Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Demi Tuhan, Kuikhlaskan Engkau...

16 Januari 2011   16:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:30 179 0

Puisi : Herry M.H

Berjalanlah bersamaku

Temani langkahku

Kita telusuri jalan ini hingga keujungnya

Genggam erat tanganku

Pegang semua janjiku

Kusandarkan setiaku,

Kujaga hati…

Bahkan ketika hujan badai menerpa mendera

Tetaplah disampingku

Jadilah kekuatan sekuat tenaga kan kujaga cinta ini

Sekalipun takdir membawa kita kearah berbeda

Percayalah…

Aku benar-benar disudutkan pada suatu masalah. Masalah yang benar-benar menyita pikiranku, dan membuatku benar-benar tidak bisa tidur belakangan ini. Aku merasa sudah waktunya aku menunjukan baktiku kepada ibu. Disaat-saat terakhirnya.

Setelah dokter memvonis bahwa ibu tidak bisa bertahan lama lagi, hatiku benar-benar sudah hancur tidak karuan. Walau ini hanya berdasarkan ilmu medis, dan Tuhanlah penentu segalanya. Namun aku tidak ingin ini semua terjadi. Aku masih benar-benar ingin bersama ibu, dan membahagiakannya dengan caraku.

Bukan dengan apa. Namun ibu memiliki satu keinginan yang ia ucapkan. Dan jelas-jelas aku bingung bagaimana cara merealisasikannya. Sebenarnya pokok masalah bukan terhadapku, namun kakaku. Ka Yanti. namun sepertinya Ka Yanti sulit sekali diandalkan. Selain ia manusia yang pasif yang selalu hidup dengan kesendirian, Ia juga sulit diajak komunikasi untuk hal serius. Entahlah apa yang dipikirannya. Selama ia mendampingi ibu, ia hanya menangis dan menangis. Aku tahu perasaannya, ia juga sama sepertiku, takut kehilangan ibu.

Keinginan terbesar ibu adalah melihat Kak Yanti menikah. Karena ibu tahu, usia Kak Yanti kini sudah mencapai 28 tahun. Namun sepertinya keinginan ibu sulit sekali diwujudkan. Pasca kematian calon suaminya yang meninggal karena kecelakaan pesawat, Ka Yanti menutup diri dari kaum adam, bahkan ia sama sekali tidak mau mengenal lagi. Ia disibukan dengan aktifitas keagamaannya. Ia lebih senang mengajar dimadrasah dan menjadi guru ngaji privat setiap malam.

Bukan aku tidak suka dengan hal itu. Dari dulu memang kami sangat jauh berbeda. Aku lebih memilih ilmu umum, dan Kakaku lebih memilih ilmu agama. Walau pada dasarnya aku juga sama belajar agama. Namun tingkat pendidikan yang kami jalani berbeda, aku sekolah diumum sedangkan kakaku dimadrasah hingga sekarangpun terlihat berbeda. Kakaku sudah cantik dibalik jilbabnya, sedangkan aku masih belum siap. Hatiku belum menghendaki.

Usia kami berbeda empat tahun, Aku menginjak 24 tahun dan kini bekerja sebagai karyawan swasta disebuah perusahaan. Sedangkan kakaku sudah menginjak usia 29 dan sebentar lagi akan menaiki kepala tiga.

Aku duduk diruang penungguan. Ditemani kekasihku, Romi. Aku dengan Romi sudah menjalin hubungan kurang lebih empat bulan. Dan ia dengan setianya selalu ada disaat aku benar-benar membutuhkan.

