak mempedulikan lingkungan di sekitar ketika akan mengambil foto. Karena ingin mendapatkan angle yang bagus, tak sedikit warga yang akhirnya justru malah merusak infrastruktur yang sudah dipersiapkan dengan waktu singkat itu: mulai dari menaiki pot (hingga merusak tanaman di pot), menaiki kursi taman, memijaki tempat yang bisa dipijak seperti pinggiran jendela gedung Merdeka, bahkan sampai mencopot nama-nama negara dari monumen, mungkin agar foto tersebut lebih berkesan apabila orang yang difoto memegang nama-nama tersebut dengan kedua tangannya sendiri.
Dasar orang Indonesia, tidak suka melihat hal yang indah!
Ah, masa’ sih ada orang yang tidak suka melihat hal yang indah? Bukannya banyak orang Indonesia yang berpergian ke puncak gunung atau sampai pergi ke luar negeri untuk melihat pemandangan yang indah?
Hal-hal yang indah memang sebenarnya sangat enak untuk dinikmati, tapi entah kenapa orang Indonesia memiliki pemikiran yang lain. Memang tidak semua orang Indonesia berpikir demikian, namun ada-ada saja orang yang berpikir: hal ini terlalu indah sehingga harus aku rusak! Atau: hal ini terlalu indah sehingga harus aku miliki! Dampaknya? Ketika perayaan KAA ke-60 telah berakhir, kursi taman ada saja yang patah. Hiasan ada saja yang rusak. Bola batu ada saja yang hilang (padahal berat, tapi kenapa bisa hilang ya?). Bahkan payung berwarna-warni yang menghiasi daerah Pasar Baru juga diambil, meskipun tergantung jauh di atas sana. Hal yang paling nyata dan jelas dilihat: sampah berserakan dimana-mana! Meskipun sudah ada upaya dengan menghadirkan tim relawan Gerakan Pemungut Sampah dan tim kebersihan, tapi masih saja ada sampah yang berserakan di jalan raya. Apalagi kalau tidak ada tim-tim ini, bisa dipastikan sampah yang ada akan jauh lebih menumpuk dan berserakan.
Dasar orang Indonesia, sukanya update medsos!
Sebagai salah satu pengguna berbagai media sosial terbesar di dunia, orang Indonesia senang sekali mengupdate semua media sosial yang dimilikinya, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, hingga Path. Hal-hal yang di-update pun beragam, mulai dari foto-foto event yang terjadi, ujaran kebahagian hingga ujaran kekesalan. Loh, kenapa kekesalan juga harus diumbar? Rupanya, banyak yang beranggapan bahwa media sosial adalah platform untuk menyampaikan pendapat apapun dengan bahasa dan gaya yang apapun juga. Kritik-kritik pedas seringkali disampaikan kepada Kang Emil mengenai adanya kekurangan selama perayaan yang terjadi.
Berbicara mengenai ujaran kekesalan, ketika waktu itu tim relawan perayaan KAA terbentuk terjadi banyak sekali miskomunikasi dan info hoax yang tersebar. Akibatnya, tak sedikit yang mengeluh karena hal ini, bahkan waktu itu ada yang ingin membuat trending topic agar isu ini terdengar sampai pihak tertinggi, meskipun akhirnya dibatalkan karena, tentunya, tidak ada yang ingin perayaan KAA ini tercoreng namanya karena masalah-masalah seperti ini.
Update media sosial rupanya juga memberikan hal positif. Buktinya, dari media sosial orang-orang melaporkan kerusakan dan hal-hal aneh yang dibuat oleh orang Indonesia kepada Kang Emil, sehingga menimbulkan efek jera secara sosial (karena dapat di-bomb tweet oleh orang lain) dan dapat segera ditindaklanjuti, seperti diberi hukuman mengepel jalan Braga.
Dasar orang Indonesia, sukanya melawan aturan!
Aturan ada untuk dilanggar- mungkin ini adalah pikiran bawah sadar dari kebanyakan orang Indonesia.
Tentunya karena ini adalah sebuah perhelatan internasional, perlu ada aturan-aturan untuk menjaga fasilitas-fasilitas umum yang baru, di samping aturan-aturan yang lama. Rupanya, banyak orang yang berpikir bahwa jika ada acara besar, semua aturan tidak berlaku. Contohnya, alun-alun Bandung yang terbuat dari rumput sintetis itu pada akhirnya masih saja diinjak oleh orang-orang bersepatu dan bersandal, bukan dengan kaki telanjang. Peringatan jangan menaiki kursi dan pot juga diabaikan agar dapat menyaksikan karnaval yang sedang berlangsung. Tanda buanglah sampah pada tempatnya diartikan sebagai buanglah sampah dimana saja. Bahkan, aturan sederhana seperti tolong jangan melanggar batas yang diberikan oleh tim relawan juga tetap diabaikan, karena semua orang ingin menonton karnaval dalam jarak yang sedekat-dekatnya.
