Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Pembuatan e-KTP & Kumpul Kebo

7 Desember 2014   22:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:51 660 7
Sekali mendayung, 2-3 pulau terlampaui, itulah yang saya lakukan dalam liburan yang baru saja selesai. Bersenang-senang, ngumpul dengan keluarga, bikin e-KTP & kopdar dengan Kompasianer Mbak Ifani.
Awalnya saya nggak kepikiran untuk ganti KTP, sebab belum habis masa berlakunya. Tapi karena isi berita "Jalan Panjang e-KTP" (m.okezone.com) mengkhawatirkan saya, jadi disempetin untuk mengurusnya pada saat itu. Saya kan masih senang & bangga jadi WNI, makanya KTP masih dipegang terus.

Mulailah saya google untuk nyari hotel di Jakarta, yang lokasinya nggak jauh dengan kelurahan Lagoa (Tanjung Priok), tempat e-KTP akan dibuat. Liburannya bulan November, tapi persiapannya sudah dimulai bulan Februari. Begitulah kebiasaan saya & suami, semua harus sudah terencana jauh-jauh hari, kalau bisa.
Suami menyarankan untuk memilih Hotel Harris Kelapa Gading, karena jaraknya yang paling dekat dengan kelurahan. Kalaupun terjebak macet, waktu saya tidak terbuang terlalu banyak. Biar nggak tua di jalan, sebab stress. Selain itu, hotel ini berada di dalam Mall & banyak tempat makan di sekitarnya. Jadi kalau saya tinggal pergi untuk ngurus KTP, suami masih ada kesibukan muter-muter di Mall.

Awal November lalu mendaratlah kita di Jakarta. Supir taxi memutuskan untuk mengambil jalan tol terus untuk nggak terjebak macet. Kita sih nurut aja, apalagi kita nggak kenal banget seluk-beluk kota ini. Terakhir saya datang sendirian 3 tahun lalu, waktu bapak saya meninggal.
Di mobil suami sering nanya tentang keanehan sistem infrastruktur yang dilihatnya sepanjang perjalanan. (Cerewet amat nih orang, banding-bandingin 2 ibukota yang levelnya jelas beda banget. Liburan bukan untuk mikir yang njelimet). Supir nggak bisa jawab, apalagi saya.

1 jam terlambat tiba di hotel. Check in lancar, dapat kamar cukup besar & bersih. Warna oranye yang genjreng mendominasi sekelilingnya. Mungkin pemiliknya penggemar berat klub Ajax Amsterdam. Rapopo untuk 4 malam ini, mata saya masih bisa berdamai dengan warna itu.
Selesai bongkar-bongkar koper & mandi, kembali lagi ke lobby untuk nunggu emak & adik saya sekeluarga yang mau datang. Nggak sering bisa komplit kumpul dengan anggota keluarga.

Selesai sarapan (banyak menu tradisional & enak-enak lagi), saya pesan taxi & meluncur ke kelurahan. Saya janjian dengan emak untuk ketemu di sana. Suami ikut, sebab nggak mau ditinggal sendiri di hotel. Nggak gampang mengingat-ingat jalan menuju ke kelurahan, tanpa supir bisa membantu. Terakhir kali saya tinggal dengan orang tua 20 tahun lalu.
Semua jalan yang saya lewati sudah banyak berubah & semakin menyempit, karena banyaknya pemukiman penduduk & juga toko-toko. Beberapa kali supir nanya ke saya, di mana dia harus belok. Dengan belagak sok tau, saya minta supir jalan lurus terus, setelah melewati Islamic Center di Kramat Tunggak.
"Katanya kamu tau jalan, tapi sepertinya kita muter-muter terus", celetuk suami. "Untuk kamu tahu lebih banyak tempat sekitar sini", kata saya berkelit untuk nutupi malu. Kemudian saya tunjukan juga sekolah saya dulu, Marsudirini, yang baru saja dilewati. Dari depan hanya tembok tingginya yang kelihatan. Kayak tembok Berlin waktu masih ada DDR.

