Berita seperti ini selalu bikin saya geleng-geleng kepala, karena alasannya nggak jelas.
Rokok elektrik (saya sebut aja e-rokok) belum lama beredar di pasaran, walaupun konsepnya (merokok tanpa tabak & beraroma) sudah lama dipatenkan oleh Herbert A.Gilbert tahun 1963. Sedangkan versi barunya seperti yang kita lihat saat ini ditemukan oleh Hon Lik (2003), yang setahun kemudian dijual di China. Sampai saat ini penjualannya terus meningkat di penjuru dunia (termasuk Jerman), karena e-rokok ini dianggap sebagai salah satu cara yang nyaman untuk berhenti pelan-pelan atau mengurangi kebiasaan merokok dengan tabak (tembakau). Konsumen yang belum siap untuk berhenti total, kebanyakan memilih alternatif ini, karena sensasi sewaktu menghisap rokok biasa masih ditemukan di e-rokok.
Menurut laporan juru bicara VdeH (Verband des E-Zigarettenhandels 'Persatuan Pedagang e-rokok'), Philip Drögemüller, pendapatan dari tahun 2010-2014 dengan konsumen sebanyak kurang lebih 3 juta orang sudah mencapai 200 juta €. Diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat sampai 2021 (menurut ahli medis Sudhansu Patwardan dari British American Tobacco). Karena prospek ke depannya yang cukup bagus, tentu saja industri tabak merasakan hal ini sebagai saingan utamanya.
Sebagaimana kita ketahui, bahan utama e-rokok 90% berupa cairan, yang sebagian besarnya mengandung Propylenglycol atau Glyzerin. Keduanya di EU terdaftar sebagai bahan aditif makanan E1520 & E22, yang digunakan dalam pembuatan permen karet maupun uap di diskotek atau theater yang berasal dari mesin. Selain itu dipakai juga berbagai bahan aroma, yang harumnya mulai dari nanas, tiramisu, mint, vanili, coklat bahkan sampai kopi. Dengan harum seperti itu, jelas non perokok yang duduk berdekatan dengan mereka tidak terganggu dengan bau asap yang terciumnya. (Saya & suami yang bukan perokok jauh lebih suka mencium asap/uap itu dibanding yang dari tabak. Sudah bau nggak enak, bikin pusing & mual lagi). Yang jadi pertanyaan adalah aman atau bahayakah asap itu bagi kesehatan?
Berbagai penelitian tentang itu sudah banyak dilakukan saat ini untuk menguak lebih lebar lagi, apakah e-rokok kurang atau lebih bahaya dibanding rokok biasa. Dari hasil penelitian yang dikeluarkan Juni 2014, Thomas Hartung (Toxikologe di Universitas John Hopkins, Amerika) menjelaskan, bahwa resiko e-rokok 10 kali lebih kecil dibanding rokok biasa. Pada pembakaran tembakau dihasilkan lebih dari 4.000 senyawa kimia, yang 90 di antaranya menjadi penyebab utama kanker. Sedangkan pada e-rokok belum bisa dipastikan, karena tergantung aroma yang digunakannya. Walaupun di beberapa aroma telah ditemukan zat berbahaya (Nitrosamine, Diethylenglykol & Formaldehyd), tapi untuk itu masih dipertanyakan lagi, senyawa kimia apa yang dihasilkannya dari proses penguapan. Secara keseluruhan e-rokok cenderung mengambil sedikit polutan.