Padahal, semua orang juga sebenarnya tahu bahwa aturan itu ada agar semua dapat berjalan dengan tertib dan lancar. Jika alun-alun tidak diinjak dengan sepatu, maka alun-alun dapat bertahan lama dan tidak kotor. Jika tidak menaiki kursi, pot, dan hiasan lainnya, tentu akan bertahan lama. Jika membuang sampah pada tempat yang benar, yaitu tempat sampah, tentu jalanan akan menjadi lebih bersih dan nyaman. Jika tidak sampai melanggar batas, toh orang-orang juga tetap dapat menikmati karnaval yang sedang berjalan.
Lalu kenapa orang Indonesia masih saja suka melawan aturan ya?
Dasar orang Indonesia, terlalu antusias!
Antusiasme orang Indonesia memang perlu diacungi jempol, itu jika antusiasme ini diletakkan pada tempatnya. Antusiasme ini terlihat ketika pendaftaran tim relawan dibuka akhirnya diperpanjang karena banyak orang yang kecewa ketika durasi pendaftaran sangatlah singkat. Tak main-main, ribuan orang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia terlibat dalam relawan KAA ini. Semua pihak ingin merasakan bagaimana perayaan KAA tersebut dilaksanakan dengan menjadi tim relawan di balik pihak tersebut. Meskipun dipimpin oleh koordinator-koordinator relawan di Bandung seperti
Warga Bandung pun juga terlihat sangat antusias dalam menghadapi perayaan KAA ini. Ketika beberapa jalanan utama ditutup untuk acara gladi resik dan pensterilan rute yang akan dilewati oleh presiden dan kepala negara lainnya, banyak orang yang rela berjalan kaki ke lokasi untuk menyaksikan gladi resik tersebut. Warga dari luar Bandung pun saking antusiasnya dengan acara ini rela datang ke kota Bandung dari jauh-jauh hari agar dapat menikmati seluruh rangkaian acara KAA ke-60 itu. Toko-toko yang akhirnya sepi pengunjung karena jalan yang ditutup juga terlihat menikmati acara tersebut. Walaupun begitu, tak sedikit juga yang mengeluh, seperti para supir angkot yang rute utamanya ditutup.
Antusiasme yang lain terlihat juga sepanjang perayaan KAA ini, terutama pada acara video mapping Gedung Merdeka. Karena banyak yang tidak mengetahui bagaimana proses video mapping tersebut, area menonton mendadak menjadi penuh dengan warga yang sangat antusias. Akibatnya, acara video mapping yang seharusnya ditayangkan sebanyak tiga kali hanya ditayangkan sebanyak satu kali. Suasana antusiasme ini berubah menjadi sedikit mencekam ketika banyak suara kekecewaan dilontarkan kepada panitia, terlebih-lebih pada waktu itu ada beberapa mobil dari salah satu stasiun TV swasta yang berusaha melewati kepadatan lautan manusia itu, sehingga menambah kekesalan warga yang diwujudkan dalam bentuk perkataan (bahkan tindakan, seperti menggoyang mobil-mobil tersebut meskipun langsung diingatkan oleh masyarakat yang lain). Untungnya, kondisi ini dapat segera teratasi sehingga antusiasme masyarakat kembali muncul dalam suasana yang positif.
Dasar orang Indonesia, terlalu peduli!
Orang Indonesia memang terlalu peduli. Tidak percaya?
Kalau orang Indonesia tidak peduli, lalu untuk apa seluruh kota Bandung bahu-membahu memperindah kota yang disayanginya ini meskipun tahu bahwa waktu yang ada sangatlah singkat?
Untuk apa mereka sama-sama mengingatkan jika ada yang melanggar aturan yang ada?
Untuk apa banyak yang rela bekerja menjadi relawan acara yang megah ini tanpa dibayar uang?
Untuk apa banyak yang memuji, banyak mengkritik, tapi mereka memiliki tujuan yang sama: berusaha memajukan kota tercinta dan melindunginya dari bahaya yang ada?
Karena mereka peduli. Orang Indonesia memang peduli, meskipun tak saling kenal sebelumnya tapi masih mau menyempatkan diri untuk membantu, mengajak untuk berbincang-bincang, bahkan mau menyinsingkan lengan bajunya untuk ikut membantu. Tak ada alasan lain selain itu.