"Thank you," kataku saat ia bangkit dari kursinya karena memudahkan saya masuk ke tempat duduk saya.
Saya melihat dari tadi ia pegang lembaran catatan seperti anak kuliahan, penuh coret-coretan tapi agak rapi. cuma saya tak tahu apa tulisannya karena tentu tak sopan memperhatikan orang lain.
"Dari Indonesia ya?" tanyanya, tentu agak kaget saya ada bule di pesawat Kuweit ngomong Indonesia, di samping saya lagi.
Saat itu kami pun memulai pembicaraan.
"Ini saya sedang belajar bahasa Indonesia" katanya sambil memperlihatkan lembaran lembaran coret coretannya itu. Wah itu ternyata bahasa Indonesia kirain tadi ngerjain proyek apa sibuk sekali membaca sambil garis-garis bawahi.
"saya sedang mempelajari peribahasa seperti, Orang Batak Bagaikan Katak di Bawah Tempurung," katanya melucu. Tentu kami ngakak. Dia adalah Herr Mannfred, kami kenalan selanjutnya. Ia selalu menyempatkan berlibur ke Indonesia se sibuk apapun dia. Biasanya tempat tujuannya adalah Sumatra Utara, di sana dia tinggal di keluarga batak, kalau nggak salah.
"Kok bisa Pak Manffred belajar bahasa Indonesia?" tanyaku.
"Ya saya suka," katanya sambil bercerita bahwa ia bisa bahasa Itali, Perancis (ia guru bahasa Perancis di Philipina sehingga ia bisa juga bahasa Tagalog). Ia pernah belajar bahasa Thailand tapi berhenti. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang tengah ditekuninya saat ini.
"Saya harus tahu bahasa di luar bahasa Eropa dan pilihan saya waktu itu jatuh ke bahasa Thai(land). Saat mahasiswa saya belajar bahasa Thailand, tapi sulit sekali, akhirnya saya berhenti," katanya.
Selajutnya ia kebingungan apakah ia harus belajar bahasa Jepanag atau China kalau tak salah. Ia terbentur pada beberapa masalah, bisa jadi ia menyebutkan waktu itu soal tulisan atau huruf Thailand.
Akhirnya ia kemudian melancong ke Indonesia tanpa ada niat belajar bahasa Indonesia.
"Saat kongkow-kongkow di Bandung saya cuma bisa bahasa Indonesia yang sederhana," katanya. "Tapi karena sering disapa sama orang-orang yang lewat akhirnya ia memutuskan belajar bahasa Indoenesia secara serius.
"Inilah dia bahasa non Eropa yang saya cari selama ini," katanya bersemangat.
Ia bukan saja belajar bahasanya tapi juga bejalar budaya bahkan makanan Indoenesia.
"Saya suka jengkol" katanya, "tapi mulut kita bau " sambil ketawa.
Dia tak suka makanan padang,. Ia cenderung vegetarian. meski ia mengakui segala jenis makanan di Indoensia ia suka semuanya, "semuanya," katanya, kecuali warung padang, ia ngakak lagi.
Ia cerita sewaktu ke NTT atau Flores ia kesulitan mencari warung makanan. "Semuanya warung Padang, saya cari lama tak ketemu, kenapa ya Orang Flores tak buka warung?" tanyanya.
Ia tahu tempat makanan yang asyik dan nikmat di Bali dan Jakarta bahkan Bandung. Jika ke daerah sana pasti sempatkan diri ke warung warung kesayangannya. Ia tak segan singgah di pinggir jalan makan.
Bahkan ia cerita pengalaman lucunya sambil hunting kuliner dan belajar bahasa Indonesia.
"Kesulitan saya di bahasa Indionesia adalah ada beberapa kata yang hampir mirip tulisannya, seperti kepala dan kelapa, saya tak bisa bedakan itu" katanya. pernah ia singgah di pinggir jalan beli kelapa muda.
"Pak, beli kepala!" tentu saja penjual kelapa muda itu ketawa. ia bingung kenapa diketawai. ia baru balik ngakak saat diberitahu kelapa dan kepala beda. Bahkan sesama sosialitenya di Batak ia diketawai jika mengingat cerita itu.
"Ada kepala yang bisa dimakan, kepala ikan!" katanya membela diri.
Ia adalah bapak yang sangat Indoensisch. Soal politik pun ia kuasai. termasuk sby dan korupsi di pemerintahan.
"Semua orang yang saya tanya mengenai SBY jadi emosi tak suka SYB," katanya.
Pesawat kemudian sampai di Frankfurt. Kami pun berpisah.