r
Selama ini sering menulis tentang pentingnya memberi pilihan terbatas dan kebebasan bermain dengan batasan pada anak usia dini. Tapi khawatir dipahami hitam-putih, bahwa "anak harus diberi kebebasan".
Padahal ada kata-kata "terbatas" dan "batasan". Apa artinya? Sebelum anak usia dini diberi kesempatan memilih, orangtua yang "menghidangkan" pilihannya yang sudah difilter baik buruknya. Karena mereka memiliki keterbatasan dalam hal berfikir, memilih, dan memutuskan. Maka, meskipun ada hal-hal yang bisa mereka pilih dan mereka tentukan atas dirinya, batasannya tetap harus ada.
Memang benar, membangun kelekatan dan kedekatan dengan anak adalah salah satu fondasi ketaatan, tapi "diobrolin" saja tidak cukup untuk anak-anak yang secara natural belajar melalui konsep observasi dan eksperimen. Mereka belajar memahami dunia ini melalui observasi yang mereka lakukan. "Kalau aku melakukan A, Ibu melakukan B. Kalau aku melakukan C, Ibu melakukan D, jadi kalau aku mau D, aku akan melakukan C". Ini tidak sama dengan sifat manipulatif ya, karena mereka melakukannya secara otomatis tanpa ada tujuan untuk merugikan orang lain. Mereka dengan sifat egosentrisnya hanya berusaha mendapatkan apa yg diinginkannya.
Jadi apa yg perlu dilakukan selain membangun kedekatan dan mengkomunikasikan aturan?
Adanya konsekuensi logis. Contoh dari beberapa hal yg sering ditanyakan :
"Anakku suka ikutan liat HP temannya, padahal sudah dilarang" (bukan masalah ikut-ikutannya, tapi tahukan bahaya HP tanpa pendampingan orang dewasa?)
"Anakku kalo disuruh pulang dari bermain susah banget. Kadang siang bolong masih main sampai sore. Udah dikasih tau aturannya tapi selalu minta nambah waktu" (jika kita sulit menerapkan batasan pada anak usia dini, bayangkan seberapa sulit kita menerapkannya pada anak-anak yang lebih besar dan sudah semakin "pintar")
Berikut beberapa tips dalam menjelaskan aturan dan batasan kepada anak usia dini:
- Pertama, coba kurangi jadwal bermain bersama temannya terlebih dulu. Kenapa? Anak usia dini masih sangat mencari kelekatan. Siapa yg paling dirasa lekat dengan dirinya, itulah yg menjadi dunianya. Bayangkan misalnya anak 3 jam/hari menghabiskan waktu berkualitas dengan teman. Sedangkan dengan orangtuanya mungkin waktu berkualitasnya hanya 1-2 jam atau bahkan kurang. Waktu berkualitas adalah waktu yang dihabiskan bersama yang meningkatkan kedekatan diantaranya, kegiatannya bisa bermacam2. Kuncinya: be present, tanpa distraksi sehingga anak merasa dihargai dan didengar. Ketika bermain bersama teman, teman-temannya fokus bermain bersama dia dengan suasana menyenangkan, apakah kita sudah melakukannya juga? Kalau belum, sangat wajar jika ia lebih "terpengaruh' temannya.
- Kedua, komunikasikan aturan sejelas mungkin, termasuk konsekuensinya. bisa ditulis aturannya (dengan simbol gambar jika anak belum bisa membaca) pada tempat yg mudah dilihat anak. Konsekuensi ini bisa disesuaikan dengan value di keluarga yang perlu diperhatikan dalam memberikan konsekuensi adalah:
1. Dibicarakan sebelumnya.
2. Berkaitan dengan pelanggarannya
Konsekuensi tidak berbentuk kebaikan apalagi ibadah, misal: konsekuensinya menulis 1 halaman penuh, mengaji, murojaah, dll. Kita tentu tidak ingin anak mempersepsikan aktivitas/kebaikan sebagai hal yang tidak menyenangkan.
3. Harus membuat tidak nyaman, tapi tidak menyakiti, tidak membuat penderitaan, ataupun mempermalukan.
4. Diberikan bertahap
Contoh : ketika anak sudah diberi hak bermain di luar bersama teman, maka ia pun harus melakukan kewajibannya untuk menaati aturan.
Contoh aturan: bermain baik2, tidak menyakiti atau merusak, pulang tepat waktu, tidak meniru yang buruk, tidak ikutan melihat HP teman ataupun main game (disesuaikan dengan value keluarga). Maka ketika anak melanggar salah satunya, konsekuensi: tidak bermain di luar bersama teman di jadwal berikutnya. Sampaikan alasannya : jika belum bisa menaati aturannya, berarti anak belum siap untuk bermain di luar tanpa pendampingan.
- Ketiga, lakukan dengan konsisten sehingga anak memahami polanya "kalau aku melakukan itu, aku jadi tidak bisa bermain. Berarti aku harus taat aturannya, agar dipercaya". Anak ngereog? Terima saja perasaannya, tapi tetap lakukan konsekuensinya lakukan juga dialog di lain waktu, alasan-alasan dibalik konsekuensi tsb, apa yg terjadi jika tidak ada konsekuensi, kenapa anak-anak masih perlu dibantu untuk memilih mana yang baik dan buruk, dst.
- Terakhir, jika semua hal tersebut namun anak masih 'sulit diatur", coba kita refleksikan. Apakah ada hal-hal yg kita lakukan, yg kira-kira tidak Allah ridhoi? Sesederhana cara kita berinteraksi dengan pasangan, orangtua, atau yang termasuk dosa besar namun tak disadari sering kita lakukan.
Semoga kita dimudahkan dalam membersamai anak-anak. Aamiin :)