Akhirnya sampai juga ke kelurahan, tanpa saya harus tanya jalan ke orang lain. Saya lihat senyuman emak mengembang, lihat kita datang. Kita langsung masuk ke dalam kelurahan yang lagi direnovasi. Nggak ada AC di ruang tunggu & kursi yang diatur seadanya. Suara tukang & peralatannya nambah berisik suasana. Emak & suami duduk di belakang, sementara saya menghadap petugas untuk menjelaskan keperluan saya. Wajahnya tidak simpatik, tanpa senyum, tipe orang yang selalu menganggap dirinya 'orang penting'. Di sampingnya, duduk petugas wanita yang lagi asyik baca koran, karena nggak ada kerjaan.
Sambil melihat KTP saya, terjadilah dialog ini: P (petugas), S (saya).

(P): Ibu sudah lama tinggal di luar negeri, tapi kenapa masih punya KTP indonesia? Ibu kan sudah nggak bermukim di sini lagi. Punya paspor, tapi masih nyimpen KTP juga, nggak bisa seperti itu.

Saya jadi bengong dengar perkataannya, karena informasi itu belum pernah sampai ke telinga saya. Peraturan baru?, tanya saya dalam hati.
(S): maksud bapak, saya tidak perlu lagi KTP? Tapi bagaimana, kalau saya suatu waktu kembali menetap di indonesia dengan suami, apa cukup hanya dengan paspor saja?
Pertanyaan saya nggak direspon. Mukanya menunduk ngeliatin KTP terus & hanya kadang-kadang ngeliat ke saya.

(P): bawa paspornya? di KTP tertulis, status ibu: menikah. Ada surat nikahnya? Di mana suaminya?
(S): saya nggak bawa paspor & surat nikah, karena selama ini nggak pernah ditanya, kalau mau ngurus KTP. Informasi yang diterima ibu saya dari staff kelurahan, cukup bawa KTP aslinya. Tapi besok saya bisa berikan fotokopinya lewat ibu saya. Itu suami saya lagi duduk di belakang (sambil jari saya menunjuk ke suami yang duduk dengan manis).

(P): dengan orang asing? Ibu kumpul kebo ya? Tanpa surat nikah nggak bisa bikin e-KTP.

Sabar...sabar...saya mencoba menenangkan diri sendiri untuk tidak terpancing omongannya.

(S): saya tidak kumpul kebo. Saya menikah resmi dengan dihadiri orang tua saya. Walinya alm.bapak saya.
(Saya berdiri & berjalan menuju ke arah emak & suami. Saya ceritakan semuanya ke mereka, kecuali tuduhan kumpul kebo. Takutnya emak saya marah dengan petugas itu & saya gagal untuk bikin e-KTP. Kalau sudah emosi, emak lebih galak dari saya. Suami maunya kita kembali besok lagi, sambil bawa paspor & buku nikah yang disimpan di kopernya. Karena sering baca tentang razia di indonesia, setiap kali berlibur ke tanah air, buku nikah selalu dibawanya. Katanya untuk jaga-jaga aja.

Saya & emak kembali lagi menemui petugas itu.
E(emak): pak, anak saya hanya mau bikin e-KTP, kenapa kok ditanya-tanya surat nikah segala. Katanya cukup hanya bawa KTP lama. Kalau bapak mau bukti pernikahan anak saya, ikut kita aja langsung ke rumah. Bapak bisa tanyakan semua tetangga kiri-kanan.
Anak & menantu saya tidak punya waktu lama di Jakarta. Tolong jangan dipersulit.

Emak pergi ke luar ruangan, meninggalkan saya yang duduk terdiam di depan petugas. Percuma juga saya berdebat dengan orang yang nggak selevel, minjem istilah mbak Ifani.
Nggak lama kemudian, emak masuk dengan seorang petugas yang jauh lebih ramah. Dan mempersilahkan kita untuk masuk ke ruangannya. Di dalam ada 2 petugas bawahannya. Tanpa banyak komentar, dia meminta staffnya memulai prosedur pembuatan e-KTP saya. Foto & sidik jari sudah selesai. Eh....giliran tinggal tanda-tangan, alatnya rusak. Diutak-atik berapa kali, tetap nggak jalan. Dengan seijin petugas yang ramah tersebut, saya minta suami untuk bantu memperbaikinya. Barangkali bisa, daripada saya harus datang besok, hanya untuk tanda-tangan.

Karena alat masih nggak jalan juga, suami menyarankan mereka untuk menservisnya saat itu. Nggak apa-apa kita nunggu lebih lama, yang penting masalah e-KTP selesai dalam sehari. Setelah nunggu lagi setengah jam, petugas datang dengan alat yang sudah diservis. Saya tanda-tangan & selesailah proses pembuatan e-KTP. Selama e-KTP belum selesai dicetak, saya masih boleh memakai KTP lama. Kapan selesainya? Mereka juga nggak tahu.

Dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika saya bikin perpanjangan KTP, kinerja orang-orang kelurahan sudah menunjukkan perbaikan. Yang namanya uang siluman sudah tidak ada lagi & birokrasi yang macam-macam, seperti surat pengantar RT/RW, dll. tidak diperlukan lagi. Mereka juga ramah-ramah, kecuali petugas yang satu itu. Proses pembuatan e-KTP yang katanya hanya sehari, memang benar adanya. Tapi untuk e-KTP bisa sampai ke tangan kita, itu yang masih perlu waktu.

Sedangkan yang masih jadi hambatan/kekurangannya adalah, masih adanya orang-orang yang tidak kompeten untuk jabatan yang diembannya. Suka mempersulit & merasa dirinya tau lebih banyak, tapi pernyataan yang dikeluarkannya hanya bikin orang lain dongkol & sekaligus muak. Mengajukan pertanyaan yang nggak relevan sama sekali dengan tugasnya saat itu, bahkan sampai menyinggung ranah pribadi orang lain.
Selain itu beberapa petugas kelurahan saya lihat tidak ada kerjanya. Hanya baca koran atau memainkan smartphonenya. (Kalau saya melakukan itu di jam kerja, garansi saya bisa dipecat). Kalau mereka mau melakukannya, lakukanlah di waktu istirahat & beri tanda 'istirahat' di depan meja mereka. (Lebih baik lagi, kalau itu tidak dilakukan di depan orang-orang, yang lagi ngurus sesuatu di sana). Mereka digaji untuk kerja, bukannya untuk menyalurkan hobbynya.

Dari percakapan beberapa petugas di ruangan itu, akhirnya saya jadi tahu juga, kalau alat untuk tanda-tangan e-KTP itu bukan alat baru yang seharusnya diterima kelurahan, tapi hanya alat longsoran, alias bekas. Pantesan bermasalah, waktu mau digunakan.
Nggak aneh kalau KPK lagi membidik proyek sarana pengadaan e-KTP yang terindikasi adanya korupsi, sebab banyak bocornya.
Tolong donk KPK selidiki berapa banyak jumlah kelurahan di seluruh Indonesia yang menerima alat bekas, tapi dalam laporannya dicantumkan 'baru'!
Jangan sampai julukan "der Fisch stinkt vom Kopf"(ikan bau dari kepalanya) melekat terus untuk negara kita, karena korupsi yang sudah lama mengakar.

Semoga dengan pemerintahan yang baru, negara Indonesia yang kita impikan akan terwujud.

*Di Berlin setiap kali saya mendapat paspor baru, saya harus ke kantor polisi untuk memindahkan secarik kertas keterangan "unbefristete Aufenthaltsgenehmigung" (ijin tinggal permanen) yang dikeluarkan pemerintah jerman & melekat di paspor sebelumnya.
Prosesnya cepat sekali, karena petugas tinggal membuka semua data saya di komputernya & mencocokkannya dengan yang tertera di paspor. Dibuatnya keterangan baru & menempelkan foto saya, yang sudah saya persiapkan sebelumnya. Tidak sampai 15 menit selesailah sudah. Paspor baru dengan 'keterangan yang sama'.
Nggak ada pertanyaan macam-macam, apalagi menjurus ke masalah pribadi. Profesional dalam bekerja & efektif.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun