Karena terbiasa memakan masakan dengan terasi sejak kecil & setiap masakan yang ada terasinya selalu enak, maka kecintaan akan terasi tetap saja terbawa, walaupun sudah lama saya tidak tinggal di Indonesia lagi. Orang pertama yang saya kenalkan dengan terasi, tentu saja suami saya. Waktu kita masih pacaran, setiap kali suami berkunjung ke Indonesia, saya lebih sering mengajaknya untuk makan di warung pinggir jalan. Menurut saya masakan di warung-warung kebanyakan jauh lebih enak dibandingkan di restaurant-restaurant yang hanya menawarkan 'tempat'. Sampai-sampai rekan kerja saya bilang " punya pacar bule, bukannya malah naik kelas, ini malahan turun kelas". Cuekkk.....beradaptasi ke bawah itu lebih sulit, pikir saya. Ini Indonesia, bukan Jerman. Suami harus lihat rakyat jelata yang hanya bisa makan kelas warung & itu jumlahnya lebih dari setengah penduduk Indonesia. Merakyat itu perlu ! Untuk saya tidak penting tempat, yang penting makanan enak & (cukup) bersih. Lagian kalau kita makan di warung, suami layaknya 'super star' karena mulai dari si pemilik warung sampai orang-orang yang lagi makan pada ngeliatin & mengajak ngobrol ke kita, kadang-kadang minta foto bareng. Coba kalau makan di restaurant yang 'wah', paling yang ramah hanya pelayannya. Dari kebiasaan makan di warung, suami jadi mengenal terasi & menyukainya.
Untuk mendapatkan terasi ternyata tidak sesulit yang saya pikir sebelumnya. Sebagai ibukota, di Berlin banyak tedapat toko-toko Asia yang menjual bermacam-macam sayuran, ikan, bumbu dapur dan sebagainya. Hanya untuk terasi rasanya kurang enak dibandingkan terasi di Indonesia. Makanya kalau kita lagi pulang kampung, kita beli terasi & membungkusnya berlipat-lipat agar baunya tidak sampai bikin penumpang di pesawat pada mabuk atau ada kontrol Zoll di bandara. Bisa berabeh kalau ketahuan.
Memasak terasi di Jerman itu gampang-gampang susah. Untuk orang yang tinggal di apartment dengan jumlah penghuninya yang banyak, tentu saja bisa jadi masalah dengan baunya yang menyengat. Herannya, bau terasi itu tidak bisa mematikan, tapi banyak orang yang tidak menyukainya, coba kalau bau asap rokok..... Karena kita tidak tinggal di apartment seperti itu, makanya saya bisa leluasa & sesuka hati untuk memutuskan kapan saya masak dengan terasi. Hanya musim dingin saya tidak sering memakainya dalam masakan, karena saya tidak bisa membuka semua jendela & pintu untuk waktu lama. Jangan sebab terasi, saya malah jatuh sakit sebab kedinginan. Tapi kalau musim panas....rapopo.
Kita suka terasi, tetangga kita suka rokok. Jelas itu berlawanan. Kalau udara bagus, saya sering duduk di teras sambil baca & menikmati matahari. Rupanya suami tetangga kita juga punya kebiasaan yang sama seperti saya. Hanya bedanya, saya duduk dengan majalah atau buku di tangan, tapi dia dengan rokok. Karena dia merokok seperti lokomotif (Kettenraucher, org.jerman bilang), jelas saya terganggu. Mau negur, tidak sopan, sebab dia merokok di terasnya sendiri. Selama ini saya yang selalu mengalah & memilih untuk masuk ke rumah karena saya tidak mau dapat racun. Suami juga sering ngomel-ngomel kalau sudah mencium asap rokok dari tetangga. Saya sudah mencoba untuk membakar banyak dupa agar asapnya sampai ke dia. Tidak mempan. Orang yang sudah kecanduan rokok, mana mempan diusir dengan asap dupa yang dari baunya saja sudah lebih harum. Dasar ide dodol. Di tengah rasa putus asa, karena jengkel sendirian, akhirnya saya putuskan untuk goreng terasi. Kebetulan dapur & teras letaknya berdekatan. Dan antara dapur & teras dibatasi pintu kaca yang besar. Jadi sambil menggoreng, saya buka pintunya. Saya menggorengnya cukup banyak, agar baunya tercium ke dia. Ternyata manjur. Tidak lama kemudian, saya sudah tidak mencium asap rokok lagi, sebab dia sudah tidak ada di teras. Bau terasi mengalahkan rokok wkkwwkkkk...... Hidup terasi !