“Aku tidak mengerti jalan pikiran Kak Yanti” curhatku padanya

Terlihat Romi tampak serius

“Kamu juga harus memahami kondisinya, Ver. Biar bagaimanapun juga dia mengalami masa lalu yang sulit dilupakan. Dia harus mendapatkan orang yang benar-benar tepat untuknya” Romi tampak dewasa, yah mungkin sebanding dengan usianya yang sudah menginjak kepala 3

“Tapi siapa? Sampai detik ini saja aku belum melihat laki-laki yang dekat dengannya. Aku cuma takut, aku takut tidak bisa mewujudkan keinginan ibu disaat terakhirnya. Kamu tahu sendirikan, ini waktunya aku menunjukan bakti aku ke ibu. Aku harus bisa mencarikan seseorang untuk kakaku”

“Semestinya kamu berdoa untuk kesembuhan ibu, Ver. Bukan berfikir kalau ibu akan pergi meninggalkan kita”

“Aku juga berharap seperti itu, tapi kalau pahitnya terjadi. Gimana, kamu harus ngerti posisi aku. Selama ini ibu menitipkan Kak Yanti padaku. Karena apa, karena ibu tahu Kak Yanti seperti apa. Aku juga tidak menyalahkan Kak Yanti, namun sudah semestinya Kak Yanti bangkit dari keterpurukannya.”

Aku menangis dipelukan Romi. Harus bagaimana lagi aku berfikir. Sedangkan orang yang menjadi objek pun sulit untuk diajak kompromi. Aku ijin ke Romi dan meminta untuk masuk dahulu kekamar ibu.

Didalam kamar, kulihat ibu dengan tubuh kurus kering dan pucatnya. Penyakit kanker kini sudah menggerogoti tubuhnya. Aku tak kuasa menahan rasa iba. Kalau saja sakit ini bisa dibagi, aku rela. Demi mengurangi rasa sakitnya. Kulihat Kak Yanti menangis tidur ditepi tempat tidur ibu. Perlahan kuajak Kak Yanti untuk berdamai pada satu pembicaraan serius. Aku mengajaknya keluar dari ruangan. Aku tidak ingin ibu tahu

“Kak Yanti sayangkan sama ibu?” tanyaku

KakYanti menangis terisak, dan ia mengangguk.

“Kak Yanti tahu perasaan ibu? Kak Yanti tahu gimana harapan ibu ke Kak Yanti seperti apa?” aku berusaha mencerca dengan pertanyaan bertubi, agar ia sadar betapa berharganya ia dimata ibu dan betapa besarnya harapan dan keinginan ibu untuk membahagiakannya

“Aku tahu, tapi aku bingung” Kak Yanti semakin menangis, usiaku memang jauh lebih muda, namun jika dibandingkan dengan Kak Yanti, aku jauh lebih dewasa dalam mencerna masalah

“Sekarang bukan waktunya untuk mengenang masa lalu kak, sekarang waktunya buat berfikir kedepan. Aku tahu perasaan Kak Yanti dulu seperti apa, aku memahami kak. Tapi sekarang yang harus kita fikirkan adalah, bagaimana mewujudkan keinginan ibu. Kak Yanti tahu kan, setiap hari ibu mikirin kondisi kakak. Karena apa, karena ibu sayang sama kakak. Buanglah masa lalu yang suram itu, tak perlu kakak dibayang-bayangi dan diingat lagi. Aku yakin Kak Yanti mampu. Banyak laki-laki yang mengharapkan kakak menjadi pendampingnya. Sudah berapa kali kakak menolak lamaran seorang laki-laki. Sebenarnya apa yang kakak cari. Ingat kak, Hendrawan sudah menghadap Tuhan. Ia sudah hidup kekal dan abadi disana. Dan kakak masih menjalani hidup kakak sesungguhnya disini, dan mungkin dia bukan jodoh kakak. Harusnya kakak sadar, kakak jauh lebih memahami tentang agama dari pada aku.” Aku menangis tak kuasa, aku memang benar-benar egois dan menyudutkan Kak Yanti, namun aku berfikir ini demi kebaikannya

Kak Yanti lunglai. Ia menangis terisak. Aku juga menyadari ada pergolakan batin yang luar biasa. Mungkin ia disudutkan pada pilihan yang sulit, dimana ia harus mengambil keputusan baru dengan menikah dengan orang lain, atau setia pada kekasihnya dahulu yang kini sudah tiada.

Ingatanku kembali berputar kemasa lima tahun silam. Saat itu rencana pesta pernikahan sudah dipersiapkan. Bahkan undanganpun sudah disebar, aku melihat Kak Yanti begitu bahagia dan mencintai calon suaminya. Namun tiga hari sebelum pesta pernikahan itu tiba, kabar mengejutkan terjadi. Saat itu Hendrawan dari medan, dan akan pulang ke Jakarta. Dan ternyata pesawat yang ditumpangi calon suaminya itu jatuh tanpa jejak dan dinyatakan hilang. Kontan Kak Yanti yang tahu kabar itu depresi berat dan tidak menerima kenyataan. Kak Yanti yang dulunya ceria menjadi murung, dan suka menyendiri.

Namun Ibu selalu saja berusaha membangkitkan semangat Kak Yanti kembali, begitu juga aku. Beberapa kali ibu mengenalkan Kak Yanti pada laki-laki anak teman-temannya dan berusaha untuk menjodohkan, namun Kak Yanti selalu menolak. Dan sampai detik ini, sampai ibu tak mampu bertahan lagi dengan kondisi tubuhnya.

Aku tak tahu apayang terjadi nanti setelah kepergian ibu. Biar bagaimanapun juga aku kini melihat kenyataan, aku harus terlihat tegar agar ibu tak sedih melihatku. Bahkan aku harus tetap menjaga Kak Yanti. Dan yang kini aku fikirkan aku ingin sekali membahagiakan ibu. Sering aku ingin menjerit, tanda ketidak berdayaanku.

“Kalau kak Yanti memang sayang sama ibu, aku harap Kak Yanti mau mengikuti saranku” kutinggalkan Kak Yanti sendiri, kulihat tangisnya begitu keras, aku tahu batinnya benar-benar terkoyak. Karena terhimpit harus memutuskan diantara dua pilihan, mewujudkan keinginan ibu dengan cara menikah atau tetap setia pada egonya bahwa cintanya hanya untuk kekasihnya yang sampai kapanpun tak akan kembali.

****

Saat adzan Ashar tiba, aku langsung menuju ke mushalla. Aku ingin bersahabat dengan Tuhan. Kuharap ia memberikan jalan terbaik yang membuat kedepannya lebih baik. Aku juga tidak ingin terus-terusan dalam kegamangan. Dan otak yang sudah sulit kembali kuputar untuk lepas dari masalah ini. Dan tak akan pernah lari dalam kondisi genting apapun. Karena bagiku, ibu adalah segalanya. Aku sangat menyayangi orang yang sudah Sembilan bulan setianya menjagaku, dua puluh empat tahun merawatku.

Ya Allah, Tunjukanlah jalan terbaik dari masalah ini. Jalan yang engkau ridhoi! Bibirku bergetar, aku menangis tak kuasa. Hanya kepada-Nya aku mampu meminta pertolongan. Dan hanya ia yang mampu menerangi jalan pikiranku.

Aku kembali menuju kekamar tempat ibu dirawat. Kudengar dari Kak Yanti kondisi ibu sudah sedikit membaik. Aku tersenyum, ingin rasanya aku mendengar suara ibu kembali. Dan melihat senyuman, walau diantara getirnya hidup.

Sesampainya diruang kamar ibu, aku melihat ibu menyambutku dengan senyuman. Hati ini serasa sejuk. Setelah hampir satu minggu aku tak melihat suasana ini akhirnya kembali lagi. Ibu memanggil namaku.

“Vera!” ibu mengisyaratkan agar aku mendekat

“Ibu, Vera sayang ibu!” aku memeluk ibu , air mataku jatuh, tangis kebahagiaan

“Ibu juga sayang kamu, nak! Nak, kalau ibu nanti pergi, ibu cuma titip satu, jaga baik-baik diri kamu, dan tetaplah jadi adik yang baik untuk kakakmu. Ibu tidak mau kamu ada keributan dengannya” suara ibu terbata-bata

Aku menangis tak kuasa. Apa benar kepergian ibu semakin mendekat.

“Ibu jangan ninggalin Vera” aku memeluk rapat-rapat ibu, suasana haru bercampur aduk

Aku keluar dari kamar seketika Kak Yanti sudah datang. Aku duduk didepan kembali, kali ini aku berusaha berkompromi dengan otak dan hatiku. Aku benar-benar harus mencari jalan terbaik. Aku yakin aku mampu. Selama ini aku sudah banyak membuat ibu kecewa dari pada bahagia. Dulu aku lebih memilih sma, ketimbang madrasah aliyah negri. Ibu ingin sekali melihat aku mengenakan jilbab dalam hari-hariku, namun rasanya hatiku saja belum layak untuk dijilbabi. Dan hal yang terberat, ibu ingin melihat kak Yanti menikah. Mungkin tuntutan ini bukan terhadapku, namun setidaknya aku harus memposisikan diri sebagai seseorang yang ada didalamnya. Biar bagaimanapun juga, aku dengan Kak Yanti sudah menjadi satu-kesatuan.

Tiba-tiba dari arah depan Romi datang. Aku melihat ada keteduhan dibalik wajahnya. Seketika pikiran nekatku hadir, aku harus merelakan segalanya. Demi kebahagiaan ibu, walau kenyataanya pedih. Namun aku harus tersenyum, mengambil keputusan yang baru saja terlintas ini. karena aku yakin aku mampu menghadapi ini semua.

“Romi, aku harap kamu mau mengerti” suaraku terdengar begitu kaku

Bahkan Romi pun heran menatapku, ia merasa ada kegamangan luar biasa

“Mengerti dalam hal apa?” jawab Romi, terlihat ia sepeertinya menduga-duga dan bertanya dalam hati, terlihat wajahnya serius

Aku berusaha menenangkan diri. Agar aku tampak terlihat tegar didepan lelaki yang aku cintai dan rela akan kulepaskan demi dua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Aku harus siap. Bukankah demi kebahagiaan orang tercinta terkadang kita harus merelakan sesuatu yang berharga.

“Aku ingin kamu menikahi kakaku” ujarku perih, dalam hati aku menangis

Romi tampak terkejut. Bibirnya kaku untuk berucap. Begitu juga aku, yang hanya bisa menahan tangis.

“Kamu jangan mengambil keputusan konyol ini, Vera” suara Romi terdengar bimbang

“Aku menyadari kalau saat ini aku egois. Tapi mengertilah, hanya kamu yang mampu menjadi seseorang terbaik untuk orang yang aku sayangi pula. Aku tahu kamu mampu, Rom”

“Tapi aku kekasihmu”

“Aku memang kini kekasihmu, tapi kelak aku harap Kak Yanti yang menjadi kekasih sejatimu. Aku rela, Rom. Bukankah kamu pernah bilang, terkadang cinta tak harus memiliki”

“Namun apa kamu tidak pernah menyadari, tentang janji setia kita yang kita buat waktu yang lalu”

“Aku sadar itu, tapi kebahagiaan ibu dan kakaku jauh lebih segalanya. Inilah saat pembuktian bahwa aku menyayangi mereka”

“Tapi apa kamu tidak sadar dengan kebahagiaanku, kamu tidak mengerti perasaan aku kini”

“Kak Yanti orang yang baik, yang mungkin akan menjadi ibu yang terbaik untuk anak-anak kamu. Kelak aku tetap mencintaimu, namun rasa cintaku akan aku ubah layaknya seorang adik kekakaknya, aku rela itu Rom. Demi Tuhan kuikhlaskan kamu, asalkan dengan orang yang aku sayangi”

Romi tertunduk, aku melihat ada pergulatan batin didalamnya. Sedangkan aku menangis tidak karuan, suasana ruang penungguan hening, yang terdengar hanya isakan tangisku.

“Tapi bagaimana bisa aku mencintai kakakmu, Ver. Sedangkan aku masih mencintaimu”

“Belajarlah, karena sesuatu dimulai dari proses”

“Tapi kamu sungguh egois, kamu tidak tahu gimana rasanya posisi aku”

“Kamu juga harus mengerti bagaimana posisi aku. Kita sama-sama terhimpit, dan kita juga sama-sama terjebak disebuah masalah yang runyam. Aku sadari itu.”

Aku terus berdoa pada Tuhan, agar Romi mau mengerti dan memahami. Aku benar-benar tidak bisa meminta tolong lagi, selain pada Romi. Karena hanya dialah laki-laki yang terbaik yang mampu menjadi kepala rumah tangga untuk kakaku. Dan bisa mencintai dengan tulus.

“Demi kebahagiaanmu, dan atas jodoh yang diridhoi Allah, mungkin ia telah menuntun aku menemukan jodohku, lewat perantaramu. Aku siap menikahi kakamu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kuharap kita bisa menjadi adik kakak yang baik.”

Senyum kegetiran mengembang dibibirku. Hati ini sudah kupaksakan rela, walau batin ini benar-benar menjerit. Aku memeluk Romi untuk terakhir kalinya. Lelaki sempurna ini tak akan kumiliki, ia kelak akan menjadi pendamping abadi didunia untuk kakaku, namun aku berharap agar ia menjadi suami yang baik yang mampu membimbing kakaku.

“Tuhan memberi jawaban disetiap pertanyaan dan masalah kita, sesulit apapun itu. Kita harus menerima” ujarku, Romi tersenyum.

****

Setelah dengan perdebatan hebat yang dicampuri tangis haru dengan Kak Yanti. Akhirnya kini berjalan menemui titik ujungnya. Dengan segala pemikiranku, dan segala pandanganku. Akhirnya dengah hati terbuka, Kak Yanti mau menerima Romi menjadi calon suaminya. Dalam hati, aku sudah merelakannya. Walau terkadang hati kecil ini menangis lirih, bagai tersayat sembilu. Namun aku harus menyadari, bahwa harus ada perelaan disaat kondisi seperti ini.

Kasihku pada ibu, membawa satu nilai baik. Kini aku sudah memilih untuk menutup auratku. Layaknya seorang muslimah pada umumnya. Kini aku harus menjalani kehidupan yang bicara pada realitas. Dan perjuanganku demi cintaku kepada ibu, tidak hanya sampai disini.

Dengan wajah bahagia, Romi beserta keluarganya melamar kak Yanti dirumah sakit. Acara ini sengaja dibuat disini, agar ibu bisa melihat langsung. Dan diikuti akad nikah. Sebenarnya tidak sesingkat ini acara dibuat, karena sudah ada saudaraku yang lain yang mengurusi sebelumnya. Ibu hanya tahu keindahannya saja.

Aku menangis terharu, melihat Romi mengucapkan ijab Kabul. Dan aku bahagia, melihat senyum Kak Yanti seketika kata Sah sudah terdengar. Berulang kali hati ini berontak, namun kutepis. Aku lebih bahagia melihat sekarang. Kubuang rasa egoisku untuk memiliki.

Mungkin Tuhan memperkenalkan aku pada sosok laki-laki yang kelak akan menjadi iparku lebih dahulu. Namun sejatinya tanpa disadari Romi adalah jodoh untuk kakaku, yang selama ini hidup dalam ketidakpastian. Dan kini ia menemukan jalan itu.

Aku melihat senyum ibu. Senyum luar biasa. Dengan begini, aku bisa melihat kebahagiaan seutuhnya. Melebihi dari apapun…

Untuk ibu…kupersembahkan segalanya…

Bahagiamu, adalah hal yang luar biasa untuku…

Pasca seminggu pernikahan Kak Yanti dan Romi. Ibu dipanggil sang maha Kuasa. Dan tepat dengan 3 tahun paca kepergian Ayah. Aku sudah lebih mengikhlaskan lagi. Dari pada aku tak tega melihat ibu harus menahan sakit yang setiap detik bersemayam ditubuhnya. Setidaknya aku sudah mewujudkan satu kebahagiaan yang akan membuatnya tenang dialam sana. Dan kini yang aku hanya bisa lakukan, terus-terusan berdo’a. agar kelak aku menemukan imamku. Dan untuk kakak yang paling aku cintai, semoga dia bahagia dengan Romi. Demi Tuhan, Kuikhlaskan engkau.

Untuk ibu…tenanglah disurga…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun