Saya pikir keheranan saya beralasan, karena memang seperti itulah yang saya lihat di kampus St Lucia ini. Dari kacamata seorang mahasiswa baru dari negeri asing yang datang ke Australia dengan penuh semangat, kesempatan belajar di sebuah perguruan tinggi kelas dunia menawarkan berbagai kesempatan baru yang tak boleh disia-siakan. Ketika kita larut dalam kegiatan akademik bersama begitu banyak mahasiswa dari bermacam warna kulit dan latar belakang, bukankan seharusnya mudah untuk berteman dengan teman-teman yang demikian beragam itu?
“Well, it’s a hard question, Salim,” perempuan berambut pirang yang peramah itu tampak berusaha menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan saya. “Saya rasa, orang akan lebih nyaman berteman dengan teman-teman yang bisa mengenal mereka secara lebih baik, dan itulah sebabnya mereka punya teman-teman dekat yang berasal dari latar belakang yang sama. Ya, saya rasa seperti itu…”
Dan saya tidak perlu waktu lama untuk membenarkan jawaban Catherine. Lambat laun saya menyadari, di Australia ada faktor budaya yang berbeda dengan apa yang biasa saya jumpai di Tanah Air. Di Indonesia, biasanya tidak perlu waktu bagi saya untuk akrab dengan banyak orang di suatu lingkungan yang saya masuki, misalnya dengan rekan-rekan sekelas di kampus, teman-teman di tempat kursus bahasa Inggris dan Arab, maupun para kolega di organisasi yang sama. Mungkin ada kaitannya dengan dengan budaya kolektivisme masyarakat Indonesia.
Tidak demikian halnya di Negeri Kanguru ini. Orang memiliki semacam tembok privasi yang terkesan lebih tebal, dan cenderung berteman dekat hanya dengan sedikit orang yang mereka merasa nyaman. Orang Australia umumnya bersikap ramah terhadap siapa pun, namun kita tidak perlu menaruh ekspektasi tinggi bahwa dari situ akan terbangun hubungan perkawanan yang dekat. Bahkan di program studi saya yang didominasi oleh mahasiswa dari Negeri Tirai Bambu, saya lihat mereka juga cenderung tidak akrab satu sama lain dan memiliki sedikit teman saja, meskipun berasal dari negara yang sama dan bertutur bahasa ibu yang sama.
Saya berusaha tidak menjadi manusia kurang pergaulan, namun saya juga belum tentu termasuk mereka yang bisa supel bergaul. Maka, kadang ada keraguan ketika saya harus memulai pembicaraan informal dengan seseorang dan mengajaknya berkenalan. Syukurlah, keraguan itu sering dapat saya tepis dan hubungan pertemanan yang cair dapat saya jalin, meskipun jarang yang mewujud menjadi persahabatan yang dekat. Saya berkenalan dan berinteraksi dengan mahasiswa dari berbagai belahan bumi dalam berbagai kesempatan, misalnya ketika berada di kelas yang sama, saat mengerjakan tugas kelompok, waktu mengikuti program pembekalan akademik, tatkala bergabung dalam aktivitas Muslim Students Association, ataupun diperkenalkan oleh rekan Indonesia saya.
Akhirnya, saya berkesempatan berteman dengan banyak orang dari bermacam tempat asal. Dari Austria hingga Jepang, dari Venezuela hingga negeri jiran. Ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari pertemanan lintas bangsa itu. Kami mendiskusikan tugas kuliah, menceritakan kesulitan yang ditemui selama studi, bertukar pikiran tentang banyak hal, mempelajari beberapa kata sederhana dalam bahasa ibu masing-masing, bahkan saling memberi hadiah. Beberapa di antaranya masih menjaga kontak meskipun saya sudah tidak lagi berada di Australia.
* * *
“The best network is Indonesian students’ network.” Demikian kata seorang staf universitas mengomentari kuatnya jaringan di kalangan mahasiswa Indonesia di kampus ini, pada suatu sesi bimbingan untuk mahasiswa baru.
Saya membenarkan komentar tersebut. Karena Brisbane merupakan kota terbesar ketiga di Australia dan menjadi rumah bagi sejumlah universitas ternama, mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di kota ini pun mencapai ratusan orang. Belum termasuk ratusan warga negara Indonesia lainnya yang berstatus pemukim tetap (permanent resident). Saya merasakan hubungan perkawanan dengan sesama orang Indonesia terasa lebih gayeng dan dekat, yang mungkin turut dipengaruhi oleh kesamaan latar budaya dan tutur bahasa. Ketika saya berkenalan dengan seorang mahasiswa atau warga Indonesia di Brisbane, biasanya tidak perlu waktu lama bagi saya untuk akhirnya bisa berbincang hangat dan bertukar nomor kontak. Tak heran, jaringan mahasiswa Indonesia begitu kuat di sini. Dalam “pertarungan” memperebutkan akomodasi yang nyaman ataupun pekerjaan sampingan bergaji dollar, jaringan yang kuat ini telah membantu banyak anak bangsa.
Akhirnya, saya pun berinteraksi dekat dengan banyak mahasiswa Indonesia di kota ini, baik di universitas tempat saya belajar maupun lain universitas. Saya cukup aktif bergabung dan mengikuti aneka rupa kegiatan yang digelar oleh asosiasi mahasiswa Indonesia, perkumpulan masyarakat muslim Indonesia, maupun komunitas Indonesia di kota ini. Saya berinteraksi dengan mereka, menyerap banyak pelajaran berharga, saling memberi pencerahan, dan turut membantu satu sama lain. Milis mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang saya ikuti juga cukup dinamis, membahas beragam isu dan menjadi ajang saling membantu. Saya juga masih terhubung dengan banyak rekan-rekan Indonesia eks-Brisbane ketika kami sudah kembali ke Tanah Air dan bermukim di daerah yang berlainan.
“Jauh-jauh sekolah di Australia kok ngomongnya masih bahasa Indonesia,” begitulah komentar sebagian mahasiswa Indonesia, mengomentari terlalu asyiknya mahasiswa dari Tanah Air bergaul dengan saudara sebangsa saja. Semoga itu menjadi otokritik bagi saudara-saudara sebangsa agar memperluas lingkup pergaulan ketika tinggal di negeri orang. Saya pribadi tidak pernah menyesal telah lebih banyak bergaul dengan rekan-rekan Indonesia selama dua tahun tinggal di ibukota Queensland ini, terlebih dengan begitu banyaknya kemurahan mati dan uluran tangan yang mereka tawarkan untuk saya. Dan pada saat yang sama, menjadi kewajiban saya untuk berusaha meningkatkan kesupelan diri agar pandai bergaul dengan mahasiswa dari beraneka bangsa dan warna kulit.
Karena seribu kawan masih terlalu sedikit, sedangkan satu musuh sudah terlalu banyak…